Sound Horeg: Hiburan Rakyat yang Butuh Aturan Bukan Dimatikan

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan maraknya fenomena "sound horeg" di berbagai pelosok, khususnya di wilayah Malang Raya dan sekitarnya. Sound horeg, yang merujuk pada hiburan menggunakan sound system dengan kapasitas besar, bass menggema, dan dentuman yang kadang sampai menggetarkan dinding rumah tetangga, menjadi pilihan hiburan baru masyarakat di desa maupun pinggiran kota.
Awalnya, sound horeg muncul sebagai bagian dari hiburan rakyat. Masyarakat yang selama ini hanya menikmati hiburan sederhana seperti organ tunggal atau dangdut panggung kini beralih ke sound horeg yang dianggap lebih meriah, lebih murah, bahkan lebih "keren". Banyak anak muda yang kemudian menjadikan sound horeg sebagai ajang ekspresi, sekaligus simbol kebanggaan komunitas.
Advertisement
Namun, di balik euforia hiburan ini, ada banyak persoalan yang perlu dikaji secara lebih serius.
Pergeseran Hiburan Rakyat
Kalau dulu masyarakat menikmati hiburan dengan duduk bersama, menyanyi, menari, atau sekadar menonton pertunjukan kesenian tradisional, kini hiburan rakyat bergeser ke arah yang lebih "bising". Hiburan bukan lagi soal menikmati seni, melainkan soal siapa yang punya sound system paling besar, paling keras, dan paling menggetarkan.
Sound horeg memang memberi ruang hiburan bagi masyarakat, tapi juga memunculkan konflik sosial baru. Tidak jarang warga yang terganggu dengan suara keras sound horeg, apalagi jika digelar hingga larut malam. Ada orang tua yang susah tidur, anak kecil yang rewel, bahkan pasien yang sedang sakit menjadi semakin gelisah karena dentuman bass yang terus menerus.
Pergeseran ini menandai perubahan budaya hiburan rakyat yang perlu dicermati. Kita perlu jujur, ada sisi positif dari sound horeg, yaitu membuka lapangan kerja di bidang jasa persewaan sound, crew lapangan, hingga teknisi audio. Namun, jika dibiarkan tanpa aturan, dampaknya justru bisa mengganggu ketertiban umum dan memicu konflik horizontal di masyarakat.
Rakyat Butuh Hiburan, Pemerintah Harus Buat Aturan
Persoalan sound horeg bukan sekadar masalah "suka atau tidak suka". Ini soal bagaimana pemerintah hadir untuk mengatur agar hak atas hiburan dan hak atas ketenangan bisa berjalan seimbang.
Sayangnya, sampai hari ini, regulasi terkait penggunaan sound system di ruang publik masih sangat minim. Bahkan di beberapa daerah, belum ada Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Desa yang secara khusus mengatur batasan penggunaan sound horeg.
Fenomena ini akhirnya memunculkan respons dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang sampai mengeluarkan fatwa tentang larangan sound horeg yang berlebihan, karena dianggap mengganggu ketenteraman dan berpotensi mudarat. Namun fatwa ini sifatnya moral, bukan hukum positif. Maka peran pemerintah tetap krusial untuk membuat regulasi yang lebih operasional.
Regulasinya bisa sederhana: mengatur jam operasional, mengatur tingkat volume, menetapkan zona tertentu untuk acara hiburan, bahkan mengharuskan izin bagi setiap event yang melibatkan sound system dengan kekuatan tertentu.
Kemudian juga memuat aturan biaya parkir yang tidak memaksa dan tidak mahal namun sewajarnya, mengatur juga bagaimana UMKM bisa tumbuh bersamaan dengan adanya hiburan sound horeg ini, yang tidak kalah pentingnya adalah harus juga mengatur soal iuran warga yang tidak mengikat.
Pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten perlu duduk bersama untuk menyusun aturan main ini sehingga kehadiran sound horeg ini betul-betul menjadi hiburan rakyat dan tidak mengganggu ketertiban.
Jangan Matikan Hiburan, Tapi Tertibkan
Kita tidak bisa serta-merta melarang sound horeg. Bagi masyarakat, ini adalah hiburan yang terjangkau dan mudah diakses. Yang perlu dilakukan adalah menata dan mengatur, bukan mematikan.
Kalau sound horeg terus dibiarkan tanpa aturan, yang terjadi bukan hanya konflik sosial, tapi juga bisa merusak ekosistem hiburan tradisional yang lebih ramah lingkungan sosial. Kesenian lokal seperti jaranan, ludruk, ketoprak, bahkan musik akustik yang seharusnya mendapat ruang, bisa tergeser karena kalah "rame" dengan dentuman bass sound horeg.
Pemerintah perlu hadir di tengah masyarakat. Aturan bukan untuk melarang hiburan rakyat, tapi untuk memastikan bahwa semua orang punya hak yang sama: hak untuk bersenang-senang dan hak untuk hidup tenang.
Jika pemerintah membiarkan liar atas fenomena ini, maka akan liar pula opini masyarakat atas munculnya fatwa haram baik dari MUI dan dari Pondok pesantren. Dimana kita bisa lihat dan baca diberbagai media sosial, betapa liarnya opini masyarakat terkait fatwa tersebut, bahkan sampai muncul cacian atas fatwa dan ulama yang terlibat.
Hal ini tidak bisa dibiarkan, karena akan merusak adat budaya ketimuran kita. Oleh karenanya, pemerintah harus hadir dengan membuat regulasi yang jelas dan menjadi bagian dari solusi agar problem ini tidak dibiarkan liar.
Jika dikelola dengan baik dan dengan aturan yang baik pula, sound horeg bisa menjadi bagian dari ekosistem hiburan rakyat yang sehat, aman, dan tetap menjunjung tinggi norma sosial. (*)
*) Penulis: Husnul Hakim SY, MH (Dekan dan Dosen, Pemerhati Kebijakan Publik, dan Akademisi Pemerintahan Fisip Unira Malang)
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |