TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Di tengah riuhnya generasi muda yang sering kali disibukkan gawai, ada sosok yang memilih jalannya sendiri. Jalan yang penuh warna, motif, dan cerita. Dialah Earlyta Azaria Setiyawan.
Gadis kelahiran Probolinggo, 26 November 2007, itu kini duduk di bangku kelas XII SMA Negeri 1 Kota Probolinggo. Pada usianya yang masih belia, ia sudah mengukir prestasi yang membanggakan: Runner Up 1 Puteri Wastra Jawa Timur 2025.
Perjalanan Earlyta menuju panggung kehormatan itu bukanlah cerita semalam. Semuanya dimulai pada Mei 2025. Dari sekian banyak pendaftar, ia menempuh seleksi administrasi dan penulisan esai, dua tahap awal yang menjadi pintu masuk menuju ajang bergengsi ini. Esainya bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cerminan kecintaannya pada wastra. Kain tradisional Nusantara yang sarat makna budaya.
Ketulusannya membuahkan hasil. Ia berhasil melangkah ke tahap semifinal yang digelar di Malang Creative Center (MCC). Di sana, Earlyta tampil dengan percaya diri. Ia membawakan pemahaman tentang budaya, karakter, dan misi yang ingin ia perjuangkan: melestarikan wastra sebagai identitas bangsa.
Juni 2025 menjadi bulan penuh kabar baik. Earlyta diumumkan sebagai finalis Puteri Wastra Jawa Timur. Status ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih menantang.
Ia mengikuti berbagai rangkaian kegiatan: photoshoot profesional yang menuntut pose elegan dan ekspresi natural, pra-karantina online untuk mengasah pengetahuan, hingga karantina intensif di Sans FIF-Fa Hotel Malang pada 26 Juli 2025.
Di karantina, ia tak hanya berlatih catwalk atau teknik presentasi. Lebih dari itu, ia mengasah wawasan budaya, berdiskusi dengan mentor, dan membangun ikatan persahabatan dengan finalis dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Tanggal 27 Juli 2025 menjadi saksi puncak perjuangannya. Sebuah sudut kampus Universitas Brawijaya Malang berubah menjadi panggung megah yang dihiasi lampu-lampu gemerlap, deretan kain wastra, dan tepuk tangan penonton. Earlyta, dengan balutan busana wastra yang anggun, melangkah mantap ke atas panggung.
Di hadapan juri dan ratusan penonton, ia menunjukkan perpaduan kecantikan, kecerdasan, dan karakter. Pertanyaan demi pertanyaan ia jawab dengan tenang dan penuh keyakinan. Baginya, wastra bukan sekadar kain. Wastra adalah lembaran sejarah yang menuturkan identitas bangsa dari generasi ke generasi.
Ketika namanya diumumkan sebagai Runner Up 1, sorak sorai menggema. Air matanya hampir jatuh. Bukan karena kalah, tetapi karena rasa syukur yang meluap.
“Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari kebaikan bagi Probolinggo,” ucapnya tulus.
Earlyta percaya bahwa setiap motif dan warna dalam wastra adalah bahasa yang bisa dibaca, dicerna, dan diwariskan. Dari batik hingga tenun, semua punya cerita. Sebagai generasi muda, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga agar cerita itu tidak hilang ditelan zaman.
Kecintaannya pada wastra tidak muncul begitu saja. Sejak kecil, ia sering melihat ibunya mengenakan kain batik di acara keluarga. Dari situ, tumbuh rasa kagum yang kemudian berkembang menjadi panggilan hati.
Bagi Earlyta, prestasi ini bukan hanya tentang gelar atau mahkota, tapi tentang membawa pesan bahwa anak muda bisa mencintai dan melestarikan budaya sambil tetap menjadi bagian dari dunia modern. Ia ingin membuktikan bahwa mengenal budaya sendiri tidak membuat kita ketinggalan zaman, justru memberi kita akar yang kuat untuk melangkah ke masa depan.
Ia juga berharap kisahnya bisa menginspirasi remaja lain di Probolinggo dan seluruh Jawa Timur. Bahwa untuk berprestasi, dibutuhkan proses panjang, konsistensi, dan keyakinan pada potensi diri.
Meski sudah meraih prestasi besar, Earlyta tak ingin berhenti. Ia berencana terus belajar, mengikuti berbagai kegiatan kebudayaan, dan mengasah kemampuan komunikasi publik. Cita-citanya jelas: menjadi duta budaya yang tak hanya berdiri di panggung, tapi juga terjun langsung mengedukasi masyarakat.
Perjalanan Earlyta adalah bukti bahwa usia muda bukan penghalang untuk memberi dampak. Dari sebuah kota di pesisir utara Jawa Timur, ia telah membuktikan bahwa mimpi bisa dijalin, seperti helai demi helai benang wastra yang akhirnya membentuk karya indah.
Di setiap langkahnya, ia membawa nama Probolinggo. Dan tentu saja, membawa pesan bahwa budaya adalah kekuatan, bukan sekadar warisan. Dan bagi Earlyta Azaria Setiyawan, perjuangan ini baru saja dimulai. (*)
Pewarta | : Abdul Jalil |
Editor | : Yatimul Ainun |
Persik Kediri Raih Hasil Negatif di Pekan Kedua Super League
Eddy Soeparno: Capaian Pemerintahan Prabowo Melebihi Ekspektasi
Pemkab Banyuwangi Kucurkan Reward Rp1,7 Miliar untuk 385 Atlet dan Pelatih Berprestasi
Rayakan HUT ke-80 RI, Polres Probolinggo Kota Tebar Aksi Nyata di Gili Ketapang
Mikul Duwur Mendhem Jero: Ala Presiden Prabowo Dalam 80 Tahun Indonesia
Sidang Tahunan MPR 2025: Ketua MPR Apresiasi Capaian Pemerintah
Pemkot Mojokerto Raih Nilai Tertinggi IPKD-MCSP Jatim, Tegaskan Kunjungan ke KPK Bukan untuk Pemeriksaan
PMII Resmi Berdiri di STIKES Husada Jombang, Jadi Komisariat Pertama di Kampus Kesehatan
80 Sembako dari Laziznu Banyuwangi untuk 80 Tahun Kemerdekaan RI
SMK Telkom Malang Raih Juara 1 Kompetisi Standardisasi Nasional, Wakili Indonesia ke Korea Selatan