TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah gempuran tuntutan pasar kerja dan industrialisasi pendidikan, perguruan tinggi ditantang untuk kembali pada fitrahnya sebagai ruang pencarian kebenaran dan pembentukan manusia unggul, bukan sekadar pencari ijazah.
Dalam wawancara ekslusif dengan TIMES Indonesia, Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA., Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan bahwa universitas sejatinya bukan pabrik tenaga kerja, melainkan kawah candradimuka yang melahirkan insan pemikir yang sanggup menjawab kompleksitas zaman.
Menurut Mukti, saat ini banyak perguruan tinggi mengalami krisis identitas. Alih-alih menjadi rumah bagi perdebatan ilmiah yang mengguncang peradaban, kampus justru lebih sibuk melayani kepentingan administratif, tuntutan akreditasi, dan orientasi pragmatis demi menyuplai pasar kerja.
Harus kembali ditegaskan bahwa lahirnya universitas atau perguruan tinggi adalah untuk menjawab tantangan peradaban umat manusia yang berubah dari waktu ke waktu sejak zaman kuno, pertengahan, dan modern. Karena itu, “manusia perguruan tinggi” adalah manusia yang berkemampuan untuk mengatasi masalah kemanusiaan yang kompleks.
Karena kompleksnya, maka diperlukan kemampuan berpikir yang melampaui kemampuan yang bersifat teknokratik (hard skiil). Maka, perguruan tinggi tidak sama dengan pabrik yang mengeluarkan barang jadi. Ia mengeluarkan produk berupa “manusia berpikir” yang dengan pemikirannya bisa menghasilkan temuan sains dan teknologi.
Terkadang ada yang salah kaprah dengan menganggap perguruan tinggi hanya untuk menghasilkan “manusia teknokrat” dan “manusia konkrit” dengan mengandalkan hard skiil (kemampuan teknis) dan mengabaikan kemampuan lainnya. Akibat yang bisa dirasakan hari-hari ini adalah keringnya perdebatan ilmiah yang “mengguncang” peradaban ilmu.
Banyak “manusia kampus”, diantaranya karena faktor regulasi pemerintah, dipaksa untuk sibuk memenuhi adminitrasi dan birokrasi pendidikan untuk kepentingan dan kemanjuannya sendiri. Karenanya, suasana yang terasa adalah fakumnya gagasan besar yang bisa merubah dunia. Alih-alih, berkontribusi pada perdaban ilmu pengetahuan, seringkali yang terjadi adalah kenyamanan di zona nyaman.
Ya. Memang, diksi “pencari kebenaran” yang bersifat filosofis itu dalam kenyataannya sering kalah bertarung dengan diksi “penyedia jasa” yang terkesan lebih konkrit dan berorientasi pada transaksi ekonomi. Jika itu yang terjadi, tanpa sadar sebenarnya universitas telah lari dari khittahnya sendiri sebagai ruang pemikiran yang diinstutusionalisasi.
Jangan lupa, istilah “pencari kebenaran” harus dimaknai lebih terukur, yaitu kegiatan penelitian yang sungguh-sungguh sebagai ruh dari universitas. Dari sisi politik anggaran misalnya, kegiatan penelitian di perguruan tinggi masih jauh dari harapan.
Jika kegiatan penelitian sebagai dervasi dari tugas mencari kebenaran masih menjadi “anak tiri” dari postur anggaran negara, maka jangan bermimpi berlebihan untuk mencapai target Indonesia Emas yang selama ini dinarasikan oleh negara.
Mengapa? Karena kemajauan suatu bangsa selalu identik dengan kemajuan ilmu pengetahaun suatu bangsa itu sendiri. Itu sudah menjadi aksioma sejarah bangsa-bangsa dan peradaban dunia.
Nah, itu salah satu masalahnya. Kurikulum sebagai panduan akademik di perguruan tinggi, dalam prakteknya sering kebingungan dalam mersepons realitas yang kompleks. Karenanya sering berubah-rubah. Ada suasana tarik menarik antara tuntutan penyerapan tenaga kerja bagi para alumninya pada satu sisi dan proses memproduksi “manusia unggul”.
Menurut pandangan saya, universitas pertama-tama harus fokus pada pembangunan dan pengembangan manusia berkualitas tanpa mengecilkan kebutuhan pasar kerja. Mengapa, karena teorinya, jika universitas mampu menghasilkan SDM yang berkualitas dengan spesifikasi ilmunya dengan pendekatan yang multi-disiplin, pasar kerja akan tersedia dengan sendirinya. Jadi bukan “ketakutan” pada pasar kerja. Tapi takutlah pada potensi lemahnya sumber daya manusia yang diciptakannya.
Saya termasuk yang menganut paradigma integrasi antara sains, agama, dan karakter termasuk dalam hal ini adalah wawasan kebangsaan. Jadi, definisi “insan kamil” dalam konteks Indonesia menurut saya ketika terjadi “perserikatan” antara kapasitas ilmu, agama, dan akhlak kebangsaan.
Dan itu menjadi tanggung jawab universitas yang mengemban amanat untuk memfasilitasi terbentuknya “manusia unggul”. Maka, apapun disiplin ilmunya di universitas, dimensi spiritualitas dan pengejawantahan budya asli Indonesia harus menjadi trade mark yang kuat.
Ya, universitas hanya sebagai pabrik yang hanya sekedar menyiapkan tenaga kerja industri. Padahal, hidup manusia tidak hanya di tempat kerja. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam.
Memang sekarang banyak tuntutan yang berubah. Tidak mudah bagi pimpinan perguruan tinggi untuk menyeimbangkan antara memelihara ruh perguruan tinggi sebagai produsen ilmu pengetahuan dan tuntutan kebutuhan dasar seperti kelayakan pekerjaan bagi para alumninya.
Tetapi, sekali lagi, jiwa perguruan tinggi sebagai pabrik ilmu pengetahuan tidak boleh runtuh karena berbagai tantangan pragmatis. Maka pimpinan perguruan tinggi harus menjadi simbol universitas sebagai penjaga kebenaran ilmiah yang selalu kritis dan berintgritas.
Sebagian besar universitas merasa bahwa perhatian negara pada pertumbuhan dan perkembangan perguruan tinggi di Indonesia masih lemah. Meskipun ada kepastian hukum tentang alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN, dalam realisasinya masih banyak yang harus dievaluasi secara menyeluruh termasuk dalam hal kesejahteraan dosen.
Bayangkan, ada demo para dosen yang menuntut tunjangan kinerjanya belum dibayar oleh pemerintah di tengah-tengah tragedi mega korupsi ratusan triluan oleh segelintir orang, ironis bukan?
Harusnya tidak boleh ada yang menekan, termasuk negara. Kenapa, universitas itu bukan partai politik yang mudah dibawa masuk sebagai institusi partisan. Universitas itu bagian dari civil society yang harus terus menguatkan kualitas demokrasi.
Karena itu, “manusia universitas” harus terus mewaraskan pikirannya sebagai salah satu pilar dari civil society. Jika terbawa masuk dan apalagi mudah ditekan, kepada siapa masyarakat akan berharap?
Memang, universitas harus terus menjaga fungsi dan perannya sebagai agen perubahan sosial di tengah-tengah kompleksnya persaingan dunia kerja. Karenanya, universitas mendisplinkan diri sebagai juru bicara aktif bagi masyarakat sipil yang menyampaikan kebenaran. Universitas tidak boleh diam dan menutup mata atas perilaka yang menyimpang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nah, itu dia. Saya rasa kita jarang melihat perdebatan intelektual yang membahana seperti pada masa-masa lalu. Tapi mungkin karena eranya sudah berubah sehingga bentuk dan format perdebatannya sudah bergeser. Bisa jadi, bebrapa kanal media sosial dapat menjadi ruang perdebatan intelektual. Yang penting semangat intelektualitasnya tidak meredup.
Perguruan tinggi, dalam pundaknya ada tri dharma yang melekat: pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Karena itu, doktrinnya ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk kemaslahatan umat manusia.
Tapi jangan salah, tindakan dalam bentuk konkrit tidak boleh melepaskannya dari pendekatan ilmu pengetahuan. Maka, kegiatan kegiatan pendampingan, advokasi adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari misi perguruan tinggi.
Mengorientasikan perkuliahan untuk mendapat pekerjaan yang layak itu tidak salah. Tetapi, perguruan tinggi jauh lebih besar misinya setidakny ada lima, 1) memberikan pemahaman mendalam tentang bidang ilmu tertentu; 2) memeberikan kemampuan analitis dan berpikir kritis; 3) memberikan keterampilan komunikasi yang memadai; 4) memberikan ruang pergaulan dan jaringan sosial. Dan 5) menemukan jati dirnya (self discovery)
Selalu ditemukan jurang itu. Tetapi yang penting adalah tidak terjermus pada jurang itu, kan,hahaha. Saya kira sekarang ada upaya pemerintah untuk mengatasi jurang itu misalnya dengan merubah nama kementerian menjadi Kementerian Dikti- Saintek.
Itu maksudnya agar perguruan tinggi dan dunia usaha berjalan simultan dan bekerja dalam kerangka mutal-benevit. Maka keduanya harus berkomunikasi dan berkolaborasi secara baik dan nyata. Pemerintah harus menjadi fasilitator yang baik untuk menjembatani jurang itu.
Bekerja itu bagian dari hidup dan kehidupan. Kemampuan berpikir untuk hidup lebih baik dan bermanfaat itu yang utama. Doktrin perguruan tinggi adalah “doktrin kemanusiaan”. Karena itu, doktrin tentang pendidikan karakter menjadi yang utama selain mengasah kemapun teknis untuk menghadapi dunia pekerjaan.
Coba bayangkan, banyak orang profesional di bidangnya tetapi tidak bisa mengatasi sifat dan kebiasaan koruptifnya. Banyak ahli hukum dihukum, ahli ekonomi ditangkap karena ilmunya. Ahli pertambangan menembang hanya untuk dirinya dan kelompoknya. Itu apa kalau bukan karakter/akhlak. Maka mengarusutamakan pendidikan karekter menjadi sangat pokok. Baru yang lain-lain.
Arus zaman dan teknologi itu bukan tujuan. Ia hanya fase sejarah dan alat untuk memudahkan kehidupan manusia. Karenanya ia tidak boleh menjadi alat pengikis intelektual. Dengan intelektualitasnya manusia harus mampu menundukan zaman.
Begitu juga dengan teknologi. Ia dalah produk intelektual. Maka intelektualitas yang menjadi ciri utama yang melekat pada universitas harus menjadi “panglima” dalam mengelola berbagai tantangan zaman.
Sebagai suatu bangsa, ia tidak boleh terasing dari pergaulan dunia sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi pada saat yang sama, ia harus bergerak dari tradisinya sendiri. Sehebat apapun doktrin politik dan ekonomi dari negara luar, nasionalisme adalah filternya.
Maka berkehidupan global harus berangkat dari kearifan lokal agar jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka berdiri tegak di hadapan dunia. Universitas di Indonesia harus menjadi cermin dari komitmen kebangsaan itu. Universitas, sesuai dengan namanya harus mengglobal terutama dari hasi-hasil risetnya, tetapi harus tetap berdiri di atas nilai-nilai keindonesiaan yang kuat dan kokoh.
Saya kira ada kecnderungan melemah. Hal itu dapat dibuktikan dari rengking universitas di dunia. Tentu saja faktornya banyak. Tetapi saya meyakini bahwa kecerdasan orang Indonesia tidak kalah dengan negara-negara maju di dunia.
Yang membedakan barangkali iklimnya saja. Maka untuk menguatkan kapasitas universitas, penguatan iklim akademik yang menguatakan aktivitas riset harus menadapat perhatian bersama.
Menurut saya harus ada political will yang kuat dari negara terutama masalah keberpihakan anggaran. Bagaimana para dosen dan pekerja kampus tidak sibuk mencari pekerjaan tambahan di luar kampus hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Begitu juga dengan mahasiswa yang harus dijamin kesertaannya sebagai mahasiswa tanpa disibukan dengan kesulitan membayar UKT.
Pertama, universitas harus berdiri tegak sebagai produsen ilmu pengatahuan dan pembangunan manusia unggul yang bisa memprediksi kehendak zaman. Untuk kebutuhan itu keberdaannya harus menjadi simbol negara.
Mungkin, di Indonesia “universitas bagus” itu cukup satu di setiap profinsi dengan kualifikasi A. Kampus lain bisa berkelas B dan C untuk menampung mahasiswa yang tidak bisa masuk di kampus kelaas A.
Kedua, kurikulum universitas harus berorientasi pada karakter “manusia unggul Indonesia” dengan spesifikasi ilmu tertentu (hard skiil). Ketiga, universitas harus tetap menjadi rumah masyarakat sipil sebagai agen perubahan sosial dengan pendekatan multi-disiplin dengan paradigma integrasi. (*)
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Samsung Galaxy Tab S10 Lite Meluncur, Tablet AI Canggih Cuma Rp4 Jutaan
Mensos Saifullah Yusuf Dorong Pemberdayaan Revitalisasi Sungai di Denpasar
Bank Mandiri: Dana Pemerintah Pacu Akselerasi Kredit
Brave Pink-Hero Green: Bukti Suara Rakyat Kecil Tak Bisa Dibungkam
Bungkam Malut United 2-1, Persik Kediri Raih 3 Poin Pertama di Stadion Brawijaya
Hotel Majapahit Surabaya - MGallery Collection Rayakan Heritage Day dengan Heritage Hotel Tour
Rp200 Triliun Masuk Perbankan, Pertumbuhan DPK Diproyeksi Dua Digit
BNI Dapat Suntikan Dana Pemerintah, Likuiditas Kian Longgar
Viral Paralayang di Gunung Bromo, TNBTS Tegaskan Aktivitas Itu Dilarang
Dengan Investasi Rp577 Triliun, China Rilis Rencana Aksi Penyimpanan Energi 2025-2027