TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Bayangkan jika setiap pohon yang tumbuh di pinggir jalan, setiap taman yang rindang di sekitar masjid, atau setiap hutan kecil di lahan pesantren bukan hanya sekadar penghijauan, tapi juga “tabungan akhirat”.
Konsep itu bukan mimpi, itulah wajah baru dari wakaf hijau. Sebuah gagasan cerdas yang menyatukan nilai spiritual Islam dengan tanggung jawab ekologis manusia modern yang sedang dikejar-kejar oleh krisis iklim.
Selama ini, banyak dari kita mengidentikkan wakaf dengan masjid megah, madrasah, atau makam keluarga. Padahal, dalam konsep aslinya, wakaf berarti menahan harta untuk kemaslahatan umum tanpa mengurangi nilai pokoknya. Dalam bahasa lain: sesuatu yang terus memberi manfaat walau pemiliknya telah tiada.
Nah, jika manfaat yang diberikan itu berupa udara segar, air bersih, dan bumi yang lestari, bukankah itu justru bentuk kemaslahatan yang paling nyata untuk generasi mendatang?
Ide wakaf hijau (green waqf) bukan sekadar tren islami yang diwarnai daun-daun hijau dan jargon “eco-friendly”. Ia adalah bentuk aktualisasi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh, manusia sebagai penjaga bumi.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam (lihat QS. Ar-Rum: 41 dan Al-A’raf: 56). Rasulullah pun mencontohkan hal serupa: beliau melarang penebangan pohon sembarangan, bahkan menjanjikan pahala bagi orang yang menanam satu pohon (HR. Bukhari dan Muslim).
Bumi yang Mengeluh dan Amal yang Terlupakan
Mari kita lihat kenyataan. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu global sudah meningkat sekitar 1,1°C dibanding era praindustri. Dampaknya? Cuaca makin ekstrem, musim tak menentu, kebakaran hutan di mana-mana, dan krisis air yang mulai mengancam kota-kota besar.
Di Indonesia sendiri, BNPB mencatat sepanjang 2023 ada lebih dari 3.000 kejadian bencana hidrometeorologis dari banjir hingga kekeringan.
Ironisnya, di tengah kepanikan global soal perubahan iklim, konsep wakaf kita masih “terjebak” di bangunan fisik. Jika sebagian dana wakaf dialihkan untuk pelestarian alam misalnya untuk penghijauan, energi terbarukan, atau konservasi air hasilnya bisa sangat besar. Wakaf hijau ini bisa menjadi amal jariyah sekaligus mitigasi bencana.
Mari kita bayangkan bentuk konkretnya. Sebuah pesantren di Jawa Tengah memiliki lahan tidur dua hektar. Alih-alih membiarkan semak tumbuh liar, mereka menjadikannya lahan wakaf hijau: ditanami bambu dan pohon buah.
Bambu menyerap karbon empat kali lebih banyak dari pohon biasa, sementara pohon buah menghasilkan sumber ekonomi untuk santri dan warga sekitar. Ini bukan sekadar “proyek tanam pohon”, melainkan sistem keberlanjutan sebuah eco waqf farm.
Contoh lainnya datang dari Malaysia dan Turki. Di Malaysia, lembaga seperti Waqf Selangor Muamalat mengelola program wakaf energi surya. Panel surya dipasang di atap masjid-masjid, hasil listriknya menekan biaya operasional, bahkan bisa dijual kembali ke PLN versi mereka. Sedangkan di Turki, Green Waqf Foundation fokus pada pelestarian hutan wakaf yang hasil kayunya dikelola tanpa merusak ekosistem.
Indonesia sesungguhnya punya potensi besar untuk ini. Menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI), total tanah wakaf kita mencapai lebih dari 57 ribu hektar.
Bayangkan jika 10 persennya saja dialokasikan untuk wakaf hijau, itu sudah setara dengan ratusan ribu ton karbon yang terserap per tahun. Amal jariyah dalam bentuk oksigen, siapa sangka?
Tentu, agar tidak sekadar wacana hijau, wakaf ini perlu dikelola dengan pendekatan profesional. Di sinilah peran nazhir (pengelola wakaf) menjadi krusial. Mereka perlu berpikir bukan hanya tentang pahala, tapi juga sustainability.
Misalnya, bagaimana mengintegrasikan program wakaf dengan carbon offset, sehingga lembaga atau perusahaan bisa “menebus” jejak karbonnya lewat wakaf.
Di sisi lain, masyarakat bisa ikut berpartisipasi melalui wakaf mikro digital menyumbang mulai dari Rp10.000 untuk menanam pohon atau membiayai panel surya masjid.
Pendekatan ini sudah diujicobakan oleh beberapa lembaga, seperti Dompet Dhuafa dan Laznas BSMU, yang mengembangkan wakaf energi terbarukan dan wakaf hutan produktif. Skemanya bukan hanya tentang “tanam dan tinggal”, tapi ada aspek pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan pelibatan masyarakat sekitar agar merasa memiliki.
Dengan model ini, wakaf tidak lagi dipahami semata sebagai “menyerahkan harta ke lembaga”, tapi “berinvestasi sosial dan ekologis” untuk masa depan. Itulah yang disebut impact-based waqf. Amal jariyahnya tidak hanya dirasakan di akhirat, tapi juga di udara yang lebih bersih hari ini.
Menariknya, kesadaran ekologis dalam Islam sebenarnya bukan barang baru. Ulama klasik seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sudah menulis tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam dalam konteks moral dan sosial.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab, sudah ada hima kawasan konservasi yang ditetapkan negara untuk menjaga sumber air dan padang rumput. Dengan kata lain, Islam sudah punya “DNA hijau” jauh sebelum istilah sustainable development populer di PBB.
Maka, wakaf hijau bukan inovasi asing, melainkan reinkarnasi dari semangat lama yang disesuaikan dengan konteks zaman. Bedanya, kini tantangan kita bukan lagi sekadar menjaga oasis di padang pasir, tapi melawan krisis iklim global yang mengancam umat manusia.
Kita sering mendengar hadits tentang tiga amal yang tidak terputus: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Nah, wakaf hijau ini sejatinya bisa mencakup semuanya: sedekah jariyah berupa hutan dan energi bersih, ilmu tentang ekologi yang diwariskan, serta generasi muda yang tumbuh mencintai bumi.
Jadi, ketika seseorang menanam pohon dalam program wakaf hijau, sejatinya ia sedang menulis doa di atas daun-daun yang berfotosintesis. Setiap oksigen yang dihirup manusia, setiap buah yang dinikmati, dan setiap air yang terserap ke tanah menjadi bagian dari pahala yang mengalir tanpa henti.
Wakaf hijau mengajarkan satu hal penting: bahwa menyelamatkan bumi bukan hanya urusan aktivis lingkungan, tapi juga ibadah spiritual. Sebab, menjaga alam berarti menjaga kehidupan dan menjaga kehidupan adalah bentuk paling mulia dari ibadah kepada Sang Pencipta.
***
*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Deal Besar! Sinergi Inti Andalan Caplok 60% Saham THC
NTB Dapat Tambahan Kuota Haji 1.000 Jamaah di 2026
Akibat Banjir Lahar Semeru, Ratusan Warga Dikabarkan Terisolasi
Ribuan Warga Bima NTB Terendam Banjir, 1.118 Rumah Terendam di Desa Monggo
Surabaya Tergenang! Wali Kota Eri Cahyadi Sentil Bangunan Berdiri di Atas Saluran Air
IoT Bikin Sawah Makin Cerdas, Produktivitas Petani Melonjak
Turunkan Tentara Pasukan Bela Diri, Jepang Alami Gelombang Serangan Beruang Terbesar
Warga Surabaya Merapat! Ada Diskon BPHTB dan Bebas Denda PBB di Bulan November
IPAL SPPG di Kota Banjar Belum Memenuhi Standar, Dinas LH Lakukan Ini
Tahun 2026 Diramal Cerah, Ekonomi RI Siap Gaspol Berkat Program Pemerintah