TIMESINDONESIA, MALANG – Kampus selalu menggaungkan jargon mulia: pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas bangsa. Mahasiswa digadang-gadang sebagai calon intelektual yang akan melahirkan terobosan pemikiran melalui karya ilmiah.
Namun mari kita jujur, bagi sebagian besar perguruan tinggi hari ini, karya ilmiah mahasiswa tidak lebih dari angka statistik untuk mengejar akreditasi, bukan untuk memajukan ilmu dan masyarakat.
Riset mahasiswa yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi kritis justru dikerdilkan menjadi formalitas administratif. Judul skripsi disusun tergesa-gesa, metode dipilih karena mudah diselesaikan, dan hasil penelitian jarang sekali menyentuh realitas sosial yang relevan.
Setelah diuji, dipajang di perpustakaan digital kampus, lalu menghilang tanpa jejak. Tidak ada solusi lahir. Tidak ada kebijakan berubah. Tidak ada publik yang merasakan manfaat.
Sementara itu, kampus bangga memamerkan angka publikasi yang meningkat. Dosen mengejar Scopus bukan karena kontribusi pengetahuan, tetapi karena tunjangan jabatan. Mahasiswa didorong “asal publikasi” demi mendukung luaran akreditasi institusi. Semua terjebak dalam ritual kesuksesan palsu.
Krisis ini bukan sekadar masalah teknis pendidikan tinggi. Ini adalah krisis moral akademik.
Mari kita bongkar lebih dalam akar masalahnya. Akreditasi kampus hari ini berdiri di atas logika input-output yang sangat pragmatis. Semakin banyak publikasi, semakin tinggi nilai akreditasi. Maka lahirlah sebuah ekosistem yang memaksa karya ilmiah hanya menjadi instrumen penilaian, bukan ruang lahirnya ilmu baru.
Dosen kemudian mengalihkan perannya dari pendidik menjadi perantara administrasi, mengejar kuantitas bimbingan agar beban kinerja terpenuhi. Mahasiswa tak punya pilihan selain mengikuti arus: menyelesaikan skripsi seadanya, tanpa rasa ingin tahu yang sebenarnya. Alih-alih melatih berpikir kritis, karya ilmiah justru melatih kepatuhan tanpa perlawanan.
Di banyak kampus, pasar gelap jasa pembuatan skripsi tumbuh subur. Ini bukan hanya karena moral mahasiswa yang defisit, tetapi karena sistem yang memberi pesan: yang penting lulus dan menghasilkan dokumen. Ilmu? Bisa menyusul nanti, atau tidak sama sekali. Selama kampus bisa menunjukkan tingginya jumlah mahasiswa yang menuntaskan studi tepat waktu, akreditasi pun tetap aman.
Ironisnya, pemerintah kemudian menjadikan data publikasi, sitasi, maupun angka kelulusan sebagai tolok ukur keberhasilan transformasi pendidikan tinggi. Semua senang, semua merasa berhasil—meski semua tahu bahwa intelektualitas sejati sedang terbunuh pelan-pelan.
Akibat dari sistem ini sangat serius. Bangsa ini bukan hanya kehilangan kualitas penelitian, tetapi juga kehilangan karakter intelektual.
Pertama, mahasiswa kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis secara metodologis. Mereka hanya mengikuti template, bukan memecahkan masalah. Skripsi bukan lagi karya, tetapi kewajiban administratif seperti membayar Uang Kuliah Tunggal.
Kedua, dosen kehilangan peran sebagai ilmuwan pembimbing peradaban. Mereka dipaksa menjadi pekerja target publikasi, bukan mentori yang menumbuhkan gagasan. Banyak karya ilmiah mahasiswa akhirnya dituangkan sebagai nama dosen di jurnal predatory semua demi poin kinerja.
Ketiga, kampus kehilangan relevansi sosial. Hasil penelitian yang tidak pernah diimplementasikan hanyalah sampah digital berkedok ilmu pengetahuan.
Jika fakultas ekonomi memproduksi riset, mengapa kemiskinan masih di depan gerbang kampus? Jika fakultas hukum penuh teori keadilan, mengapa korupsi marak dengan pelaku berpendidikan tinggi? Jika fakultas pendidikan mencetak guru ahli, mengapa kualitas literasi nasional masih memprihatinkan?
Jawabannya satu: karya ilmiah kita tidak pernah dirancang untuk mengubah apa pun kecuali skor akreditasi.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, kampus harus mengembalikan riset sebagai proses intelektual, bukan administrasi. Kebijakan akademik harus mendorong mahasiswa melakukan penelitian yang punya dampak: diterapkan di desa binaan, dijadikan program komunitas, atau menjadi prototipe produk yang nyata.
Kedua, pemerintah harus mengubah parameter akreditasi: bukan lagi mengejar angka publikasi, tetapi mengukur kontribusi sosial ilmu pengetahuan. Penelitian mahasiswa harus tersambung dengan kebutuhan masyarakat, dunia industri, dan tantangan bangsa.
Ketiga, dosen harus kembali menjadi penggerak ilmu. Bukan hanya pendamping tugas akhir, tetapi pemandu visi akademik yang berani menantang mahasiswa berpikir lebih besar daripada syarat kelulusan.
Keempat, mahasiswa harus berani mengembalikan martabat dirinya sebagai intelektual muda. Tugas akhir bukan sekadar tiket wisuda. Itu adalah kesempatan terakhir mereka di kampus untuk membuktikan bahwa mereka pantas menyebut diri sebagai insan akademis.
Sumpah ilmu itu seharusnya sederhana: Bahwa ilmu harus hidup. Bahwa penelitian harus bermanfaat. Bahwa karya harus menjadi suara perubahan.
Jika perguruan tinggi terus memperlakukan karya ilmiah hanya sebagai angka dalam borang akreditasi, maka kita sedang mengkhianati hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Kita sedang mencetak generasi sarjana tanpa pikiran, lulusan tanpa gagasan, dan ilmuwan tanpa integritas.
Dan itu jauh lebih berbahaya daripada krisis ekonomi atau politik manapun karena krisis intelektual adalah awal dari kejatuhan peradaban.
Saatnya kampus berhenti membohongi dirinya sendiri. Pendidikan tinggi harus kembali menjadi pabrik gagasan, bukan pabrik kelulusan.
Ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti di lembar skripsi. Ilmu harus bekerja untuk masyarakat. Kalau tidak begitu, untuk apa kita menyebut diri sebagai bangsa yang berpendidikan? (*)
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Tracing the Spirit of Tatah Natah with Nyoman Bratayasa at Tugu Kunstkring Paleis
Gelar Sumbar Expo 2025, Gubernur: UMKM Harus Mampu Bersaing
Zahra Fitriyana Bicara Eskalasi Kesataraan Gender dengan Advokasi Woman Empowerment
'Livin' Bank Mandiri Catatkan Transaksi Fantastis Rp3.220 Triliun dalam 9 Bulan
Superbank Cetak Laba Rp80,9 Miliar di Q3
Sumpah Pemuda dalam Gaya Gen Z ala UK Petra, Wujudkan Batik yang Berinovasi dengan AI
Tangan-Tangan Kecil Penyelamat Pesisir Pantai Kenjeran
Mendagri Tito Karnavian Minta Pemda Kendalikan Harga Komoditas di Daerah Berinflasi Tinggi
Purbaya: Presiden Prabowo Sukses Pulihkan Kepercayaan Rakyat
Menkeu Purbaya Sebut Presiden Prabowo Subianto Pulihkan Optimisme Publik dalam Dua Bulan Terakhir