TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jakarta tak pernah benar-benar tidur. Di sela gemerlap lampu gedung, di antara lalu lalang yang tak pernah reda, ada satu suara yang konstan: deru mesin dan denting palu yang menyusun ulang langit-langit kota ini, sehelai demi sehelai. Setiap pagi, skyline Ibukota mungkin sudah bukan yang kemarin.
Di balik transformasi fisik yang begitu perkasa itu, ada sebuah dunia yang jarang kita lihat: sebuah arena bisnis yang keras, penuh peluh, dan diisi oleh ribuan ‘pejuang’ yang namanya mungkin tak pernah terpampang di papan proyek megah.
Data terbaru dari BPS menyodorkan sebuah gambaran yang membuat kita merenung. Ada 13.668 perusahaan konstruksi yang bermain di arena ini. Sekitar 96% dari mereka adalah usaha kecil dan menengah para pejuang dengan modal pas-pasan, yang mengandalkan ketekunan dan semangat pantang menyerah.
Mereka adalah denyut nadi sektor konstruksi kita. Hanya segelintir kecil, sekitar 3.78%, yang berskala besar mereka adalah ‘raksasa’ dengan mesin-mesin canggih dan kantong modal yang dalam.
Ini cerita yang punya dua wajah. Di satu sisi, ini adalah sebuah epik tentang semangat wirausaha yang luar biasa. Persaingan di tingkat akar rumput ini membuat harga jasa menjadi lebih terjangkau dan menciptakan ribuan lapangan kerja untuk para tukang, mandor, dan ahli yang menghidupi keluarganya dari profesi ini. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang membangun kota ini dari dasar.
Namun, di balik itu, ada cerita pilu yang tersembunyi. Bayangkan harus berjuang mencari nafkah di arena yang dijejali oleh ribuan pesaing.
Tak heran jika kemudian ‘perang harga’ menjadi senjata andalan, dan seringkali, yang dikorbankan adalah hal-hal fundamental: kualitas bahan dan yang paling mengkhawatirkan, standar keselamatan.
Banyak dari perusahaan kecil ini terjebak dalam siklus ‘hidup segan, mati tak mau’. Mereka kuat jumlahnya, tapi rentan secara finansial. Inovasi dan ‘naik kelas’ adalah sebuah kemewahan yang sering tak terjangkau.
Peta ketimpangan lainnya juga terasa menyayat. Arena pertarungan ini tidak merata. Separuh lebih dari perusahaan konstruksi Jakarta berkerumun hanya di dua wilayah: Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Kedua wilayah ini bagai magnet, menyedot semua energi pembangunan.
Lalu, apa kabar dengan Kepulauan Seribu? Datanya menyentuh perasaan: hanya ada satu perusahaan konstruksi di sana. Coba bayangkan jadi seorang kepala desa di pulau itu.
Mimpi untuk membangun sebuah dermaga kecil agar anak-anak bisa bersekolah dengan aman, atau memperbaiki puskesmas, tiba-tiba terasa sangat rumit. Siapa yang akan membangun?
Membawa kontraktor dari ‘daratan’ berarti memikul biaya logistik yang membengkak, yang ujung-ujungnya bisa memangkas kualitas proyek. Ketimpangan ini bukan lagi soal bisnis, tapi sudah soal keadilan. Wilayah yang paling membutuhkan sentuhan pembangunan, justru paling terpinggirkan.
Lalu, Ke Mana Kita Melangkah: Pertama, para ‘pejuang’ ini butuh pelukan, bukan sekadar dimasukkan ke gelanggang. Mereka butuh program yang menyentuh langsung persoalan mereka: akses ke pinjaman lunak agar tidak terjebak dalam jeratan modal, pelatihan manajemen dan keselamatan yang praktis, serta pendampingan untuk perlahan mengadopsi teknologi. Tujuannya jelas: bukan menambah jumlah, tapi meningkatkan daya tahan dan kualitas mereka.
Kedua, kita harus membuka ‘lapangan permainan’ yang baru. Pemerintah perlu jeli merancang kebijakan yang kreatif. Misalnya, memberi insentif perpajakan atau mempermudah perizinan bagi perusahaan yang berani membuka cabang atau mengerjakan proyek di daerah yang sepi seperti Kepulauan Seribu.
Membangun Jakarta bukan cuma tentang menara pencakar langit, tapi juga tentang memperkuat dermaga-dermaga kecil di pulau terluarnya.
Pada ujungnya, peta konstruksi Jakarta ini adalah cermin dari jiwanya sendiri: berenergi, dinamis, penuh semangat, tapi juga menyisakan cerita tentang kesenjangan. Tugas kita adalah memastikan bahwa pembangunan Ibukota bisa dirasakan oleh setiap warganya, dari yang bekerja di gedung berlantai 50 hingga anak yang bersekolah di pulau terpencil.
Sebab, kemajuan sebuah kota bukanlah tentang betapa tingginya gedung yang kita bangun, melainkan tentang seberapa dalam keadilan itu kita rasakan hingga ke sudut-sudutnya yang paling jauh.
***
*) Oleh : Rr. Vincie Apriany, SST., Statistisi Madya BPS Provinsi DKI Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Akhmad Munir Umumkan Formasi Baru PWI Pusat 2025-2030
Ketika Ormas Agama Menjadi Alat Kekuasaan
Roadmap dan Aturan AI Indonesia Hampir Rampung, Nezar Patria: Fokus pada Keamanan dan Etika
KAI Daop 8 Surabaya Imbau Masyarakat Waspada Penipuan Rekrutmen
Sekretaris LP PBNU Mangkir dari Pemanggilan KPK Terkait Kasus Kuota Haji
Korban Meninggal Banjir Bandang Nagekeo NTT Menjadi Lima Orang, Tiga Masih Hilang
Likuidasi Entitas Akuntansi Kabinet Merah Putih
Menkop: Kopdes Wajib Sertakan Pembangunan Gudang dalam Proposal Himbara
PANDI Siapkan Domain Baru untuk Perkuat Identitas Digital Indonesia
Rembug Disabilitas, Cara Pemkab Banyuwangi Komitmen Penuhi Hak Difabel