
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pendidikan bermutu untuk semua bukanlah sekadar janji politik, melainkan mandat konstitusi yang mengakar kuat dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan sistem hukum pendidikan nasional.
Di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang berlangsung cepat, pendidikan tak boleh stagnan. Ia harus menjadi alat mobilitas sosial, perekat kebangsaan, dan motor penggerak kemajuan bangsa.
Advertisement
Visi tersebut kini ditangkap dan dioperasionalkan dalam kebijakan transformatif oleh Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam waktu singkat, Prof. Mu’ti menetapkan tujuh program unggulan yang tidak hanya menjawab kebutuhan jangka pendek pendidikan nasional, tetapi juga menjadi fondasi masa depan pendidikan yang lebih adil, adaptif, dan relevan dengan tantangan abad ke-21.
Transformasi yang Berakar dari Ruang Kelas
Transformasi kebijakan pendidikan sering terjebak pada jargon di tingkat kementerian tanpa terasa di ruang kelas. Namun arah kebijakan Kemendikdasmen kali ini mencoba memulai dari ruang kelas itu sendiri dari guru, dari murid, dari proses pembelajaran yang nyata.
Tujuh program unggulan yang dicanangkan bukan hanya teknokratik, melainkan punya implikasi langsung terhadap kehidupan belajar di sekolah. Misalnya, redistribusi guru ASN ke sekolah swasta, satu langkah konkret dalam menjawab ketimpangan distribusi tenaga pendidik, yang selama ini hanya berpihak pada sekolah negeri di kota-kota besar.
Langkah ini dapat memperkuat prinsip keadilan dalam pendidikan, di mana semua anak tanpa memandang status sekolah berhak mendapat guru berkualitas.
Program ini juga merupakan pengakuan implisit bahwa kualitas pendidikan swasta adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Dengan dukungan negara, sekolah swasta yang selama ini berjuang dengan keterbatasan SDM akan memiliki kesempatan lebih besar menciptakan pendidikan bermutu.
Perubahan mendasar lain terlihat dalam pembaruan sistem manajemen kinerja guru, kepala sekolah, dan pengawas. Di banyak studi kebijakan pendidikan, kualitas guru disebut sebagai faktor penentu utama mutu pembelajaran. Sayangnya, sistem penilaian kinerja selama ini lebih administratif ketimbang substantif, lebih menilai kepatuhan daripada kompetensi.
Maka, reformasi manajemen kinerja yang berbasis pada pembelajaran dan bukan sekadar laporan administratif adalah langkah tepat. Ini akan menciptakan budaya profesional yang sehat dan mendorong peningkatan kapasitas secara berkelanjutan.
Lebih dalam lagi, pendekatan “deep learning” yang didorong Kemendikdasmen menandai pergeseran paradigma penting. Deep learning bukan sekadar pembelajaran mendalam dalam konteks kognitif, tapi juga menyangkut kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan reflektif-persis seperti yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia yang terus berubah. Ini langkah besar keluar dari pembelajaran yang seragam dan berpusat pada hafalan.
Tak kalah strategis adalah penguatan karakter melalui “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”. Di tengah tantangan budaya populer, disinformasi digital, dan krisis etika sosial, pendekatan pendidikan karakter yang konsisten dan kontekstual menjadi kebutuhan mendesak. Program ini mengadopsi pendekatan pembiasaan nilai, bukan indoktrinasi, yang relevan dengan kebutuhan anak-anak di era digital.
Teknologi Masa Depan
Kemendikdasmen juga mengambil langkah berani dengan memperkenalkan pelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) sejak pendidikan dasar dan menengah. Langkah ini bukan hanya soal penguasaan teknologi, tetapi mencerminkan visi besar untuk menyiapkan generasi yang mampu menjadi produsen, bukan sekadar konsumen, di era digital. Pendidikan tak lagi bisa mengabaikan fakta bahwa kecakapan digital adalah bentuk literasi baru.
Sementara itu, penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai sistem evaluasi baru perlu dicermati secara kritis namun terbuka. Jika disusun dengan benar, TKA bisa menjadi alat ukur yang lebih adil dan berorientasi pada kemampuan esensial siswa, dibanding sistem ujian yang selama ini cenderung mengukur ketuntasan kurikulum secara sempit. Namun, sistem ini perlu dirancang secara partisipatif dan dievaluasi secara berkala untuk mencegah bias serta menjaga akuntabilitasnya.
Dari Sentralisasi Menuju Kolaborasi
Satu hal yang patut diapresiasi dari arah kebijakan Kemendikdasmen adalah semangat kolaboratif dan desentralisasi. Prof. Mu’ti mengisyaratkan bahwa transformasi pendidikan bukan hanya urusan kementerian, tetapi tanggung jawab bersama antara pusat dan daerah, antara sekolah negeri dan swasta, antara guru dan orangtua.
Ia mencoba menjembatani dikotomi yang selama ini menghambat inovasi pendidikan: dikotomi antara kebijakan pusat yang normatif dan realitas lapangan yang kompleks.
Jika di masa lalu banyak kebijakan pendidikan gagal karena terlalu teknokratis, kini terlihat upaya menyatukan visi kebijakan dengan kebutuhan nyata di ruang kelas. Transformasi ini bisa berkelanjutan jika didukung oleh data yang akurat, sistem monitoring yang kuat, dan pelibatan aktif para pemangku kepentingan.
Meski arah kebijakan sudah di jalur yang benar, tantangan implementasi tetap besar. Di antaranya terkait resistensi birokrasi dan budaya kerja lama sering menjadi penghambat utama perubahan. Juga, kapasitas daerah dalam mengimplementasikan kebijakan pusat masih sangat bervariasi.
Selain itu, literasi digital dan kompetensi guru masih menjadi pekerjaan rumah besar, apalagi dengan masuknya materi seperti coding dan AI dalam kurikulum.
Namun, jika keberpihakan pada mutu dan keadilan pendidikan tetap dijaga, serta dibarengi dengan kepemimpinan yang transformatif dan partisipatif, peluang keberhasilan tetap terbuka lebar.
Menatap Masa Depan
Untuk memperkuat dan memastikan keberhasilan transformasi pendidikan ini, ada beberapa hal yang perlu menjadi rekomendasi untuk menguatkan kebijakan:
Pertama, Desain Implementasi Inklusif dan Fleksibel. Kebijakan pusat harus memberikan ruang adaptasi di tingkat daerah dan sekolah, sambil tetap menjaga arah tujuan. Dukungan teknis dan pelatihan berbasis kebutuhan harus diperluas.
Kedua, Sistem Data Pendidikan yang Solid dan Dinamis. Keberhasilan redistribusi guru, evaluasi TKA, dan penguatan karakter memerlukan data yang terintegrasi dan akurat, bukan hanya berbasis laporan manual.
Peran Pusdatin di Kementerian menjadi sangat penting dan perlu ditingkatkan sumber daya, dukungan infrastruktur dan kebijakan yang pro aktif terkait manajemen data serta adopsi teknologi.
Ketiga, Melibatkan Komunitas Sekolah sebagai Mitra Strategis. Orangtua, guru, dan siswa perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan kebijakan hingga evaluasi. Transformasi hanya akan berhasil jika dilakukan bersama.
Indonesia perlu mengejar masa depan cerah bagi generasi mudanya serta generasi selanjutnya. Dari pendidikan, perubahan-perubahan structural ini akan menemukan relevansinya. Degan pendidikan bermutu untuk semua, masa depan generasi kita mendapatkan secercah cahaya.(*)
***
*) Oleh : Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk riset dan studi di Amerika Serikat.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |