Kopi TIMES

Krisis Eksekusi Hukum di Indonesia

Selasa, 12 Agustus 2025 - 00:23 | 5.43k
Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.
Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Penegakan hukum di Indonesia tengah diuji melalui fenomena keterlambatan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kasus Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih, menjadi sorotan sengit publik belakangan ini. 

Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara melalui Putusan Kasasi Nomor 287 K/Pid/2019 pada 20 Mei 2019, namun hingga Agustus 2025, eksekusi belum dilakukan, ini merefleksikan ketimpangan antara vonis formal dan implementasi di lapangan. 

Advertisement

Penegakan putusan inkracht seharusnya merupakan kewajiban mutlak Kejaksaan Republik Indonesia (Pasal 270 KUHAP, UU Kejaksaan), namun dalam kasus ini, lamban eksekusi telah menciptakan krisis keadilan substantif. 

Tulisan ini hadir bukan hanya untuk melaporkan fakta hukum, tetapi juga melakukan analisis komunikasi forensik: bagaimana institusi hukum, narasi publik, dan media beradu dalam membentuk persepsi dan legitimasi sistem.

Secara normative, Pasal 270 KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan bahwa jaksa memiliki kewajiban mengeksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht, tanpa pengecualian. 

Namun fakta menunjukkan sebaliknya: putusan MA sejak 20 Mei 2019 belum dieksekusi hingga enam tahun berlalu. Mahfud MD menekankan bahwa dalam ranah pidana "musuh terpidana itu bukan korban, tapi negara, perdamaian tidak membatalkan kewajiban negara untuk menengakkan hukumnya”.

Peran media 

Media meduduki peran utama dalam melihat kasus ini, berawal dari dugaan tebang pilih hukum hingga tekanan terhadap institusi. Suara.com menyebut kasus ini "tebang pilih hukum" karena Silfester tetap bebas berkeliaran meski inkracht sudah lima tahun lalu. Herald.ID menyoroti pernyataan Mahfud MD yang menyebut “pelindung" dari Kejaksaan sebagai aktor yang patut dikritisi. 

Sementara itu, media lain melaporkan bahwa Kejaksaan Agung menyatakan akan segera mengeksekusi Silfester setelah mendapat tekanan publik.

“Urusan proses hukum itu sudah saya jalani dengan baik. Itu sudah selesai dengan ada perdamaian” ucap Silvester. Tanggapan ini berimplikasi simbolis, berusaha mengubah narasi dari pidana ke ruang sosial-moral, namun hukum pidana menegaskan bahwa perdamaian tidak membatalkan kewajiban eksekusi.

Dalam perspektif komunikasi forensik, setiap pihak membangun pesan untuk menjawab atau mendobrak narasi di publik: Media menggunakan strategi framing yang menyoroti inkonsistensi institusi dan menciptakan narasi aparatur hukum tak berdaya atau memihak. 

Kejaksaan menerapkan strategi reactive framing atau mengumumkan rencana eksekusi sebagai langkah menenangkan opini publik. Silfester memilih retorika kooperatif atau klaim damai, hubungan baik untuk melegitimasi posisinya secara moral, meskipun tidak mengubah status hukum. 

Dalam komunikasi forensik, ketiadaan pesan juga berbicara: minimnya transparansi dari Kejaksaan soal alasan administratif keterlambatan memungkinkan ruang publik menebak adanya intervensi. 

Itu menjadi bahan bakar teori agenda-setting: publik menyorot apa yang disorot media kejaksaan lamban, politisasi hukum, dan ketimpangan perlakuan. Norma hukum jelas: eksekusi inkracht wajib dilakukan. Namun, praktik sosial-politik memberikan “kelenturan”. 

Silfester diduga memiliki akses dan kedekatan politik sehingga tidak ditahan, bahkan sempat dipercaya menjadi komisaris BUMN. Fenomena ini menimbulkan benturan antara: Teori hukum formal (positivisme) yang menempatkan norma di atas segalanya dan Teori realisme politik yang membenarkan perlindungan institusional demi stabilitas atau jaringan power.

Kepentingan politik bertabrakan dengan prinsip keadilan; media dan publik menjadi jembatan komunikasi, menuntut konsistensi institusi untuk memulihkan kredibilitas.

Lalu, apa dampak sistemik dan strategi komunikasi solutif Jika terus dibiarkan? Pertama, Erosi kepercayaan publik terhadap hukum dan sistem peradilan; dikhawatirkan menjadi preseden impunitas elite. 

Kedua, Politikasi hukum; hukum tidak lagi dipandang netral, tetapi alat kontrol politik atau perlindungan elite. Ketiga, Normalisasi ketimpangan penegakan; menyuburkan narasi bahwa “hukum berbeda untuk mereka yang dekat kekuasaan.”

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan lembaga hukum sebagai sebuah strategi perbaikan komunikasi dan hukum: Pertama, Publikasi dokumen eksekusi (surat panitera, jadwal panggilan); tutup ruang spekulasi. Kedua, Audit independen (Komisi Kejaksaan/Ombudsman) untuk menjelaskan proses. 

Ketiga, Peta narasi (message mapping): Kejaksaan harus proaktif menyampaikan fakta hukum dan membedah persepsi publik. Keempat, Kemitraan media untuk menjelaskan aspek hukum secara faktual, bukan framing sensasional.

Kasus Silfester Matutina bukan sekadar cerita tentang seorang terpidana yang belum dieksekusi; ia adalah simbol kegagalan sistem, ketika vonis inkracht tidak sejalan dengan realitas hukum. 

Dalam waktu enam tahun, ranah hukum dan komunikasi publik beradu: institusi lambat menindak, publik menghakimi melalui media, dan teori komunikasi forensik menampakkan bagaimana narasi dibentuk dari ketegangan antara fakta, simbol, dan legitimasi. 

Media memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal, bukan hanya memberitakan. Kejaksaan harus segera mengeksekusi dan menjelaskan secara transparan. Tanpa itu, nilai dasar negara hukum seperti; kepastian, kesetaraan, dan kredibilitas akan terkikis. 

Dari perspektif komunikasi forensik, kasus Silvester bukan sekadar kelalaian prosedural. Ia adalah kegagalan sistem untuk mengirimkan pesan hukum secara utuh kepada publik. Komunikasi forensik memandang hukum sebagai pesan yang memiliki pengirim, media, dan penerima. 

Dalam kasus ini, pengirimnya adalah aparat penegak hukum, kejaksaan dan pengadilan yang seharusnya memastikan putusan inkracht segera dieksekusi. Media penyampaiannya adalah dokumen hukum, konferensi pers, dan pemberitaan media massa. 

Penerimanya adalah publik, korban, keluarga terdakwa, serta lembaga pengawas. Namun di tengah perjalanan, pesan ini tersumbat oleh noise berupa birokrasi, alasan teknis, bahkan mungkin intervensi politik. 

Secara normatif, hukum tidak memberi ruang untuk penundaan eksekusi hingga bertahun-tahun. KUHAP Pasal 270 menegaskan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa setelah menerima salinan putusan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pun mengamanatkan kewajiban yang sama. 

Asas kepastian hukum yang termaktub dalam UUD 1945 mengikat semua aparat untuk mengeksekusi putusan pengadilan tanpa penundaan yang tidak beralasan. Namun fakta di lapangan berbeda. 

Media mencatat pernyataan pihak kejaksaan yang mengatakan, “Eksekusi belum dilakukan karena masih ada kendala administratif dan koordinasi.” Pernyataan ini terdengar seperti jawaban standar yang bersifat defensif, mengandung ambiguitas, dan cenderung menghindari inti persoalan. 

Frasa “kendala administratif” adalah retorika pengelakan, sebuah bentuk pesan yang meminimalkan transparansi. Dalam perspektif komunikasi forensik, ini disebut vague justification, yang justru menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada faktor nonhukum yang bermain.

Ironisnya, Silvester sendiri dalam salah satu wawancara mengatakan, “Intinya saya sudah menjalankan proses itu, nanti kita lihat lagi bagaimana prosesnya” Pernyataan ini justru membalik narasi. Dalam autopsi pesan komunikasi forensik, ini adalah bentuk counter-message, di mana pihak yang seharusnya menerima perintah hukum malah menegaskan komitmen pada aturan, sementara aparat terlihat ragu atau enggan mengeksekusi. 

Kondisi seperti ini bukan hanya pelanggaran norma prosedural, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip dasar hukum pidana. Eksekusi adalah tahap final dalam penegakan hukum pidana. Penundaan yang tidak jelas alasannya berpotensi menjadi bentuk maladministrasi, bahkan obstruction of justice. 

Teori kepastian hukum Gustav Radbruch menegaskan bahwa hukum yang tidak dilaksanakan bukanlah hukum, melainkan sekadar teks kosong. Dalam komunikasi forensik, ini disebut pembatalan performatif; di mana hukum kehilangan kekuatan instruksionalnya karena pesan final tidak pernah dikirimkan secara tuntas. 

Dampaknya terhadap masyarakat sangat serius. Publik akan kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan, menganggap hukum sebagai alat negosiasi, bukan instrumen keadilan. 

Kasus ini juga menciptakan preseden berbahaya, di mana terpidana lain bisa menggunakan penundaan ini sebagai celah untuk menolak atau menunda eksekusi dengan alasan serupa. Aparat penegak hukum pun terancam kehilangan legitimasi moral dan otoritasnya di mata masyarakat.

Krisis ini pada akhirnya adalah krisis komunikasi hukum. Hukum adalah pesan yang bersifat performatif: ia mengikat bukan hanya karena tertulis, tetapi karena dilaksanakan. Ketika pesan itu gagal sampai pada tahap final, ia kehilangan daya ikatnya. 

Publik melihat aparat hukum bukan lagi sebagai pengirim pesan yang kredibel, melainkan sebagai pihak yang memilih-milih pesan mana yang ingin disampaikan dan mana yang diabaikan. 

Silvester Matutina hanya satu nama dalam deret panjang perkara yang tertunda. Tetapi enam tahun penundaan eksekusi adalah tanda bahaya bahwa sistem peradilan pidana kita sedang terganggu oleh noise yang mematikan kredibilitasnya.

***

*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES