TIMESINDONESIA, SURABAYA – Suatu hari di bulan Oktober 2025, sekelompok dosen UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) dengan dibantu mahasiswanya sedang melakukan riset inovatif untuk menghasilkan suatu aplikasi berbasis augmated reality untuk suatu tayangan televisi agar lebih menarik di labnya.
Idenya simpel bagaimana menanyangkan program siaran prakiraan cuaca yang biasanya membosankan itu dengan dibuat animasi agar lebih menarik. Dimana latar penyiarnya dibuat virtual. Tidak tampak dinding studio yang biasanya itu. Yang terlihat tampilan cuaca yang seolah-olah nyata, disela-sela penyiarnya. Data cuaca yang ditampilkan pun asli, diambil dari data BMKG yang real time.
Berita diatas adalah satu contoh yang bagus, bagaimana menghadirkan realitas virtual untuk tujuan positif. Memberikan informasi yang akurat dan bermanfaat dengan tampilan yang menarik. Namun nyatanya tidak semuanya bertujuan seperti itu.
Hari ini sebagian masyarakat nyaris sudah terbelenggu dengan realitas semu, yang tidak dapat membedakan mana realitas asli dengan realitas semu maka benar apa yang disebut Yasraf Amir Piliang tahun 2004 melalui bukunya yang diberi judul Pos-realitas: Realitas Kebudayaan di dalam Era Pos-metafisika.
Artinya hari ini sudah masuk era yang disebut pos-realitas, atau pasca realitas. Realitas yang mengindikasikan suatu fakta atau kenyataan yang sesungguhnya digantikan realitas tiruan. Realitas yang didesain sedemikian rupa. Realitas yang telah dimasak, diberi “bumbu-bumbu penyedap” yang memungkinkan lebih “sedap” dari aslinya. Dengan demikian lebih memikat bagi pemirsanya.
Di Indonesia hari ini terdapat setidaknya 17 juta konten kreator, dimana dari angka itu sekitar 8 juta di antaranya menjadikan profesi itu sebagai ladang untuk mencari penghidupan. Tentu tidak semuanya konten yang dihasilkan bernuansa negatif, termasuk sesuatu yang menjurus pada kejahatan. Namun data tahun 2022 merujuk dari Kementerian Kominfo mencatat ada 130 ribu korban penipuan online di tanah air.
Terlepas dari itu semua, jika menilik teori komunikasi lama yang cukup usang tetapi masih aktual, sebut saja teori uses and gratification yang menjelaskan bahwa khalayak atau pengguna media bebas memilih konten dan tayangan apa yang mereka inginkan. Alih-alih berfokus pada apa yang media lakukan terhadap audiens, teori ini justru meneliti apa yang audiens lakukan terhadap media.
Dengan demikian produsen konten akan memproduksi atau menyiapkan “menu sajian” yang kira-kira sesuai dengan keinginan pemirsa, yang sesuai kultur maupun setting sosial penontonnya, walaupun hingga menabrak etika dan moralitas bahkan realitas yang sifatnya artificial.
Maxwell McCombs yang diperkuat oleh Donald Shaw keduanya pakar komunikasi, mengatakan bahwa konten atau tayangan media akan memengaruhi masyarakat melalui pembentukan opini atau sikap publik.
Dengan demikian semakin massif konten atau materi yang ditayangkan maka lama lama akan diyakini hal itu sebagai kebenaran, walaupun hal itu belum tentu benar atau belum tentu berdasarkan fakta adanya.
Bahkan dewasa ini muncul istilah yang disebut dengan “post-truth“, yaitu situasi dimana fakta objektif dikalahkan dengan opini subjektif yang sengaja ditampilkan ke publik. Maka ibaratnya jika ada orang sejuta yang ngomong satu plus satu bukan sama dengan dua, maka hal itu akan ada yang mempercayainya.
Maka benar kata orang, siapa yang menguasai media dia akan menguasai dunia. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah tokoh publik global, baik yang juga berprofesi politisi memiliki “corong” untuk meningkatkan atau menjaga popularitasnya.
Sebut saja Silvio Berlusconi, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Italia pemilik media grup besar di Itali, yang menguasai banyak saluran TV swasta disana. Presiden USA Donald Trump yang sejak awal sebagai pengusaha ini membangun truth social nya melalui perusahaannya Trump Media & Technology Group, yang juga berafiliasi dengan media berita Fox News.
Sementara di Indonesia politisi yang juga memiliki media kita tahu ada Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, dan lain-lain. Dari media mainstream ini berpadu dengan sosial media jadilah apa yang disebut sebagai Hybrid Media System, yang pengaruhnya luar biasa dalam mebentuk pandangan kebenaran publik.
Industri media itu punya misi. Selain misi untuk penyampaian informasi, juga misi untuk keberlanjutan bisnisnya (business sustainability). Oleh sebab itu apakah itu media mainstream atau para pelaku konten kreator terkadang melakukan penekanan sudut pandang yang dirasa memiliki impact secara jurnalistik, atau lebih memiliki nilai jual.
Bahkan seorang pakar komunikasi Marshall McLuhan pernah menyatakan bahwa cara media menyampaikan informasi lebih penting daripada isi pesannya itu sendiri. Mereka membentuk cara manusia berpikir dan berinteraksi dengan dunia. Oleh sebab itu sekali lagi media serta tokoh yang di framing sangat menentukan persepsi yang ditangkap masyarakat.
Framing media merupakan cara media untuk membingkai, menyusun, atau menyajikan suatu informasi peristiwa, isu, atau objek berita dengan sudut pandang tertentu, yang karenanya sangat memengaruhi bagaimana khalayak memahami dan mempersepsi framing tersebut.
Analisis Framing sendiri dikemukakan oleh Erving Goffman di tahun 1970an, sebagai perluasan dari kajian bidang sosiologi dan psikologi kognitif. Hal itu kemudian berkembang dan menjadi kajian menarik pada disiplin ilmu komunikasi dan media.
Era post truth atau pos-realitas yang saya spill diatas, oknum media mainstream hingga oknum citizen journalism atau para konten kreator tersebut menghalalkan segala cara demi konten yang disukai, walaupun tidak sesuai fakta atau menabrak kode, rambu-rambu atau moralitas dalam berjurnalistik. Misi utama media untuk To Inform atau To Educate selaksa otopis semata demi meraup cuan.
Pertanyaannya adalah dari gambaran diatas dimanakah Sovereignity atau kedaulatan kita sebagai publik atau individu untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Salah mendapat informasi, respon atau keputusan yang dihasilkan tentu menjadi bias. Kita berhak mendapat informasi yang akurat. Kita juga harus memiliki ‘kemerdekaan’ dari kungkungan atau ketergantungan dari sumber informasi yang tidak jelas.
Oleh sebab itu literasi digital menjadi penting. Bahkan disaat era kecerdasan buatan atau Artificial Intelligent saat ini, kreator konten mendayagunakan AI untuk mendukung produksinya. Tidak peduli itu valid atau tidak.
Dengan demikian kapabilitas masyarakat sudah tidak cukup lagi dibekali dengan literasi digital. Perlu sedikit meningkat menjadi literasi AI.
Kita harus mampu melakukan penggalian data dan sumber informasi yang akurat, melakukan verifikasi dan validasi atas informasi tersebut, hingga mencari history hingga rekam jejak kanal yang membroadcast konten atau tayanyan tersebut.
Disisi yang lain "kebijaksanaan" (wisdom) dan tangungjawab dari si penyebar konten memang sangat dibutuhkan, hingga regulasi dan penegakan hukumnya.
Kita sangat menyayangkan misalnya yang viral beberapa hari terakhir terkait “framing” kiai, santri dan pondok pesantren yang direndahkan martabatnya tersebut.
Sebaliknya kita mengapresiasi kelompok riset dosen dan mahasiswa yang inovatif untuk menayangkan berita cuaca secara impresif dan realtime diatas disaat musim yang tidak menentu ini.
***
*) Oleh : Dr. Yusuf Amrozi, M.MT., Staf Pengajar di Program Studi Sistem Informasi UIN Sunan Ampel Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
BCA Rogoh Rp5 Triliun untuk Buyback
KH Maman Imanulhaq Apresiasi Uji Terbang Perdana Drone Kargo Listrik DF-L100
Wamenhaj: Indonesia Siap Bangun Kampung Haji di Makkah
Saatnya Berlari, Bupati Banjarnegara Mutasi Ratusan Pejabat
Rayakan HUT ke-61, DPD Golkar Sidoarjo Jadikan Kantor sebagai Rumah Aspirasi Rakyat
AUCMA Bangun Pabrik Cerdas Pertama di Indonesia, Produksi 500 Ribu Kulkas per Tahun di Kendal
Hadapi Musim Tanam, Petani di Bantul Bakal terima Bibit dari Pemerintah Pusat untuk Lahan 6.704 hektare
BNPB Imbau Masyarakat Cek Prakiraan Cuaca Sebelum Bepergian
Ribuan Peserta dari Berbagai Daerah Meriahkan Ijen Marching Festival Banyuwangi
Sayur Organik Hasil Pertanian Warga Binaan Lapas Bondowoso Dilirik Program MBG