TIMESINDONESIA, JOMBANG – Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, KH Zainul Ibad As’ad atau yang akrab disapa Gus Ulib, menegaskan bahwa pesantren bukanlah lembaga feodal dan tidak pernah mempraktikkan sistem kerja paksa terhadap santrinya.
Pernyataan ini disampaikan sebagai klarifikasi terhadap pandangan keliru sebagian pihak yang menilai aktivitas santri di pesantren identik dengan bentuk eksploitasi tenaga.
Menurut Gus Ulib, kehidupan di pesantren dibangun atas dasar nilai keikhlasan, pengabdian, dan pendidikan karakter, bukan relasi kuasa sebagaimana dalam sistem feodalisme.
Segala bentuk aktivitas yang dilakukan santri mulai dari belajar, beribadah, hingga membantu kegiatan harian pesantren merupakan bagian dari proses pendidikan yang bertujuan menanamkan tanggung jawab, kemandirian, dan jiwa sosial.
“Santri membantu di dapur, kebersihan, atau kegiatan lain bukan karena disuruh secara paksa. Itu bagian dari pendidikan mental dan pembentukan karakter. Mereka melakukannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan,” jelas Gus Ulib di sela kegiatan pengajian, Rabu (15/10/2025).
Gus Ulib menegaskan, budaya khidmah atau pengabdian dalam tradisi pesantren sudah ada sejak ratusan tahun lalu, diwariskan oleh para ulama pendahulu sebagai sarana tazkiyatun nafs (penyucian diri) dan latihan tanggung jawab sosial.
“Pengabdian di pesantren itu bukan kerja paksa. Itu latihan keikhlasan. Kalau dalam bahasa spiritualnya, itu bagian dari proses membentuk hati yang bersih dan jiwa yang kuat,” lanjutnya.
Gus Ulib juga menolak keras pandangan bahwa santri diperlakukan tidak manusiawi di pesantren. Menurutnya, hubungan antara kiai dan santri bukanlah relasi majikan dan pekerja, melainkan relasi guru dan murid yang dilandasi rasa hormat, cinta, dan kepercayaan.
“Di pesantren, santri menghormati kiai seperti menghormati orang tuanya sendiri. Begitu pula kiai mencintai santri seperti anak-anaknya. Jadi, kalau ada yang menuduh pesantren feodal, itu karena tidak memahami ruh pesantren,” tegas putra dari KH. Moh. As’ad Umar.
Lebih jauh, Gus Ulib menilai bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan paling egaliter di Indonesia. Di dalamnya, tidak ada sekat sosial antara anak pejabat dan anak petani, antara orang kaya dan orang miskin. Semua santri mendapat perlakuan yang sama, belajar di tempat yang sama, dan menempuh proses pendidikan yang sama.
“Nilai-nilai egaliter sudah melekat dalam sistem pesantren. Santri dari berbagai latar belakang duduk bersama, makan bersama, belajar bersama. Inilah pendidikan kebangsaan sejati,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang mendiskreditkan pesantren. Sebab, selama berabad-abad, pesantren telah menjadi benteng moral bangsa dan pusat peradaban Islam Indonesia.
“Kalau kita bicara sejarah bangsa ini, banyak tokoh besar lahir dari pesantren. Mereka ditempa bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan adab dan pengabdian,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Deasy Mayasari |
Sunrise at Putuk Lesung, A Perfect Trail for Novice Hikers in Pasuruan
Extraction Versi Korea, Hadirkan Ma Dong Seok dan Lee Jin Wook
Boikot Trans7 dan Martabat Pesantren
Instagram Terapkan Pengaturan Privasi Baru untuk Akun Remaja
6 Reasons Why People Choose Park as a Simple Place for Healing
Orem-Orem, A Traditional Taste Amidst the Surge of Modern Cuisine
Presiden Prabowo Dipercaya Dunia Internasional Sebagai Figur Pencari Solusi Damai
Kendalikan Hipertensi dengan Rekomendasi Sayuran Beku Ini
Sejarah Kuliner Khas Korea Seolleongtang, Hidangan Raja Joseon
Dari Konten Kreatif ke Duta Dekranasda Jabar, Kiprah Nok Intan di Dunia Digital