TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Kebijakan likuiditas yang digagas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan mengalirkan dana pemerintah sekitar Rp200 triliun ke bank-bank Himbara merupakan langkah strategis yang patut diapresiasi karena bertujuan untuk menurunkan biaya dana perbankan, memperkuat kredit produktif, serta mendorong aktivitas sektor riil agar bergerak lebih cepat.
Analogi yang digunakan cukup sederhana sekaligus filosofis: likuiditas diibaratkan sebagai air dalam kolam ikan, yang jika mengalir deras akan membuat ikan-ikan di dalamnya hidup sehat dan berkembang.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah konsepnya karena air yang melimpah di hulu tidak selalu sampai ke hilir, begitu pula dengan kebijakan likuiditas yang berpotensi berhenti pada neraca bank tanpa benar-benar menjangkau pelaku usaha kecil.
Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah Rp200 triliun dana segar ini benar-benar akan mampu menyentuh sektor riil yang paling banyak menopang ekonomi nasional, yaitu UMKM, atau justru hanya menguntungkan korporasi besar yang lebih bankable?
UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia karena berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2024, jumlah UMKM telah mencapai 65,1 juta unit usaha, menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja, serta memberikan kontribusi sekitar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto nasional.
Angka ini jelas menunjukkan bahwa denyut nadi ekonomi Indonesia berada pada usaha-usaha kecil yang tersebar hingga pelosok desa, mulai dari warung makan, bengkel motor, pengrajin, hingga pelaku usaha digital.
Ironisnya, meskipun memiliki peran dominan, akses UMKM terhadap pembiayaan formal masih sangat rendah karena rasio kredit UMKM terhadap total kredit perbankan baru berkisar 20 persen, jauh lebih rendah dibandingkan Tiongkok yang mencapai lebih dari 40 persen atau Jepang yang lebih dari 50 persen.
Keterbatasan jaminan, kurangnya dokumen legal formal, dan stigma sebagai usaha berisiko tinggi membuat UMKM selalu menjadi pihak yang paling sulit mendapatkan kucuran kredit murah dari bank.
Akibatnya, UMKM sering terjebak dalam jalan sunyi: diandalkan untuk menopang ekonomi rakyat dan penyerapan tenaga kerja, tetapi jarang memperoleh akses nyata terhadap kebijakan likuiditas.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka likuiditas Rp200 triliun yang digelontorkan pemerintah akan berakhir sebagai kolam luas tanpa arus, air memang ada tetapi tidak menghidupkan ekosistem.
Untuk itu, keberhasilan kebijakan ini tidak boleh hanya diukur dari seberapa besar dana ditempatkan di bank, melainkan dari seberapa jauh dampaknya terhadap kehidupan nyata masyarakat, khususnya UMKM. Oleh karena itu, jalur khusus harus disediakan agar likuiditas benar-benar mengalir ke sektor produktif UMKM.
Salah satu mekanisme yang bisa ditempuh adalah melalui program kredit berbunga rendah yang sebagian risikonya dijamin oleh pemerintah melalui lembaga penjaminan, sehingga bank lebih berani menyalurkan dana tanpa terlalu khawatir pada risiko kredit macet.
Program tersebut harus diarahkan pada sektor-sektor produktif yang memiliki efek ganda terhadap perekonomian seperti pertanian yang menyerap tenaga kerja desa, industri makanan-minuman yang menopang konsumsi rumah tangga, kerajinan yang berbasis budaya lokal, hingga UMKM digital yang semakin berkembang pasca pandemi.
Dengan cara ini, dana segar tidak sekadar memperbesar cadangan bank, tetapi benar-benar menggerakkan ekonomi rakyat dari akar rumput.
Namun, kebijakan likuiditas tidak akan efektif tanpa koordinasi lintas otoritas. Kementerian Keuangan perlu menyiapkan insentif fiskal seperti subsidi bunga dan keringanan pajak, Bank Indonesia harus memperluas instrumen credit guarantee serta memperkuat pembiayaan inklusif.
Sementara OJK memiliki peran vital dalam mengawasi agar penyaluran dana benar-benar tepat sasaran. Kolaborasi ini mutlak diperlukan agar kebijakan tidak terjebak dalam tumpang tindih administratif atau kehilangan arah karena lemahnya pengawasan.
Selain itu, aspek permintaan agregat juga tidak boleh diabaikan. Likuiditas hanya akan menjadi angka di atas kertas jika masyarakat tidak memiliki daya beli atau pelaku usaha kehilangan kepercayaan untuk memperluas usaha.
Maka dari itu, kebijakan ini harus diiringi stimulus riil seperti pembangunan rumah rakyat, program koperasi desa, bantuan sosial produktif, hingga program Makan Bergizi Gratis yang mendorong konsumsi langsung.
Dengan kombinasi seperti ini, arus dana akan bertemu dengan kebutuhan riil masyarakat, sehingga tercipta efek pengganda yang memperkuat daya beli, menciptakan lapangan kerja, dan menghidupkan sektor riil.
Kita juga perlu mewaspadai risiko yang mungkin muncul, mulai dari kemungkinan kredit bermasalah jika penyaluran tidak diiringi pendampingan usaha, hingga risiko stagnasi likuiditas jika bank terlalu berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Lebih dari itu, ada potensi moral hazard jika dana justru dialihkan ke instrumen spekulatif yang tidak berdampak langsung pada produktivitas.
Oleh sebab itu, indikator keberhasilan harus dirumuskan secara jelas, misalnya berapa persen dana benar-benar disalurkan ke UMKM, sejauh mana kontribusinya terhadap PDB, serta berapa banyak tenaga kerja baru yang tercipta. Dengan indikator yang terukur, evaluasi bisa dilakukan secara objektif, sehingga kebijakan dapat disesuaikan bila tidak sesuai target.
Kebaruan yang harus ditegaskan dalam konteks kebijakan ini adalah menempatkan UMKM sebagai pusat gravitasi, bukan sekadar pelengkap. Selama ini, UMKM sering hanya diposisikan sebagai objek kebijakan tanpa benar-benar menjadi prioritas utama, padahal justru mereka yang menopang stabilitas ekonomi nasional dalam situasi krisis.
Jika kebijakan likuiditas Rp200 triliun ini berhasil diarahkan kepada UMKM, maka kita bukan hanya menjaga kestabilan ekonomi, tetapi juga membangun fondasi pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak ditopang oleh segelintir korporasi besar, melainkan oleh jutaan UMKM yang tersebar di setiap sudut negeri. Di pasar tradisional, di warung makan sederhana, di bengkel kecil, hingga di lapak digital, mereka terus bergerak menjaga konsumsi dan membuka lapangan kerja.
Oleh karena itu, likuiditas deras yang digagas pemerintah hanya akan bermakna jika mampu memberi ruang bernapas bagi UMKM untuk bertahan, berkembang, dan naik kelas.
Jika itu yang terjadi, maka kolam ikan ekonomi Indonesia akan benar-benar hidup. Air yang deras tidak hanya menyehatkan ikan besar, tetapi juga memastikan ikan-ikan kecil tetap tumbuh kuat.
Kebijakan likuiditas tidak diukur dari besarnya dana yang dipindahkan ke bank, melainkan dari seberapa nyata manfaatnya dirasakan rakyat kecil yang menjadi fondasi ekonomi bangsa. Dengan cara itu, kebijakan ini tidak berhenti sebagai wacana teknokratis, tetapi menjadi energi nyata bagi transformasi ekonomi rakyat.
***
*) Oleh : Dr. Abid Muhtarom, SE., MSE., Dekan FEB UNISLA.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Fomo Bikin Pajeon Ala Yoona di Bon Appetit Your Majesty
Enteromix, si Vaksin Kanker ala Rusia: Perkecil Tumor Hingga 80 Persen
Hendrar Prihadi Diganti, Begini Kata PDIP
Cabuli Anak Tetangga Pria di Garut Diciduk Polisi
Krisis Literasi di Tengah Ledakan Konten Digital
Polda Metro Pertimbangkan Permohonan Penangguhan Penahanan Empat Aktivis
Pertama di Gresik, Icon Apartemen Kantongi Sertifikat Hak Milik
Livoli Divisi Utama 2025, Gresik Petrokimia Menang Telak Atas Kota Wahana
Tegal Luwih Apik, Ischak-Kholid Turun ke Lapangan Pantau Pembangunan
Warga Garut Gelapkan 1,35 Ton Beras di Ciamis Bermodus Program MBG