TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di sudut kota Banyuwangi, tepatnya depan kantor Perhutani, seorang lelaki paruh baya tampak sibuk dengan kuas dan selembar kertas linen. Tangannya cekatan menari, memadu warna-warna cat yang menebarkan aroma khas di bawah terik matahari. Dia adalah Muhammad Djoeuhari (53), seniman jalanan yang meniti hidup dari sapuan kuas dan ketulusan doa.
Dari Buku Sekolah ke Jalanan Kota
Bakat melukis Djoeuhari sudah tampak sejak kecil. Saat duduk di bangku SD kelas 3 di Surabaya, ia sering menggambar tokoh superhero seperti Batman, Spiderman, dan lainnya di buku tulisnya.
“Ibuk dulu nggak setuju, katanya ‘Kon iku wayae sekolah malah gambar ae’ (kamu ini waktunya sekolah malah gambar aja),” kenang Djouhari, sembari tangannya melukis motor vespa pesanan bule asal England, Selasa (7/10/2025).
Meski sempat dilarang, kecintaannya pada seni tak pernah padam. Ia belajar secara otodidak, tanpa guru, hanya berbekal rasa ingin tahu dan kesabaran.
Setelah lulus dari SMK Ketintang, Wonokromo, Surabaya, Djoeuhari sempat menempuh berbagai pekerjaan. Namun, hatinya selalu kembali pada dunia gambar, ruang yang membuatnya merasa hidupnya berwarna.
Djoeuhari sedang melukis motor vespa pesanan bule England. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Menemukan Warna Hidup di Banyuwangi
Sekitar 15 tahun lalu, perantau asal Kelurahan Keputran, Kecamatan Tegalsari, Surabaya, itu menetap di Bumi Blambangan setelah menikah dengan pujaannya, Kholifah Fitriah, perempuan asli Kelurahan Tukang Kayu, Banyuwangi, yang juga menjadi alamat tempat tinggal.
“Dulu awalnya saya melukis di depan KUA, sekarang di seberang kantor Perhutani,” ujarnya.
Tempat itu kini menjadi saksi perjuangan sehari-harinya. Bapak dua anak itu membuka lapak sejak pukul delapan pagi hingga sore.
Dalam sehari, Djoeuhari bisa menyelesaikan dua lukisan, masing-masing memakan waktu sekitar tiga jam. Harga karyanya terbilang terjangkau, antara Rp75 ribu hingga Rp125 ribu, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan.
“Beda dengan di Bali atau Surabaya, di Banyuwangi ini standarnya (harganya) segitu. Tapi yang penting tetap ada yang beli, bisa buat makan,” ucapnya lirih.
Kuas, Rezeki, dan Ketulusan
Dalam sebulan, Djoeuhari hanya mampu menjual sekitar sepuluh lukisan. Untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, ia kerap bekerja serabutan selepas menutup lapak.
“Kalau nggak ada yang manggil kerjaan, ya bingung. Anak butuh uang saku, keluarga butuh makan. Kadang musim juga pengaruh, jadi nggak bisa mangkal,” tuturnya.
Namun, di balik keterbatasan, Djoeuhari tetap menjaga semangat. Ia percaya, setiap warna yang ia sapukan adalah bentuk doa dan ikhtiar.
Bagi Djoeuhari, setiap lukisan memiliki makna tersendiri. Namun, ada satu tema yang selalu memberinya ketenangan, yaitu sosok para ulama. Dalam setiap goresan wajah mereka, ia seakan menemukan kedamaian dan harapan tersendiri, sebuah cara sunyi untuk memanjatkan doa melalui warna dan garis.
“Paling suka itu ngelukis gambar ulama. Ya berharap biar dapat syafaatnya,” cetusnya sembari menyeruput kopi sebagai teman kerjanya.
Konsisten di Tengah Gempuran Teknologi
Ketika ditanya soal kemajuan teknologi yang membuat lukisan bisa diprint secara digital, pria tujuh bersaudara itu tersenyum bijak.
“Sekarang memang zamannya modern semua serba teknologi. Tapi yang alami yang dilukis manual itu tetap dicari orang, karena di situ nilai seninya,” katanya.
Baginya, teknologi bukan ancaman, melainkan pemacu semangat untuk terus berinovasi. Ia bahkan mencoba melukis di media tak biasa seperti kayu, triplek, dan gabus. Sesuatu yang tak bisa dilakukan mesin printer.
Menjaga Warna Kehidupan
Kini, di usia lebih dari setengah abad, Djoeuhari tetap setia di tepi jalan, melukis di antara lalu-lalang kendaraan dan debu kota.
Setiap kali pembeli datang, Djoeuhari selalu memastikan mereka puas. Ia kerap menanyakan pendapat pelanggan tentang hasil karyanya, berharap setiap lukisan yang dibawa pulang benar-benar sesuai dengan keinginan mereka.
“Saya selalu tanya, gimana hasilnya, sudah cocok belum. Saya pingin hasilnya sesuai harapan pembeli. Gak mau mengecewakan,” ucapnya.
Baginya, kepuasan pembeli adalah bentuk penghargaan tertinggi bagi kerja keras dan ketulusan yang ia tuangkan di setiap goresan kuas.
Bagi sebagian orang, ia mungkin sekadar pelukis jalanan. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, Djoeuhari adalah potret keikhlasan seseorang yang bertahan hidup lewat lukisan dan doa, menjaga warna kehidupan agar tak pudar di tengah arus zaman. (*)
Pewarta | : Muhamad Ikromil Aufa |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Nasi Pecel: Protein and Fiber Fulfilled with Just a Simple Menu
Sri Aji Joyoboyo, Jangka Jayabaya dan Jejak Moksa yang Melegenda
Padi Reborn Akan Gelar Konser Tunggal Bertajuk Dua Delapan
A Café That Never Sleeps: TRIBE Kitchen Brings 24-Hour Energy to Kuta, Bali
Kisah Djoeuhari, Seniman Jalanan Banyuwangi yang Bertahan Hidup Lewat Lukisan dan Doa
Pemkot Bandung Tegaskan Lahan Bandung Zoo Aset Sah Milik Pemerintah
Feodalisme Pesantren: Adab, Ilmu dan Kontribusi
Local Media Summit 2025: Menjelajahi Masa Depan Media Berkelanjutan di Indonesia
DJ Panda Akan Dipanggil Polisi Terkait Laporan Erika Carlina
MUI Tegas! Tolak Tim Senam Israel Tampil di Indonesia