TIMESINDONESIA, SURABAYA – Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, dalam Podcast Ngopeni Rakyat TIMES Indonesia mengupas tuntas kendala utama yang menghambat efektivitas program pembangunan di Jatim sulitnya mewujudkan kerja lintas sektoral akibat ego sektoral di internal birokrasi.
Legislator dapil Malang ini menilai bahwa meskipun dokumen perencanaan selalu menyertakan terminologi sinergi dan pentahelix, implementasinya di lapangan sering kali tidak terorkestrasi, yang berujung pada kegagalan program.
Hikmah Bafaqih menjelaskan bahwa satu isu pembangunan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) saja. Ia mencontohkan isu kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak pasti melintasi banyak dinas. Namun, ritme kerja birokrasi sering kali memenjarakan OPD untuk bergerak sesuai ritme yang dibutuhkan masyarakat.
“Secara teknokratik birokrasi kutaku itu sangat di sangat dituntun didikte oleh dokumen penganggaran sesungguhnya... Jadi hal-hal yang menyangkut akuntabilitas keuanganlah yang kemudian kadang memenjarakan yang membuat ada keterbatasan untuk bergerak dengan lebih out of the box," jelas Hikmah Bafaqih.
Ia memberikan contoh sederhana soal program sanitasi dan air bersih di kabupaten. Meskipun edukasi diberikan kepada ibu-ibu, program tersebut gagal karena ibu-ibu tidak punya kewenangan untuk mengubah struktur rumah, menunjukkan bahwa Monev (Monitoring dan Evaluasi) yang ada tidak berbunyi.
Dampak dari pengabaian sinergi ini, menurut Hikmah Bafaqih, terlihat jelas pada capaian pembangunan daerah.
“Standar hasil pembangunan kalau di di pemerintah daerah itu diikur dengan IKU ada 11 dari 11 IKU itu dua IKU kita yang tidak tercapai dua-duanya tentang kemiskinan," ujar Hikmah Bafaqih.
Ia juga mengkritik keras narasi keberhasilan Pemprov dalam penurunan kemiskinan ekstrem, sementara Jatim masih menjadi provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia.
Komisi E menjalankan fungsi pengawasan dan perencanaan untuk mengatasi masalah ini. Hikmah Bafaqih menekankan bahwa anggaran Monev yang ada pada setiap program harus digunakan untuk meredesain program di tahun berikutnya, bukan sekadar menghabiskan anggaran.
“Komisi E tentu bukan melakukan tapi menjadi semacam apa ya inspirator ee dalam sisi perencanaan dan juga kontrol ya karena iya kontrol karena yang membumikan persoalan itu kan karena komisi sekaligus kami juga bertanggung jawab untuk memastikan anggarannya ada," jelasnya.
Ia berharap agar birokrasi bekerja bukan untuk saya istilahnya dalam tanda kutip tapi untuk kita, dan mendesak agar pimpinan OPD bersikap terbuka (open mind) terhadap masukan dan potensi anak muda dalam mewujudkan kolaborasi. (*)
| Pewarta | : Zisti Shinta Maharani |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Wali Kota Apresiasi MFW 2025: Simbol Kebangkitan dan Penguatan Ekonomi Kreatif
Lagi, Polres Banjarnegara Resmikan SPPG Kemala Bhayangkari, Ini Sasarannya
Literasi Hati di Era Teknologi
Meriahkan Libur Akhir Tahun, Pemkot Surabaya Hadirkan 'Surabaya Holiday Super Sale'
Luncurkan Program Kamis Aspirasi, Warga Gresik Bisa Lapor Keluhan ke Dewan
Dewan Soroti Masalah Tenaga Kerja di Gresik, Ungkap Fenomena Upah Murah
Aksi Jalan Miring di Blora: Kritik Tajam dari Seorang Aktivis Tunggal Lilik Yuliantoro
Jatim Penopang Garam Nasional, Komisi B DPRD Desak Perda Perlindungan
Riyadh Season 2025-2026: Transformasi Besar Saudi Menanti Wisatawan Indonesia
Timnas Indonesia Siapkan Strategi Hadapi Brasil