TIMESINDONESIA, MALANG – Kebebasan pers sering kita rayakan sebagai tanda kematangan demokrasi. Ia memberi ruang bagi media untuk bersuara, mengkritik, bahkan menantang kekuasaan. Namun, di balik kemegahan fungsi itu, terselip paradoks yang tak pernah selesai, semakin bebas sebuah media, semakin besar pula risiko ia melukai.
Tagar #BoikotTrans7 menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kebebasan pers dan tanggung jawab etis muncul di hadapan publik, seolah mengingatkan kita bahwa kebebasan tanpa empati bisa berubah menjadi kekerasan simbolik.
Di atas kertas, kebebasan pers adalah hak konstitusional. Tetapi dalam praktiknya, kebebasan ini harus disertai kesadaran moral: bahwa setiap kata, gambar, dan narasi memiliki daya rusak yang nyata di tengah masyarakat yang beragam.
Di sinilah konsep social responsibility of the press menemukan relevansinya. Pers tidak hanya dituntut menyampaikan fakta, tapi juga memahami konteks sosial dan dampak emosional dari setiap pemberitaan yang disiarkan.
Masalah muncul ketika media tergoda pada logika industri, mengejar sensasi, rating, dan klik, ketimbang kedalaman etik. Dalam situasi itu, kritik yang seharusnya mencerdaskan bisa berubah menjadi serangan yang mempermalukan.
Kritik terhadap lembaga pesantren, misalnya, bukanlah hal tabu. Namun ketika penyampaiannya mengabaikan sensitivitas kultural dan spiritual, maka yang tersisa bukan pencerahan, melainkan ketersinggungan. Publik merasa bukan sedang diajak berpikir, tetapi direndahkan.
Etika pers sejatinya berakar pada dua nilai utama, kebenaran dan penghormatan terhadap martabat manusia. Keduanya harus berjalan beriringan. Fakta yang benar, jika disajikan tanpa empati, tetap bisa melukai.
Dalam konteks keagamaan, persoalan ini menjadi sangat kompleks. Kiai dan pesantren bukan hanya institusi pendidikan, melainkan simbol spiritual bagi jutaan orang. Salah menampilkan narasi berarti salah menyentuh makna yang paling dalam bagi identitas keagamaan seseorang.
Namun tanggung jawab etis juga tidak boleh berubah menjadi pembungkaman. Bila media terlalu takut menyentuh isu sensitif, demokrasi kehilangan giginya. Self-censorship yang berlebihan hanya akan melahirkan masyarakat yang steril dari kritik, tapi rapuh dalam refleksi.
Karena itu, yang dibutuhkan bukan pembatasan, melainkan keseimbangan, antara keberanian untuk mengkritik dan kebijaksanaan untuk menghormati.
Keseimbangan ini menuntut integritas redaksi yang kuat. Media harus berani mengaudit dirinya sendiri, apakah isi tayangan telah diverifikasi dengan adil, apakah sudut pandangnya proporsional, dan apakah dampak sosialnya sudah dipertimbangkan.
Bila tidak, publik berhak kecewa dan bereaksi. Boikot, dalam konteks ini, bisa dibaca bukan sebagai upaya membungkam media, tetapi sebagai koreksi moral terhadap cara media memperlakukan simbol-simbol publik.
Dari sisi filsafat komunikasi, kita bisa meminjam gagasan Jurgen Habermas tentang etika diskursif. Kebebasan berekspresi hanya bermakna jika komunikasi berlangsung setara dan jujur.
Ketika media menyiarkan kritik tanpa memberi ruang klarifikasi bagi pihak yang dikritik, komunikasi itu kehilangan legitimasi moral. Maka, tanggung jawab etis bukan sekadar meminta maaf setelah terjadi kegaduhan, tetapi memastikan sejak awal bahwa ruang bicara dibuka bagi semua pihak.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap tekanan ekonomi yang membentuk keputusan media. Dalam industri penyiaran, idealisme sering kali kalah oleh target iklan dan kepentingan pasar.
Maka memperjuangkan kebebasan pers yang sejati juga berarti memperjuangkan kemandirian ekonomi media, agar redaksi tidak terjebak dalam dilema, memilih nilai atau memilih angka.
Tanggung jawab etis bukan hanya tugas wartawan, melainkan juga tanggung jawab publik. Masyarakat perlu mengasah literasi media, agar bisa menilai mana kritik yang membangun dan mana yang menistakan.
Dengan begitu, reaksi publik bisa lebih proporsional, bukan marah karena tersinggung, tetapi cerdas karena sadar nilai. Tanpa publik yang kritis, media akan terus hidup dalam siklus sensasi yang memanjakan emosi dan melupakan empati.
Etika media juga tidak bisa hanya tertulis di pedoman Dewan Pers. Ia harus menjadi nurani dalam setiap keputusan redaksi. Seorang jurnalis yang berani menunda tayangan karena mempertimbangkan dampak sosialnya justru sedang menunjukkan kebebasan yang sejati, kebebasan untuk berpihak pada kebenaran yang manusiawi.
Ketegangan antara kebebasan dan etika tidak perlu dihapus, karena dari sanalah kematangan media diuji. Kebebasan tanpa tanggung jawab melahirkan kekacauan, tanggung jawab tanpa kebebasan melahirkan stagnasi.
Keduanya harus saling menopang. Media yang berani kritis tapi tetap beretika adalah tanda bahwa demokrasi kita masih punya arah moral.
Maka dari itu, kasus #BoikotTrans7 seharusnya tidak dibaca sebagai perang antara media dan masyarakat pesantren, melainkan sebagai refleksi bersama tentang batas dan arah kebebasan.
Media perlu menajamkan nurani, sementara publik perlu menajamkan nalar. Sebab pada akhirnya, tugas media bukan memenangkan konflik, tetapi menjaga percakapan bangsa agar tetap waras, adil, dan manusiawi.
***
*) Oleh : Azizah Zamzam, Ketua Yayasan Duta Pancasila.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Partai Demokrat Banyuwangi Gelar Kompetisi Sepak Bola Liga AHY FC 2025
Puluhan Pemuda Sipedang Banjarnegara Pasang Banner Tuntut Transparansi Anggaran Desa
Bipi Consulting Dukung Optimalisasi Potensi Siswa Lewat Asesmen Minat dan Bakat
Bupati Jombang Sebut Kebijakan Sekolah Lima Hari Dinilai Berjalan Baik
Peredaran Obat Daftar G di Pemalang Masif, Bupati dan Pengurus NU Kecam Keras
Menag Nazaruddin Tanggapi Kasus Trans 7: Jangan mengusik pondok pesantren
Ahli JPU PT Position Tak Bisa Membuktikan Dasar Hukum dan Patok Kawasan Hutan
Pemerintah Mengklaim Wacana BBM Etanol 10 Persen Bisa Sejahterakan Petani
RSUD Pandega Siap Operasikan Layanan Cuci Darah, Tak Perlu Lagi ke Luar Daerah
Terkait Dugaan Kelalaian Pelayanan Pasien, DPRD Pangandaran Panggil Manajemen RSUD Pandega