TIMESINDONESIA, PURBALINGGA – Kabupaten Purbalingga selama lebih dari tiga dekade telah menempelkan label "Perwira" pada wajahnya. Akronim yang disusun rapi: Pengabdian, Ramah, Wibawa, Iman, Rapi, dan Aman. Cantik memang.
Namun, mari kita jujur, apakah ia benar-benar lahir dari rahim nilai masyarakat Purbalingga? Atau sekadar permainan kata yang dipaksakan agar tampak indah?
Pertanyaan itu bukan untuk meremehkan. Justru untuk menantang: apakah Purbalingga sudah cukup percaya diri dengan jati dirinya? Atau selama ini hanya meminjam baju kebesaran yang terasa longgar di badan?
Branding “Perwira” lahir dari tangan Bupati Soelarno pada 1991. Bayangkan, 34 tahun sudah ia menempel. Hampir setua generasi milenial hari ini. Sebuah usia matang untuk meninjau ulang, untuk bertransformasi. Apalagi zaman sudah berubah: kota-kota lain berlari, berebut panggung, menonjolkan kekhasan masing-masing.
Kalau Purbalingga tetap bertahan dengan “Perwira” yang hanya akronim, bukankah kita akan tertinggal dalam hiruk-pikuk perebutan identitas?
Dalam teori city branding, ada empat pendekatan yang bisa menjadi fondasi: geografis, produk, budaya, dan sejarah. Idealnya, sebuah kota punya satu otentifikasi yang tak bisa digandakan. Itulah yang membuat branding kuat. Tidak bisa disalin, tidak bisa ditiru.
Geografis jelas sulit ditandingi. Banyuwangi, misalnya, dengan “The Sunrise of Java" tak bisa direbut oleh daerah lain. Matahari memang terbit di timur, dan posisi Banyuwangi-lah yang membuat klaim itu sah.
Produk dan budaya? Rentan klaim ganda. Branding kopi bisa hancur ketika produktivitas menurun. Branding bahasa bisa jadi rebutan antar daerah. Hari ini kita mengaku “Republik Ngapak”, besok daerah lain pun bisa mengangkat bendera yang sama.
Lalu tersisa satu: sejarah. Dan di sinilah Purbalingga punya emas murni. Fakta yang tak terbantahkan: 24 Januari 1916, Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, lahirlah Jenderal Besar Soedirman.
Jenderal Soedirman bukan sekadar pahlawan. Ia adalah Panglima Besar. Figur yang berdiri paling depan dalam sejarah militer republik ini. Ia memimpin perang gerilya ketika tubuhnya ringkih, paru-parunya bolong, dan dokter sudah angkat tangan. Ia bergerak dari hutan ke hutan, dari desa ke desa, mengobarkan semangat kemerdekaan.
Dan itu terjadi dari rahim Purbalingga. Bukankah ini anugerah sejarah yang tak bisa dimiliki daerah lain? Bukankah inilah otentifikasi yang sejati?
Sudah saatnya kita berkata: Purbalingga, The Spirit of Soedirman. Bukan lagi sekadar “Perwira” dengan akronim. Tapi sebuah identitas yang lahir dari darah dan napas perjuangan.
Kata “Perwira” bagus. Tapi bukankah level perwira pada akhirnya hanya tangga menuju “Jenderal”? Maka wajar jika hari ini Purbalingga menyiapkan transformasi: dari kota Perwira menuju kota Sang Jenderal.
Dengan itu, kita tidak sekadar merangkai kata. Kita menghidupkan jiwa. Jiwa Soedirman yang pantang menyerah. Jiwa gerilya yang cerdik, sabar, tapi tajam. Jiwa pengabdian total bahkan di ambang ajal.
Itu pula yang seharusnya menjadi karakter masyarakat Purbalingga. Bukan merasa kecil, bukan merasa hanya “pithik” di kandang. Tapi berani mengepakkan sayap rajawali, melesat ke angkasa membawa nama besar daerah ini.
Rebranding ini bukan sekadar soal logo, tagline, atau iklan. Ini soal mengembalikan Sudirman ke kampung halamannya. Selama ini, nama besar Jenderal Soedirman lebih sering didengungkan di Yogya atau Jakarta. Padahal tanah kelahirannya jelas: Purbalingga.
Maka mari kita jemput beliau, sang Jenderal Soedirman “pulang”. Mari kita jadikan nama dan semangatnya sebagai fondasi peradaban baru Purbalingga. Bukan untuk bernostalgia, tapi untuk menatap masa depan.
Bayangkan, bila Purbalingga benar-benar menjadikan “The Spirit of Soedirman” sebagai brand, kota ini akan tampil dengan wajah berbeda. Bukan hanya kota dengan pabrik rambut palsu atau wisata alamnya. Tapi kota yang mewarisi jiwa seorang Jenderal Besar.
Rebranding ini akan melahirkan energi kolektif. ASN akan bekerja dengan jiwa pengabdian Soedirman. Pengusaha akan berjuang dengan daya tahan Soedirman. Anak-anak muda akan bermimpi setinggi strategi gerilya Soedirman.
Dan Purbalingga, pelan tapi pasti, akan naik kelas. Dari kota Perwira menuju kota Jenderal. Dari sekadar akronim menuju filosofi. Dari branding artifisial menuju identitas otentik.
Inilah momentum yang tak boleh kita lewatkan. Karena sejarah sudah menyiapkan hadiah: lahirnya seorang Jenderal Besar di tanah kita. Tinggal kita berani atau tidak untuk menjadikannya mercusuar.
Purbalingga, mari kita tentukan pilihan. Apakah tetap nyaman dengan “Perwira” yang manis tapi dangkal? Ataukah melangkah lebih jauh, lebih berani, lebih otentik, dengan mengusung The Spirit of Soedirman?
Saya percaya, jawaban itu sudah ada di dada kita masing-masing. Karena darah Jenderal Besar Soedirman mengalir di nadi kita. (*)
Pewarta | : Imam Fauzi Surahmat |
Editor | : Khoirul Anwar |
Tragedi Keracunan, Jerat Hukum Dapur MBG
Menkeu: Penambahan DBHCHT Daerah Tergantung Keuangan Negara, Peluang Naik di Triwulan II 2026
Gernas Ayo Mondok Peringati Hari Santri Nasional 22 Oktober di Ponorogo
5.000 Sertifikasi Halal SPPG Tahap Pertama Tengah Diproses BPJPH
Jejak Peradaban Koran
Update Korban Reruntuhan Mushala Ponpes Al Khosiny, 13 Meninggal Dunia
Pokdakan Mina Gawosa Gumiwang Banjarnegara Difasilitasi Gawosa Shop oleh STIKOM Yos Sudarso
Guru Besar UGM Sarankan Dana Makan Bergizi Gratis Ditransfer Langsung ke Siswa
Proses Identifikasi Korban Runtuhan Bangunan Ponpes Al Khoziny Dibagi Tiga Kluster
Eddy Soeparno Dorong Subsidi LPG 3 Kg Dialihkan Jadi Bantuan Tunai