TIMESINDONESIA, PAMEKASAN – Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam yang membentang sangat luas, meliputi lautan, daratan, dan juga kawasan hutan. Dengan kekayaan alam tersebut, Indonesia harus waspada terhadap potensi banyaknya kerusakan hutan dan deforestasi dari waktu ke waktu akibat pemenuhan untuk kepentingan bisnis dan ekonomi maupun untuk perluasan lahan pemukiman (residental land).
Aktifitas bisnis dan ekonomi masyarakat yang menggantungkan pada sumber daya alam (SDA) disertai pula kebutuhan terhadap lahan pemukiman (residental land) karena pertumbuhan populasi manusia yang sangat meningkat dan berimplikasi buruk terhadap keberlangsungan lingkungan hidup di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Dinamika Tata Kelola Kawasan Hutan
Forest Watch Indonesia (2014) menyatakan Indonesia saat ini sedang menghadapi persoalan besar terkait pengelolaan hutan tidak berkelanjutan dan berdampak deforestasi, yang salah satunya disebabkan buruknya tata kelola hutan yang terjadi secara linear di semua level pemerintahan.
Terlebih lagi, adanya pemekaran wilayah menjadi daerah otonomi baru menjadikan persoalan di level pemerintah daerah semakin kompleks. Kompleksitas problematika tersebut cepat atau lambat akan menyebabkan kehancuran sumber daya hutan yang tersisa.
Di sisi lain, kerusakan hutan dan deforestasi di Indonesia disebabkan oleh lima hal. Pertama, konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan. Kedua, konversi hutan alam menjadi lahan pertanian dan perkebunan.
Ketiga, eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada kawasan hutan (mineral, batubara, migas, geothermal). Keempat, pembakaran hutan dan lahan. Kelima, konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya.
Dalam rilis data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tanggal 18 Januari 2024 menjelaskan bahwa hutan di seluruh daratan Indonesia seluas 96,0 juta hektar (ha) atau 51,2% dari total daratan. Di mana luas 88,3 juta ha berhutan atau sekitar 92,0% berada di dalam kawasan hutan dengan tingkat deforestasi tahun 2021 -2022 adalah sebesar 104 ribu ha.
Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 105,2 ribu ha, di mana 71,3% atau 75,0 ribu ha berada di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 30,2 ribu ha atau 28,7% berada di luar kawasan hutan.
Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 139,1 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 25,6 ribu ha. Dengan memperhatikan hasil pemantauan tahun 2020-2021 dapat dilihat bahwa deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 terjadi penurunan 8,4 %.
Perlindungan Hukum Kawasan Hutan
Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH) sebagai hukum yang bersifat umum (lex generalist) dibuat untuk melindungi lingkungan hidup dari pencemaran atau kerusakan yang dilakukan oleh semua orang, baik secara personal maupun terorganisir untuk tujuan keuntungan materi (profit oriented) dengan mengabaikan tujuan negara di dalam pengelolaan lingkungan hidup dan SDA untuk kepentingan penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Eksistensi hutan sebagai bagian dari SDA potensial diincar untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin yang kerap terjadi disertai pelanggaran hukum, seperti pembalakan liar, pembakaran hutan untuk tujuan bisnis dan ekonomi, serta perusakan hutan untuk perluasan dan pemenuhan lahan pemukiman (residental land).
Di samping UU PPLH untuk melindungi lingkungan hidup termasuk hutan, pemerintah telah membuat aturan hukum yang bersifat khusus (lex specialist) untuk melindungi hutan. Selain undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang kehutanan menjadi undang-undang (UU Kehutanan), juga ada undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (UU PPPH) dengan maksud untuk memperkuat instrumen penegakan hukum bidang kehutanan.
Dalam UU PPPH penegakan hukum lebih fokus terhadap sanksi pidana dan tidak memuat penegakan hukum secara keperdataan dan administrasi seperti yang diatur di dalam UU PPLH, tapi keberadaan UU PPPH sangat besar manfaatnya untuk melindungi eksistensi hutan di Indonesia dari tindakan pemanfaatan yang melampaui batas serta berpotensi sebagai tindakan pelanggaran hukum atau kejahatan.
Ruslan Renggong (2018) menyatakan bahwa dalam rangka melindungi hutan sebagai paru-paru dunia dan tidak ternilai harganya, pemerintah telah merumuskan kebijakan perlindungan kehutanan melalui UU PPPH dengan tujuan menguatkan penegakan hukum kehutanan di luar undang-undang yang telah ada.
Materi muatan dalam UU PPPH, selain mengatur upaya pencegahan, juga memuat perangkat norma dan sanksi pemidanaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi meningkatnya praktik perusakan hutan dengan modus yang sangat sulit dideteksi tanpa aturan hukum yang tegas dan terperinci.
Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan sejatinya dapat dijalankan secara maksimal oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan memanfaatkan instrumen hukum yang telah ada. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang bersifat umum (lex generalis), maupun UU Kehutanan dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (PPPH) yang bersifat khusus (lex specialis).
Tujuan utama pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU PPPH meliputi pemberian kepastian hukum serta efek jera bagi pelaku perusakan hutan.
Selain itu, penegakan hukum juga harus menjamin keberlanjutan hutan dengan menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem sekitarnya, mengoptimalkan pengelolaan serta pemanfaatan hasil hutan secara seimbang, dan memperkuat koordinasi antar aparat penegak hukum serta pihak terkait. Semua itu perlu dilaksanakan secara konsisten agar sesuai dengan harapan dan kepercayaan publik. (*)
***
*) Oleh : Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Bupati Malang Tekankan Pemenuhan Syarat SLHS, 87 SPPG MBG Sudah Beroperasi
Atasi Kemiskinan, DPRD Jatim Intervensi Melalui Sekolah Rakyat hingga Modal Single Mom
Pemerintah Ubah Skema Pembiayaan Kopdes Merah Putih untuk Percepat Pembangunan 80 Ribu Koperasi
Polisi Selidiki Ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara, 54 Orang Luka-Luka
Soeharto, Kepahlawanan yang Diperdebatkan
Semarak Hari Pahlawan 10 November 2025 Bandara Dhoho Kediri Tandai Penerbangan Perdana Super Air Jet
20 Ribu Warga Kota Malang Terima BLTS Rp900 Ribu, Pencairan Melalui Bank Himbara
Bupati Nanik Sumantri Lantik Welly Kristanto Jadi Sekda Definitif Magetan, Rotasi Pejabat Eselon II Segera Menyusul
Katanya Sudah Fiber Optic, Kok Pas Hujan Internet Tetap Ngadat?
Polres Sumba Timur Sita 530 Botol Miras Pinaraci dalam Operasi Rutin