TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Bagi masyarakat Indonesia air bukan hanya sekadar benda pemenuhan kebutuhan hidup. Air memiliki makna spiritual yang menjadi simbol kesucian, kehidupan dan kejujuran alam. Air yang berasal dari alam dianggap murni, suci dan baik untuk kehidupan.
Saat publik resah mengetahui bahwa Aqua diduga mengambil air dari sumur bor alih-alih dari mata air pegunungan seperti yang selama ini diiklankan. Publik tidak hanya sekadar kaget, namun juga kecewa karena ini telah menyangkut kepercayaan, etika dan moralitas dalam bisnis.
Sejak puluhan tahun, Aqua selalu memposisikan sebagai brand air minum dari pegunungan murni. Seluruh iklannya menggambarkan alam yang asri, sumber air jernih, serta kesejukan pegunungan yang seolah-olah kesemuanya itu langsung dikemas ke dalam botol. Pencitraan ini sangat kuat dan berhasil menancap di kesadaran publik sebagai air yang merepresentasikan kemurnian dan kebaikan alam.
Namun, nyatanya air yang diklaim berasal dari mata air pegunungan sebenarnya diambil dari sumur bor. Bukan hanya perkara teknis, ada persoalan modal yang tidak bisa diabaikan.
Dalam logika bisnis modern, perusahaan bisa saja berdalih “air sumur bor tetap memenuhi standar kualitas dan sangat aman dikonsumsi”. Tapi dalam sudut pandang etika bisnis, ini adalah penyesatan publik, menjual janji yang tidak sesuai realitas.
Begitulah keadaan yang menggambarkan krisis moralitas pada kapitalismen modern. Semakin besar perusahaan, semakin jauh pula dari nilai-nilai kebaikan yang dahulu ditawarkan kepada konsumen hingga menjadi besar seperti sekarang.
Semakin banyak korporasi modern semakin tidak menghargai prinsip dasar etika bisnis: kejujuran dan tanggung jawab sosial. Dua hal tersebut selalu dikesampingkan dengan alasan persaingan yang semakin ketat serta efisiensi. Moral bisa digadaikan agar laporan keuangan selalu cantik di akhir tahun.
Padahal air di dalam konteks sosial Indonesia bukan hanya komoditas. Air adalah hak asasi manusia. Saat ada perusahaan yang entah bagaimana bisa menguasai sumber air dan mengomersialisasinya dengan narasi tidak jujur, perusahaan tersebut bukan hanya menipu, tapi juga merampas makna moral dari air itu sendiri.
Etika bisnis Aristotelian dijelaskan tujuan akhir dari kegiatan ekonomi bukan semata-mata profit.Tujuannya adalah mencapai the good life atau kehidupan yang baik dan bermakna. Di saat bisnis berjalan tanpa didampingi moralitas, yang ada hanyalah kebaikan untuk pemilik perusahaan, tanpa kebermanfaatan bagi publik.
Jika mengacu pada 3 pilar tanggung jawab sosial perusahaan yaitu profit, people dan planet Aqua hanya fokus pada profit dan lalai pada pilar people dan planet. Padahal sebuah perusahaan yang etis harus mampu menyeimbangkan ketiganya secara relatif.
Keuntungan harus diimbangi dengan pembangunan kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan. Kecenderungan pada profit secara otomatis akan ada kecenderungan pelanggaran pada dimensi planet (keberlanjutan lingkungan) dan people (kesejahteraan masyarakat).
Penyesatan publik nyatanya bukan hanya melanggar etika bisnis. Sistem ekonomi modern menjadikan kepercayaan (trust) sebagai modal kasat mata yang bisa secara mutlak menentukan umur sebuah perusahaan. Kekecewaan publik tahu dibohongi bisa membuat strategi branding yang dibangun selama bertahun-tahun runtuh hanya dalam sekejap mata.
Kasus ini seharusnya menjadi catatan penting bagi seluruh korporasi besar. Keuntungan tanpa integritas ibarat berjalan di atas dahan yang rapuh. Sewaktu-waktu bisa patah dan menjatuhkan dari ketinggian hingga menyentuh tanah.
Secara hukum formal, sah-sah saja Aqua memanfaatkan air tanah lewat sumur bor untuk dijadikan air minum dalam kemasan. Selama perusahaan memiliki izin lengkap seperti izin eksploitasi, izin lingkungan (AMDAL) serta memenuhi regulasi ambang batas konservasi air tanah. Namun masalah bisa muncul saat Aqua mempromosikan produk yang tidak mencerminkan produk keadaan sebenarnya.
Aqua berpotensi melanggar Undang-undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 4 huruf c, undang-undang menjamin hak konsumen mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kondisi barang atau jasa. Pada pasal 8 ayat 1 huruf f, perusahaan dilarang memperdagangkan barang dengan keterangan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Kemudian pada pasal 9 ayat 1 juga melarang perusahaan membuat iklan yang menyesatkan tentang mutu, bahan, manfaat atau asal-usul barang
Bila Aqua selama ini melabeli produknya dengan “air pegunungan alami”, namun kenyataannya berasal dari sumur bor, besar keumngkinan dikategorikan informasi yang menyesatkan konsumen. Pelanggaran hukum tersebut bisa dikenakan sanksi administratif, denda, bahkan penarikan produk dari pasar.
Dengan kasus ini, tersingkap juga lemahnya regulasi dan pengawasan negara dalam melindungi hak-hak konsumen. Selama ini, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) relatif bebas dalam memilih sumber airnya selama lolos uji teknis.
Namun pengawasan aspek etik dan tanggung jawab publik masih minim. Selama belum ketahuan, mekanisme ini seakaran dibiarkan berjalan. Saat mulai ketahuan, semua mulai cuci tangan bahkan beberapa berperan menjadi pahlawan kesiangan.
Negara tidak boleh hanya berperan sebagai kolektor pajak, tetapi juga harus turut serta menjaga moralitas ekonomi dan hak-hak konsumen. Negara harus bisa memaksa klaim produk yang diiklankan harus benar adanya.
Negara harus tegas menindak perusahaan yang melakukan penyesatan publik karena ini menyangkut hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur.
Bisnis yang baik bukan hanya bicara profit, tapi juga kejujuran. Dalam jangka panjang, perusahaan yang membangun bisnisnya di atas pondasi moralitas akan lebih bermanfaat dan lebih tahan terhadap krisis kepercayaan. Apalagi dalam era keterbukaan informasi seperti saat ini, transparansi menjelma menjadi bentuk baru dari daya saing.
***
*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Editor | : Hainorrahman |
Komisi A DPRD Jatim Perkuat Perda, Sasar Judi Online Hingga Fenomena Sound Horeg
Wali Kota Apresiasi MFW 2025: Simbol Kebangkitan dan Penguatan Ekonomi Kreatif
Lagi, Polres Banjarnegara Resmikan SPPG Kemala Bhayangkari, Ini Sasarannya
Literasi Hati di Era Teknologi
Meriahkan Libur Akhir Tahun, Pemkot Surabaya Hadirkan 'Surabaya Holiday Super Sale'
Luncurkan Program Kamis Aspirasi, Warga Gresik Bisa Lapor Keluhan ke Dewan
Dewan Soroti Masalah Tenaga Kerja di Gresik, Ungkap Fenomena Upah Murah
Aksi Jalan Miring di Blora: Kritik Tajam dari Seorang Aktivis Tunggal Lilik Yuliantoro
Jatim Penopang Garam Nasional, Komisi B DPRD Desak Perda Perlindungan
Riyadh Season 2025-2026: Transformasi Besar Saudi Menanti Wisatawan Indonesia