TIMESINDONESIA, MALANG – Budaya pop dari musik, film, fashion, hingga media sosial hari ini bukan sekadar hiburan yang menyenangkan, tetapi juga arena besar pembentukan persepsi identitas. Di tengah derasnya arus digital, generasi muda sering menjadikan budaya pop sebagai kaca refleksi, bahkan standar, dalam mendefinisikan siapa diri mereka.
Pertanyaannya, apakah budaya pop benar-benar membebaskan individu dalam membentuk identitas, atau justru mengurung mereka dalam konstruksi yang seragam, dangkal, dan sarat manipulasi kapitalisme?
Kehadiran budaya pop sejatinya membawa paradoks. Di satu sisi, ia menawarkan ruang ekspresi luas anak muda bisa tampil dengan gaya K-Pop, meniru tren fashion barat, atau bahkan mengangkat budaya lokal menjadi tren di TikTok. Namun di sisi lain, budaya pop juga melahirkan jebakan identitas semu.
Banyak orang menilai dirinya eksis hanya ketika ia mampu menyesuaikan diri dengan tren yang sedang naik daun. Akibatnya, identitas personal tak lagi lahir dari proses refleksi mendalam, tetapi dari “copy-paste” simbol-simbol populer yang diproduksi industri hiburan global.
Kritiknya jelas: budaya pop lebih sering mengedepankan konsumsi ketimbang kesadaran. Identitas seseorang kini lebih sering diukur dari “apa yang dipakai, didengar, dan ditonton” ketimbang “apa yang dipikirkan, diperjuangkan, atau diyakini.” Fenomena ini menjadikan masyarakat, khususnya generasi muda, cenderung rapuh dalam membangun autentisitas diri.
Di Indonesia, misalnya, kita bisa melihat bagaimana derasnya gelombang budaya Korea dari drama hingga musik K-Pop membentuk standar kecantikan, gaya hidup, bahkan pola konsumsi. Perempuan muda sering merasa identitas mereka kurang valid jika tak sesuai dengan wajah mulus bak idol, tubuh ramping, dan gaya berpakaian tertentu.
Padahal, konstruksi itu adalah hasil rekayasa industri hiburan yang berlapis dengan logika kapitalisme. Rambut, kulit, hingga ekspresi emosi pun seolah harus tunduk pada apa yang sedang “viral.”
Lebih jauh, budaya pop juga kerap menggiring publik pada pola konsumsi tanpa henti. Apa yang disebut “identitas” akhirnya bergantung pada apa yang dibeli: sneakers edisi terbaru, merchandise film, atau aksesori artis tertentu. Identitas menjadi komoditas.
Bukan lagi hasil pergulatan nilai atau pengalaman hidup, tetapi label yang ditempelkan oleh industri agar orang terus mengkonsumsi. Dalam konteks ini, budaya pop beroperasi sebagai mesin hegemonik yang secara halus namun kuat membentuk masyarakat menjadi “pasar” sekaligus “produk.”
Namun, budaya pop tak bisa hanya dipandang negatif. Ada potensi emansipatoris yang bisa dimanfaatkan. Di tangan kreatif, budaya pop bisa menjadi medium kritik sosial dan perlawanan. Musik hip-hop, misalnya, awalnya lahir dari ruang perlawanan kaum kulit hitam di Amerika, menjadi corong untuk mengkritik ketidakadilan dan rasisme.
Di Indonesia, sejumlah konten kreator dan musisi independen juga mulai menggunakan budaya pop sebagai kanal untuk menyuarakan keresahan sosial-politik. Inilah titik di mana budaya pop bisa diambil alih, dimaknai ulang, dan diarahkan untuk membangun kesadaran kolektif.
Sayangnya, peluang itu seringkali kalah oleh kekuatan industri yang lebih dominan. Budaya pop yang kritis lebih mudah tersisih karena algoritma digital cenderung mengutamakan yang ringan, lucu, dan menghibur semata.
Akibatnya, ruang publik digital kita dipenuhi dengan konten-konten remeh, sementara diskursus kritis justru kesulitan mendapat ruang. Di sini terlihat bahwa identitas publik yang dibentuk oleh budaya pop digital sering kali menjadi identitas “kosong” ramai secara simbol, tetapi miskin kedalaman makna.
Fenomena ini harus menjadi perhatian serius, terutama di kalangan akademisi, pendidik, dan pembuat kebijakan. Generasi muda butuh didorong agar lebih kritis dalam mengonsumsi budaya pop, bukan sekadar mengikutinya secara buta. Literasi budaya menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya literasi baca-tulis.
Masyarakat perlu mampu membaca budaya pop sebagai teks: siapa yang memproduksi, untuk kepentingan apa, dan nilai apa yang sedang ditanamkan. Tanpa itu, generasi kita hanya akan menjadi konsumen pasif yang menggadaikan identitasnya pada arus tren global.
Lebih jauh, identitas yang dibentuk budaya pop juga berpotensi menciptakan homogenitas yang membahayakan keragaman budaya lokal. Ketika standar kecantikan, fashion, atau gaya hidup ditentukan oleh produk impor, warisan budaya lokal bisa tersisih.
Hal ini bukan sekadar soal selera, tetapi juga soal politik identitas: bangsa ini bisa kehilangan akar kepribadiannya jika terus-menerus larut dalam arus budaya pop global tanpa strategi kritis.
Pertanyaannya, apakah kita harus menolak budaya pop? Jawabannya tentu tidak. Budaya pop adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Namun yang harus dikritisi adalah bagaimana publik mengelolanya: apakah kita akan membiarkan budaya pop membentuk identitas kita secara pasif, ataukah kita justru menggunakan budaya pop untuk memperkuat jati diri yang lebih otentik?
Di tengah krisis identitas global, penting bagi generasi muda untuk menjadikan budaya pop bukan sebagai “penguasa,” melainkan sebagai “alat.” Mengambil yang relevan, menolak yang merugikan, dan menciptakan narasi tandingan yang mengangkat nilai-nilai lokal maupun kritis. Identitas seharusnya lahir dari kesadaran, bukan sekadar dari algoritma tren.
Budaya pop dan persepsi identitas adalah medan pertarungan yang tidak netral. Jika dibiarkan, ia akan menjadi instrumen kapitalisme global yang mereduksi manusia menjadi angka konsumsi. Namun jika dikelola secara kritis, budaya pop justru bisa menjadi medium kreatif yang memperkaya identitas dan membuka ruang emansipasi.
Tantangan terbesar kita hari ini adalah bagaimana mengubah budaya pop dari sekadar tontonan menjadi kesadaran, dari sekadar konsumsi menjadi produksi makna, dan dari sekadar simbol menjadi perjuangan identitas yang autentik.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Dibintangi Joe Taslim, The Furious Raih Skor Sempurna Rotten Tomatoes
Jadwal Liga Champions 2025/2026, Empat Big Match Siap Panaskan Pekan Perdana
Akhmad Munir Umumkan Formasi Baru PWI Pusat 2025-2030
Ketika Ormas Agama Menjadi Alat Kekuasaan
Roadmap dan Aturan AI Indonesia Hampir Rampung, Nezar Patria: Fokus pada Keamanan dan Etika
KAI Daop 8 Surabaya Imbau Masyarakat Waspada Penipuan Rekrutmen
Sekretaris LP PBNU Mangkir dari Pemanggilan KPK Terkait Kasus Kuota Haji
Korban Meninggal Banjir Bandang Nagekeo NTT Menjadi Lima Orang, Tiga Masih Hilang
Likuidasi Entitas Akuntansi Kabinet Merah Putih
Menkop: Kopdes Wajib Sertakan Pembangunan Gudang dalam Proposal Himbara