TIMESINDONESIA, MADIUN – Penyegelan kios di Kota Madiun tidak hanya dialami pedagang pasar tradisional saja. Sejumlah kios di area Jalan Bogowonto juga mengalami nasib serupa.
Alasan penyegelan adalah tunggakan retribusi yang belum terbayar penyewa kios. Namun penyewa kios berdalih tunggakan terjadi karena kenaikan retribusi yang nyaris seribu persen. "Sebelum naik retribusi sebesar Rp 900 ribu setahun. Setelah itu jadi Rp 8,5 juta setahun. Naiknya 940 persen," ungkap Eka Hartono salah seorang penyewa kios Bogowonto, Rabu (5/11/2025).
Eka mengaku menunggak pembayaran selama tiga tahun. Bukan tanpa alasan. Penjualan barang elektronik di kiosnya turun drastis sejak rangkaian gerbong kereta api (KA) dipasang persis di deretan kios Bogowonto. Gerbong tersebut merupakan bagian Bogowonto Culinary Center dan digunakan untuk area makan.

Sejumlah kios di Jalan Bogowonto disegel dan tidak lagi buka. (FOTO: Yupi Apridayani/TIMES Indonesia)
"Posisi gerbong menutup kios saya dan lainnya. Jalan akses ke kios juga tertutup. Bagaimana mau jualan. Pembeli tidak bisa masuk," ujar Eka.
Menurutnya, pembangunan Bogowonto Culinary Center tidak mempertimbangkan dampak bagi kios yang sebelumnya sudah ada. Area kios Bogowonto yang berdiri sejak tahun 1960-an dan menjadi pusat penjualan barang elektronik dan peralatan listrik kini terancam tutup total.
"Setelah 60 tahun jadi pusat elektronik tiba-tiba diubah jadi tempat kuliner. Kami juga disarankan banting stir jualan makanan. Tidak bisa segampang itu ganti usaha," ungkap Eka.

Penyewa kios di Jalan Bogowonto Kota Madiun bersama anggota Dewan Pembina APPSI pusat saat meninjau BCC. (FOTO: Yupi Apridayani/TIMES Indonesia)
Menyusul adanya tunggakan retribusi dan beberapa kios memilih tutup beberapa lama, Pemkot Madiun menyegel sejumlah kios termasuk yang ditempati Eka. Terlihat ada stiker biru tertempel di pintu kios sebagai penanda penyegelan.
"Kalau kios harus buka dan bayar retribusi ya gerbongnya kami minta dipindahkan. Jika mau ganti penyewa ya harus ada pengganti bangunan karena dulu kios itu yang membangun penyewa bukan pemkot," ujar Eka.
Berbeda dengan Eka yang memilih menutup usaha, Syaiful penyewa kios lainnya memilih tetap bertahan di area Bogowonto. Usaha cukur rambut miliknya tetap buka meskipun pelanggan yang datang sudah banyak berkurang.
"Banyak pelanggan yang mengira sudah tutup setelah ada gerbong. Dari depan juga tidak kelihatan," kata pemilik kios cukur rambut Sa'i.
Tempat usaha Syaiful masih diuntungkan karena berada di paling ujung berdekatan dengan jalan raya. Juga tersisa sedikit tempat untuk parkir kendaraan pelanggan. Namun, penghasilan saat ini tidak bisa menutup biaya rentribusi kios yang harus dibayar. "Kalau dihitung ya berat buat bayar retribusi. Tapi mau bagaimana lagi. Kalau tutup saya mau kerja apa," kata Syaiful.
Wadul Sana-Sini Tidak Ada Solusi, Penyewa Kios Lapor ke APPSI
Sejak area Bogowonto Culinary Center berdiri dan berdampak sepinya kios, penyewa kios berusaha mencari solusi ke berbagai pihak. Eka Hartono mewakili penyewa kios Bogowonto lainnya mengaku sudah menemui pihak terkait. Mulai dari Badan Pengelola Aset dan Keuangan Daerah (BPKAD) dan Dinas Perdagangan Kota Madiun hingga INKA dan KAI. Namun tidak satu pun bisa memberikan solusi yang diharapkan.
"Saya malah merasa diping-pong. Semua jawabnya nggak tahu karena pembangunan area kuliner itu perintah kepala daerah," ungkap.
Akhirnya Eka memilih bergabung dengan pedagang pasar tradisional yang juga menjadi korban penyegelan kios untuk audiensi dengan DPRD Kota Madiun. Alih-alih mendapat solusi, rekomendasi hasil audiensi yang dilayangkan legislatif tidak direspons eksekutif.
"Ayolah duduk bersama cari solusi yang bisa diterima semuanya. Tapi kalau mau ambil langkah hukum kami juga siap," tegas Eka.
Terakhir, penyewa kios Bogowonto ikut wadul ke Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Upaya itu mendapat respons dengan kedatangan Ngadiran anggota Dewan Pembina APPSI Pusat. Selain berkeliling pasar tradisional, Ngadiran juga mendatangi area Bogowonto.
Merespons aspirasi dan keluhan penyewa kios, Ngadiran mempertanyakan studi kelayakan pembangunan Bogowonto Culinary Center. Studi kelayakan itu mencakup bagaimana dampak menyeluruh keberadaan area kuliner itu. "Membangun itu jangan hanya berdasarkan emosional saja. Studi kelayakannya bagaimana. Apakah tidak mempertimbangkan dampak terhadap kios yang sebelumnya ada," ujar Ngadiran.
Menurutnya, pedagang yang menyewa kios justru lebih utama dipikirkan sebelum area kuliner baru dibangun. Sebab mereka sudah bertahun-tahun merintis usaha dan mencari penghasilan di lokasi itu.
"Betul itu lahan dan asetnya pemerintah daerah. Tapi kan tidak keluar duit. Justru yang menyewa kios itu dari awal sudah keluar modal untuk berusaha. Ya janganlah begitu saja dimatikan," tegas Ngadiran.
Sama halnya dengan penyegelan kios pedagang pasar tradisional, Ngadiran berharap penyewa kios di Jalan Bogowonto Kota Madiun tidak menjadi korban aturan dan kebijakan yang dirasa tidak adil bagi mereka. Serta berpotensi memiskinkan warga masyarakat karena kehilangan mata pencaharian. (*)
| Pewarta | : Yupi Apridayani |
| Editor | : Faizal R Arief |
Deal Besar! Sinergi Inti Andalan Caplok 60% Saham THC
NTB Dapat Tambahan Kuota Haji 1.000 Jamaah di 2026
Akibat Banjir Lahar Semeru, Ratusan Warga Dikabarkan Terisolasi
Ribuan Warga Bima NTB Terendam Banjir, 1.118 Rumah Terendam di Desa Monggo
Surabaya Tergenang! Wali Kota Eri Cahyadi Sentil Bangunan Berdiri di Atas Saluran Air
IoT Bikin Sawah Makin Cerdas, Produktivitas Petani Melonjak
Turunkan Tentara Pasukan Bela Diri, Jepang Alami Gelombang Serangan Beruang Terbesar
Warga Surabaya Merapat! Ada Diskon BPHTB dan Bebas Denda PBB di Bulan November
IPAL SPPG di Kota Banjar Belum Memenuhi Standar, Dinas LH Lakukan Ini
Tahun 2026 Diramal Cerah, Ekonomi RI Siap Gaspol Berkat Program Pemerintah