
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Memperingati hari kemerdekan RI yang ke-80 tahun 2025 ini, rasanya nasehat Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, berikut ini penting dicamkan oleh insan pelaku penyelenggaraan layanan pendidikan tinggi: “Rektor itu harus menjadi teladan; rajin ibadahnya selain hebat akademiknya.”
Nasehat ini dipesankan oleh menteri yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta itu pada Rapat Koordinasi Peningkatan Tata Kelola Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), di Hotel Luminor, Pecenongan, Jakarta (Jumat, 15/08/2025).
Advertisement
Merujuk kepada pesan Menteri Agama RI di atas, maka dalam hemat penulis bisa dibangun argumen begini: kemerdekaan bagi akademisi adalah saat seorang akademisi selesai dengan produktivitas religius-spiritual dan produktivitas akademiknya. Bahkan, jika dikaitkan dengan profil pejabat tertinggi di perguruan tinggi, kemerdekaan itu bisa dimaknai begini: rektor yang merdeka adalah rektor yang indeks religiusitas dan akademiknya sudah tuntas. Tuntas di sini bersifat gabungan. Tuntas satu tapi tidak pada yang lain tidak akan melahirkan kemerdekaan pada diri akademisi dan sekaligus juga pimpinan perguruan tinggi.
Maka, merdeka dalam konteks pendidikan tinggi harus bisa meliputi dua komponen dasar itu. Yakni, kemerdekaan akademik dan religiusitas-spiritualitas. Keduanya harus hadir dalam gabungan yang sangat erat pada diri seorang pelaku layanan pendidikan tinggi. Kemerdekaan dalam kaitan ini bisa bermakna konkret ketuntasan. Dalam hal apa ketuntasan itu? Ya, ketuntasan dalam kaitan kaitannya dengan kewajiban akademik dan kewajiban religius-spiritual.
Memang Menteri Agama RI di atas tidak menyampaikan nasehatnya dimaksud secara spesifik untuk dan dalam konteks kemerdekaan dalam diskursus Independence Day. Tapi, penulis menangkap kuat peluang untuk menarik pesan Menteri Agama RI masuk ke dalam konteks kemerdekaan diri dalam tugas penunaian jabatan publik di dunia pendidikan tinggi. Karena itu, penulis pun merasa penting untuk menjadikan pesan Menteri Agama RI di atas sebagai materi penguatan nilai dalam mengisi Independence Day negeri ini bagi kemerdekaan diri pengemban amanah publik di pendidikan tinggi.
Lalu pertanyaannya, mengapa indeks religiusitas dan akademik menjadi ukuran bagi kemerdekaan diri akademisi secara umum dan pemangku jabatan publik pendidikan tinggi secara partikular? Dalam hemat penulis, ukuran religiusitas-spiritulitas dan akademik di atas tampak penting ditanamkan oleh Meneteri Agama Ri di atas tidak saja diperlukan untuk menerjemahkan konsep kemerdekaan di dunia pendidikan tinggi, melainkan juga sekaligus menjaminmutukan konsep dimaksud. Hal itu tentu dibutuhkan oleh semua jenis perguruan tinggi, lebih-lebih untuk memperkuat nilai distingsi di perguruan ringgi yang berbasis nilai dan nomenkatur keagamaan.
Terjemahan lebih konkretnya begini: produktivitas akademik yang tinggi penting, dan itu justeru bisa menjadi penanda baiknya perguruan tinggi. Namun bagaimanapun, perguruan tinggi adalah sebuah institusi. Keberadaannya harus ditunaikan di atas tata kelola yang tidak saja bersih (clean) tapi sekaligus juga jernih (clear). Karena itu, dibutuhkan kehadiran spiritualitas yang tinggi pula untuk menjaminmutukan proses ketatalaksanaan yang baik dalam pengertian bersih dan sekaligus jernih itu.
Merdeka Itu Ketuntasan Diri
Sejarah kemerdekaan bangsa ini adalah sejarah kemenangan. Bukan sejarah kekalahan, sebagaimana yang pernah dialami oleh sejumlah negara. Tentu kemenangan dalam sejarah bangsa ini adalah kemenangan dari berbagai belenggu yang lama dialami oleh seluruh gugus anak bangsa dalam waktu yang panjang. Dan sejarah kemerdekaan bangsa ini mengajarkan bahwa bangsa yang hebat bukanlah bangsa yang tanpa pernah punya masalah. Melainkan, bangsa yang saat dihadapkan pada masalah selalu bisa keluar sebagai pemenang. Itulah pelajaran penting dari sejarah kemerdekaan bangsa ini.
Apalagi, semakin banyak masalah dan tantangan, semakin banyak pula yang kelak bisa diceritakan. Kalimat yang demikian ini adalah pelajaran hidup yang bisa dijumpai dari pengalaman banyak orang hebat. Pelajaran hidup yang demikian ini sangat dibutuhkan untuk kepentingan pendadaran dan sekaligus pendewasaan diri. Mengapa begitu? Diri butuh ditempa. Penempaan yang paling efektif adalah dihadapkannya diri pada masalah dan tantangan dalam setiap langkah kehidupan. Dari tempaan masalah dan tantangan itu, akan selalu muncul insight pada diri yang mengalaminya. Akan selalu muncul wawasan atas persoalan yang muncul.
Insight atau wawasan ini akan membentuk kedewasaan diri dalam menghadapi dan menyelesaikan urusan, masalah, dan tantangan yang kini dan mungkin kelak dihadapi. Urusan, masalah dan tantangan bisa saja berulang dalam hidup. Terjadi lagi secara persis dengan sebelumnya. Bisa pula muncul lagi namun dengan skala dan bentuk yang bisa saja mengalami perbedaan, pergeseran, dan perubahan. Namun, saat diri dilengkapi dengan insight atau wawasan yang cukup, akan selalu ada kedewasaaan untuk menghadapi dan menyelesaikan apapun urusan, masalah, dan tantangan yang kembali muncul dalam hidup.
Nilai sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia di atas harus bisa memberi insight dan sekaligus spirit bagi pemimpin akademik dan pimpinan perguruan tinggi. Tak penting berharap tak ada masalah dalam penunaian tanggung jawab akdemik dan manajerial di kampus. Karena maslaah dan tantangan hampir tak mungkin absen dari dinamika perguruan tinggi. Yang jauh lebih penting adalah menjamin bahwa selalu ada solusi atas masalah yang dihadapi.
Karena itu, pesan Menteri Agama RI tentang ketuntasan religiusitas-spiritualitas dan ketuntasan akademik di atas memberi frame yang penting bagi penunaian amanah publik di ruang pendidikan tinggi. Kalau ketuntasan akademik menjadi ukuran penting bagi pengelola pendidikan tinggi, tentu saja itu sudah pasti. Tapi, apa kaitan yang bisa digerakkan oleh ketuntasan religiusitas-spiritualitas? Tentu, hal itu dalam kepentingan untuk menjamin terlembaganya praktik clean dan clear dalam penunaian kewajiban akademik dan jabatan pendidikan tinggi.
Merdeka itu Ketuntasan Manajerial
Sering diungkapkan kalimat hikmah berikut ini: Hanya orang yang selesai dengan dirinya yang mampu menyelesaikan problem tempat kerjanya. Dan, hanya orang yang selesai dengan dirinya yang mampu menyelesaikan problem masyarakatnya. Dengan demikian, pribadi yang selesai dengan dirinya otomatis sudah terbekali dengan pengalaman dan kecakapan diri, termasuk dalam kapasitasnya kelak sebagai pengemban amanah publik pendidikan tinggi. Sebaliknya, gabungan dari pengalaman dan kecakapan ini menjadi pintu masuk paling penting bagi seseorang untuk mencapai derajat sebagai pribadi yang selesai dengan dirinya dimaksud.
Ketuntasan diri pemimpin akademik dan pengembang amanah publik pendidikan tinggi dibutuhkan agar tanggung jawab manajerial bisa tertunaikan secara tuntas pula. Karena bagaimanpun, saat diamanahi jabatan publik di pendidikan tinggi, bukan saja kewajiban akademik yang harus tuntas ditunaikan, tapi juga ketuntasan manajerial. Dalam kaitan inilah, ketuntasan manajerial yang demikian ini juga menjadi bagian dari pesan kemerdekaan bagi para pengemban jabatan publik pendidikan tinggi.
Tentu, kemerdekaan manajerial di atas tak lahir begitu saja. Ada sebuah kekuatan yang berfungsi sebagai pembentuk pribadi yang selesai dengan dirinya dalam tugas manajerial dimaksud. Apa itu? gabungan antara pengalaman dan kecakapan diri. Ya, gabungan antara pengalaman dan kecakapan diri ini sangat dibutuhkan untuk berkemampuan menunaikan amanah publik pendidikan tinggi secara tuntas. Sebab, banyak pemimpin masyarakat dan bangsa yang telah dan terus akan lahir dari rahim pendidikan tinggi. Karena itu, kemerdekaan dalam pengertian ketuntasan manjerial pengemban amanah publik pendidikan tinggi terasa mutlak dibutuhkan.
Karena itu, pesan Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA agar rektor mampu menjadi teladan sungguh sangat relate dan relevan sekali dengan ketuntasan diri pemimpin perguruan tinggi yang menjadi terjemahan lansung dari konsep kemerdekaan manajerial dimaksud. Sebab, tanpa keteladanan, tak akan tercipta efektivitas dalam layanan. Termasuk dalam hal manajemen pendidikan tinggi yang diamanhkan. Berbekal pengalaman dan kecakapan diri, keteladanan pemimpin menjadi pembentuk kemerdekaan manajerial dimaksud.
Jika ketuntasan diri dan ketuntasan manajerial di atas sudah tercipta, yang segera akan menunai hasilnya adalah lembaga. Sebab, bagaimanapun, kinerja lembaga diderek oleh efektivitas manajerial. Dan, efektivitas manajerial tak akan tercapai jika tak ada keteladanan diri dari pemegang otoritas kepemimpinan. Prinsip ini berlaku secara efektif di semua institusi layanan. Termasuk layanan pendidikan di kampus yang sedang diamanahkan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |