TIMESINDONESIA, PADANG – Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, pendidikan Indonesia menghadapi jalan panjang yang penuh tantangan. Dari kelas-kelas sederhana di pelosok hingga ruang-ruang belajar yang kini dihiasi layar digital, satu hal yang terus menjadi pertanyaan: bagaimana kita menyiapkan generasi muda agar tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh menghadapi masa depan yang serba tak menentu?
Di sinilah optimisme menemukan tempatnya, bukan sebagai kata manis pemanis pidato, melainkan sebagai bahan bakar baru yang mampu menggerakkan semangat belajar dan daya juang siswa maupun mahasiswa.
Optimisme sering disalahpahami sebagai sikap naif yang hanya melihat sisi indah kehidupan tanpa peduli pada realitas keras di sekelilingnya. Padahal, optimisme yang kita perlukan adalah optimisme realistis, sebuah kemampuan untuk melihat tantangan apa adanya sekaligus yakin bahwa ada jalan keluar, ada peluang, dan ada harapan.
Martin Seligman, psikolog positif dari University of Pennsylvania, pernah menyebut optimisme sebagai “gaya berpikir” yang membuat seseorang menafsirkan kegagalan sebagai sesuatu yang sementara, bukan akhir dari segalanya.
Optimisme semacam ini adalah modal penting yang bisa membuat seorang siswa di desa percaya diri bersaing di tingkat nasional, atau seorang mahasiswa yang nyaris putus kuliah bangkit lagi menata mimpinya. Dalam konteks pendidikan Indonesia, optimisme ini bukan sekadar tambahan, melainkan fondasi yang bisa membuat seluruh sistem berjalan lebih manusiawi.
Kita tak bisa menutup mata bahwa generasi muda kita menghadapi tekanan baru yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Setelah pandemi, banyak siswa dan mahasiswa mengalami kesulitan adaptasi. Survei UNICEF (2022) menunjukkan bahwa hampir 80% siswa di Indonesia merasa mengalami “learning loss”, yakni kesenjangan belajar akibat keterbatasan akses dan ritme yang berubah.
Di sisi lain, tren burnout juga semakin sering terdengar. Fenomena ini bahkan muncul di media sosial, di mana mahasiswa sering bercanda getir tentang “lelah kuliah” atau “hidup hanya untuk deadline”. Dalam situasi seperti ini, optimisme realistis bisa menjadi oase yang memberi mereka ruang untuk bernapas dan meyakini bahwa perjuangan yang mereka jalani tetap bermakna.
Mari kita lihat tantangan global yang akan dihadapi siswa kita kelak. Artificial Intelligence (AI), yang kini kian meluas penggunaannya, mulai menggeser banyak jenis pekerjaan. Laporan World Economic Forum (2023) memperkirakan bahwa 44% keterampilan pekerja akan terdampak oleh otomasi dan AI dalam lima tahun ke depan. Kompetisi kerja pun semakin ketat, bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.
Di sisi lain, perubahan iklim menghadirkan ancaman baru yang memengaruhi cara hidup kita, dari ketersediaan pangan hingga kesehatan. Generasi muda yang kini duduk di bangku sekolah dan kuliah akan hidup dalam dunia yang jauh lebih kompleks dibandingkan generasi orang tuanya.
Bila mereka tumbuh dengan sikap pesimis, merasa tidak ada gunanya belajar, maka kita akan kehilangan kesempatan besar untuk membentuk bangsa yang tangguh. Tetapi bila mereka belajar menumbuhkan optimisme realistis, mereka akan menyambut masa depan bukan dengan rasa takut, melainkan dengan kesiapan untuk beradaptasi.
Optimisme realistis bukan berarti kita menutup mata terhadap kesulitan. Justru sebaliknya, ia mengajak kita untuk melihat tantangan dengan jernih, lalu memilih untuk tetap melangkah dengan keyakinan bahwa selalu ada solusi. Seorang siswa yang gagal dalam ujian matematika misalnya, tidak menyerah dan menganggap dirinya bodoh, tetapi melihat kegagalan itu sebagai sinyal untuk mencari cara belajar yang lebih efektif.
Seorang mahasiswa yang ditolak dalam magang impiannya tidak lantas merasa hidupnya hancur, melainkan mencoba melamar di tempat lain sambil terus mengasah keterampilannya. Di balik sikap sederhana itu, optimisme sedang bekerja: mengubah arah pikiran dari menyerah menuju bertahan dan berjuang.
Kisah nyata banyak bertebaran di sekitar kita. Ada seorang anak dari keluarga nelayan di Sulawesi Selatan yang belajar dengan keterbatasan fasilitas, namun dengan optimisme ia percaya pendidikan bisa mengubah hidupnya. Ia membaca buku pinjaman dari perpustakaan desa, meminjam ponsel temannya untuk mengakses materi daring, hingga akhirnya berhasil masuk universitas negeri dengan beasiswa.
Ada pula mahasiswa di Jakarta yang sempat hampir putus kuliah karena tekanan ekonomi, tetapi dengan optimisme ia mencari peluang kerja sambilan, mengikuti program kewirausahaan kampus, dan berhasil menyelesaikan studinya. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa optimisme bukan sekadar kata indah di poster motivasi, tetapi kekuatan nyata yang bisa mengubah jalan hidup seseorang.
Analogi yang sederhana bisa membantu kita memahami makna optimisme. Bayangkan layang-layang. Ia tidak akan terbang tinggi jika angin tidak berhembus. Justru hembusan angin yang menentang arah membuat layang-layang melayang indah di langit. Begitu pula manusia.
Tantangan dan kesulitan, bukannya membuat kita jatuh, justru bisa menjadi dorongan untuk terbang lebih tinggi asalkan kita punya tali yang kuat: optimisme. Tanpa itu, kita hanya akan terseret angin dan jatuh. Dengan optimisme, kita belajar memanfaatkan arah angin untuk tetap bertahan di atas.
Manfaat optimisme dalam dunia pendidikan sebenarnya sudah banyak diteliti. Penelitian Carver dan Scheier (2014) menunjukkan bahwa siswa dengan tingkat optimisme tinggi cenderung memiliki motivasi belajar lebih kuat, lebih tahan menghadapi stres, dan lebih mampu melihat kegagalan sebagai peluang belajar. Optimisme juga terbukti berhubungan dengan kesehatan mental yang lebih baik.
Di tengah meningkatnya kasus depresi dan kecemasan pada remaja serta mahasiswa, menanamkan optimisme realistis bisa menjadi langkah preventif yang sangat penting. Ia bukan obat instan, tetapi fondasi yang membuat seorang anak lebih mampu bertahan ketika badai kehidupan datang.
Pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana menanamkan optimisme ini pada siswa dan mahasiswa kita? Pertama, guru dan dosen bisa memulai dengan memberi ruang bagi kegagalan. Alih-alih menghukum atau merendahkan, kegagalan perlu dipandang sebagai kesempatan belajar.
Kedua, sekolah dan kampus bisa membangun budaya yang memberi penghargaan pada proses, bukan hanya hasil. Ketika siswa merasa bahwa usaha mereka dihargai, mereka lebih berani mencoba hal baru tanpa takut gagal.
Ketiga, keluarga memegang peran besar dengan memberi dukungan emosional yang stabil. Anak yang tumbuh dengan rasa dicintai cenderung lebih mudah mengembangkan optimisme.
Keempat, pemerintah dan masyarakat perlu menghadirkan cerita-cerita inspiratif tentang tokoh yang berhasil bangkit dari kesulitan, karena contoh nyata seringkali lebih kuat dari nasihat panjang.
Fenomena pasca pandemi juga memberi kita pelajaran penting. Banyak siswa dan mahasiswa merasa kehilangan arah setelah terbiasa belajar di rumah. Mereka perlu diajak kembali menumbuhkan optimisme bahwa sekolah dan kampus bukan sekadar tempat menumpuk tugas, melainkan ruang untuk bertumbuh sebagai manusia.
Kegiatan seperti mentoring, konseling, hingga diskusi reflektif bisa membantu siswa menemukan makna belajar yang lebih dalam. UNESCO (2021) menekankan bahwa pendidikan abad ke-21 tidak cukup hanya mengasah kognisi, tetapi juga harus menumbuhkan resiliensi dan kemampuan berpikir positif.
Pada akhirnya, optimisme tidak tumbuh dari kata-kata semata, tetapi dari pengalaman nyata ketika seseorang merasa didukung dan dihargai dalam proses belajarnya.
Optimisme memang tidak bisa menjamin semua masalah selesai. Namun, tanpa optimisme, perjuangan apa pun akan terasa lebih berat. Ia ibarat bahan bakar. Mesin yang canggih pun tidak akan berjalan tanpa bahan bakar.
Begitu pula pendidikan. Kurikulum terbaik sekalipun tidak akan bermakna bila siswa dan mahasiswa menjalani prosesnya dengan rasa putus asa. Sebaliknya, dengan optimisme, bahkan kurikulum yang sederhana bisa menghasilkan energi luar biasa untuk perubahan.
Sebagai penutup, mari kita renungkan sejenak. Pendidikan Indonesia memang masih diwarnai banyak persoalan: fasilitas yang tidak merata, kualitas guru yang beragam, hingga tantangan global yang kian menekan. Namun, jika kita menyerah pada pesimisme, maka kita hanya akan menambah daftar panjang masalah tanpa memberi solusi.
Optimisme realistis adalah pilihan sikap yang bisa kita ambil hari ini, mulai dari ruang kelas kecil hingga kebijakan nasional. Jika setiap guru, orang tua, dan siswa memilih untuk percaya bahwa masa depan bisa lebih baik asalkan kita berusaha, maka pendidikan Indonesia akan memiliki energi baru untuk bergerak maju.
Optimisme adalah bahan bakar baru bagi pendidikan Indonesia. Bahan bakar yang tidak habis dipakai, karena justru semakin dipraktikkan akan semakin menguatkan. Mari kita ajarkan kepada siswa-siswa kita bahwa masa depan bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihadapi dengan keberanian.
Mari kita tumbuhkan keyakinan bahwa setiap tantangan membawa peluang. Dan mari kita yakini bahwa dengan optimisme, kita tidak hanya mencetak generasi pintar, tetapi juga generasi tangguh yang siap menyalakan harapan bagi bangsa ini.
***
*) Oleh : Dr. Ifani Candra, S. Psi. MM. M. Psi., Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Putra Indonesia Yptk Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Polda Metro Jaya Tegaskan Hoaks Larangan Isi BBM untuk Kendaraan dengan Pelat Mati
WNA Inggris Tenggelam di Pantai Legian Ditemukan Meninggal pada Hari Ketiga Pencarian
Polda Metro Jaya Janjikan Rp500 Ribu untuk Ojol Pelapor Aksi Kriminal
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Optimistis Rupiah Menguat Pekan Depan
Dilema Tanggung Jawab Guru
Blitar Dijadikan Living Laboratory Demokrasi Digital, Bawaslu Dorong Literasi Politik Warga
Polres Probolinggo Amankan Tetangga Pelaku Pelecehan Usai Ancaman
Balita Penderita Sindrom Langka di Probolinggo Terlantar, Orang Tua Pasrah Tak Ada Bantuan
Antisipasi Trauma, Pendampingan Psikososial Diberikan untuk Anak Terdampak Banjir Sitiarjo Malang
Livoli Divisi Utama 2025 Samator Menang Tipis Atas Ganeksa