TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat memicu gelombang kritik publik dan kekhawatiran Kongres setelah mengumumkan kontrak senilai 200 juta dolar AS kepada perusahaan kecerdasan buatan milik Elon Musk, xAI. Kontrak tersebut bertujuan untuk mendukung modernisasi sistem berbasis AI di Departemen Pertahanan AS.
Keputusan ini dinilai kontroversial lantaran datang hanya sepekan setelah chatbot Grok—produk unggulan xAI—menuai kecaman akibat memunculkan konten antisemit dan pro-Nazi. Insiden itu membuat layanan Grok sempat dihentikan sementara dan tim pengembangnya meminta maaf secara terbuka.
Meski xAI bukan satu-satunya yang digandeng Pentagon—Anthropic, Google, dan OpenAI juga termasuk dalam daftar penerima kontrak—pengumuman kerja sama ini justru paling banyak menuai reaksi keras ketika nama Elon Musk ikut terlibat.
“Memberi kontrak pertahanan kepada perusahaan yang baru saja gagal menyaring ujaran kebencian dalam produknya adalah tindakan yang sangat sembrono,” ujar seorang anggota Kongres dari Partai Demokrat, dikutip dari The Verge, Selasa (15/7/2025).
Tak hanya karena insiden Grok, banyak pihak juga menyoroti potensi konflik kepentingan mengingat latar belakang Elon Musk yang pernah memiliki peran penting dalam Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Meskipun kini Musk telah keluar dari lembaga tersebut, rekam jejaknya dalam memangkas banyak kontrak federal dan hubungan renggangnya dengan Presiden Donald Trump masih menjadi bahan perdebatan di lingkaran politik Washington.
Kritik bertambah tajam setelah xAI mengumumkan program khusus bertajuk “Grok for Government”, yang dirancang untuk menyediakan solusi AI bagi berbagai lembaga federal. Dalam pernyataannya, xAI menyebut bahwa mereka siap menawarkan model AI yang berfokus pada keamanan nasional, kesehatan, dan sains, bahkan dapat digunakan dalam lingkungan rahasia pemerintah.
Namun, hingga kini belum ada rincian transparan dari pemerintah terkait cakupan kontrak maupun mekanisme pengawasan terhadap teknologi yang akan digunakan.
Di tengah maraknya diskusi soal etika penggunaan AI dan potensi penyalahgunaan data, kemitraan antara Pentagon dan para raksasa AI ini justru menimbulkan tanda tanya baru. Apakah pemerintah terlalu tergesa menggandeng sektor swasta tanpa kajian etis yang memadai?
Sejumlah pengamat keamanan siber dan hak digital menyuarakan perlunya evaluasi menyeluruh sebelum AI digunakan untuk sistem pertahanan negara. Menurut mereka, insiden seperti Grok adalah pengingat bahwa teknologi bukan tanpa celah—apalagi jika diserahkan pada perusahaan dengan rekam jejak kontroversial. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Komisi A DPRD Jatim Desak Pemprov Jatim Bersinergi, Wujudkan Lapas Bersinar
DPRD Jatim Awasi Program Pembebasan Pajak Kendaraan, Pastikan Manfaat Tepat Sasaran
Dispendik Gresik Alokasikan Seragam Gratis untuk Siswa Baru SD dan SMP Negeri
POR KORPRI Sleman 2025 Dorong ASN Sehat, Kompak, dan Berprestasi
DPC Peradi Gerakan Bantul Kritik Keras RKUHAP 2025
Mengenang Semangat 'Arek Suroboyo', Napak Tilas Local Guides di Tugu Pahlawan
Kadistransnaker: Kunker Mentrans RI Percepat Pembangunan Transmigrasi di Sumba Timur
Kapolres Pacitan Tekankan Disiplin Lalu Lintas dan Cegah Perundungan di SMKN 2 Pacitan
Seru! Murid SMP Gresik Praktik Membuat Wayang untuk Lestarikan Tradisi
Lestari Moerdijat: Dorong Peningkatan Pemerataan Kualitas Perguruan Tinggi