TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam beberapa waktu terakhir, istilah brainrot semakin sering muncul di media sosial. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika paparan berlebihan terhadap konten digital instan, repetitif, dan dangkal perlahan menggerus kemampuan berpikir kritis serta daya konsentrasi seseorang.
Sekilas hal ini tampak sepele, bahkan hanya relevan untuk generasi Z. Namun, jika dibiarkan, brainrot bisa menjadi ancaman serius bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Fenomena ini bukan sekadar tren budaya, melainkan persoalan kognitif yang merusak kualitas sumber daya manusia. Kita paham, kemajuan bangsa bergantung pada modal manusia yang terampil, kreatif, dan mampu memecahkan masalah kompleks. Sayangnya, banjir konten tanpa konteks seperti video singkat yang hanya memicu hiburan sesaat justru menumpulkan kemampuan-kemampuan tersebut.
Anak muda yang seharusnya menjadi motor inovasi dan produktivitas malah kerap terjebak dalam pola konsumsi konten yang tidak menghasilkan nilai. Akibatnya, fokus untuk aktivitas yang menuntut konsentrasi tinggi seperti coding, riset, atau perencanaan bisnis semakin sulit dipertahankan.
Padahal, keterampilan semacam ini mutlak diperlukan untuk mendorong transformasi Indonesia menuju ekonomi digital dan berbasis inovasi. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mencapai visi Indonesia Emas 2045 jika sebagian besar angkatan kerja justru kesulitan melatih kemampuan berpikir mendalam?
Dampak brainrot pun meluas ke dunia kewirausahaan. Seorang entrepreneur yang tangguh harus mampu menganalisis pasar, merancang strategi jangka panjang, dan beradaptasi dengan tantangan.
Namun, budaya serba instan yang lahir dari brainrot menumbuhkan mentalitas ingin sukses secara cepat, tanpa melalui proses pembelajaran yang melelahkan. Akibatnya, lahirlah generasi pengusaha yang rapuh, mudah menyerah, dan rentan gagal karena kurangnya fondasi keterampilan dan daya tahan mental.
Fenomena ini juga dapat dipandang sebagai bentuk baru dari digital divide. Jika dahulu kesenjangan digital diartikan sebagai perbedaan akses terhadap teknologi, kini kesenjangan itu berubah menjadi perbedaan kualitas dalam memanfaatkannya.
Sebagian kecil masyarakat mampu menjadikan internet sebagai sumber ilmu, sarana kolaborasi, dan medium inovasi. Namun, mayoritas lainnya justru terjebak sebagai konsumen pasif, disedot oleh algoritma yang hanya menawarkan konten dangkal untuk mempertahankan perhatian. Perbedaan inilah yang kelak menentukan apakah generasi kita menjadi pencipta nilai atau hanya sekadar penonton.
Dalam jangka panjang, degradasi kemampuan berpikir kritis bisa menimbulkan stagnasi ekonomi. Bangsa tanpa sumber daya manusia yang inovatif dan mampu menyelesaikan masalah kompleks akan kesulitan bersaing secara global. Industri berbasis inovasi mulai dari teknologi informasi, bioteknologi, hingga energi terbarukan akan terhambat.
Indonesia berisiko kehilangan momentum dalam revolusi industri 4.0 dan terjebak sebagai pasar konsumsi semata. Karena itu, mengatasi brainrot bukan lagi urusan personal, melainkan agenda strategis nasional demi keberlanjutan ekonomi.
Pemerintah tidak boleh abai. Diperlukan langkah kolektif melalui regulasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Regulasi yang mendorong platform digital lebih bertanggung jawab terhadap konten bisa menjadi titik awal. Namun yang jauh lebih penting adalah memperkuat literasi digital, khususnya di kalangan muda.
Mereka perlu dibekali keterampilan memilah informasi, membedakan fakta dari opini, serta menggunakan teknologi untuk belajar dan berkarya, bukan sekadar hiburan. Investasi terbesar bangsa adalah membangun generasi dengan daya pikir yang tangguh.
Jika kita mampu menghadapi tantangan brainrot, Indonesia akan memiliki modal manusia yang siap bersaing di panggung global. Sebaliknya, jika dibiarkan, kita berisiko memiliki angkatan kerja yang secara fisik siap, tetapi secara mental rapuh untuk menggerakkan kemajuan bangsa.
***
*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Kursi Pejabat Tak Pernah Kosong
Kemah Penerimaan Tamu Ambalan 2025 di SMAN 1 Pacitan, Wadah Penguatan Karakter Siswa
Khutbah Jumat 19 September 2025: Umara Harus Terapkan Keadilan Sosial bagi Rakyat
Resentralisasi TKD Terselubung
Livoli Divisi Utama 2025 , Gresik Petrokimia Bertekad Cetak Hattrick Juara
Presiden Prancis Siapkan Bukti Ilmiah untuk Membuktikan bahwa Istrinya tidak Lahir sebagai Pria
Ryan Gosling Mulai Syuting Film Star Wars: Starfighter
Gepal Nilai Permintaan Rumah oleh Anggota Dewan Tak Etis, BK DPRD Gresik Dalami Kasus
Gigih Ingin 'Menghukum' Israel, Ini Strategi yang Diambil Qatar
Kafe Jamu Sukoharjo Disulap Jadi Destinasi Eduwisata dengan Sentuhan Tradisi Lokal