Kopi TIMES

Pesona Mandalika dan Tenggelamnya Wisata Halal Lombok

Selasa, 09 September 2025 - 15:56 | 8.00k
Lukman Santoso Az, Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.
Lukman Santoso Az, Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

TIMESINDONESIA, PONOROGO – Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sejak lama dikenal dengan julukan Pulau Seribu Masjid. Identitas religius inilah yang kemudian mendorong Lombok menjadi salah satu pionir destinasi wisata halal di Indonesia. 

Sejak 2015 hingga 2019, sederet penghargaan internasional mengukuhkan Lombok sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia. Bahkan sudah pernah dinobatkan sebagai World Best Halal Tourism Destination dan World Best Halal Honeymoon Destination. Tidak berlebihan bila kemudian NTB dijadikan model pengembangan wisata ramah Muslim oleh pemerintah pusat.

Advertisement

Namun, geliat wisata halal yang sempat menjadi magnet promosi kini seperti meredup, tergeser oleh pesona baru: Mandalika dengan sirkuit internasionalnya. 

Kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dengan agenda besar seperti MotoGP telah menyedot hampir seluruh perhatian. Akibatnya, narasi wisata halal yang pernah menjadikan NTB ikon pariwisata syariah dunia kian jarang terdengar.

Potensi wisata halal NTB sejatinya sangat kuat. Menurut State of the Global Islamic Economy Report 2019, belanja wisatawan Muslim dunia mencapai USD 200,3 miliar atau sekitar 12 persen dari total pengeluaran wisata global. 

Indonesia bahkan berada di posisi kelima terbesar setelah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait. Dengan basis mayoritas Muslim, Indonesia terutama Lombok sebenarnya punya keunggulan kompetitif.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, berulang kali menekankan bahwa NTB memiliki modal besar untuk mengembangkan wisata halal. Lima komponen utama mulai dari hotel, transportasi, kuliner, paket wisata, hingga keuangan syariah relatif sudah tersedia. 

Sayangnya, modal ini belum diolah maksimal. Kritik muncul dari Asosiasi Pariwisata Islam Indonesia (APII), yang menyebut konsep wisata halal NTB masih sebatas citra promosi tanpa implementasi konkret.

Ketika wisatawan bertanya, “Di mana kawasan wisata halal di NTB?” para pelaku industri masih kebingungan menjawab. Tidak ada satu kawasan yang dijadikan proyek percontohan, sehingga wisata halal di Lombok hanya berstatus label, bukan pengalaman nyata yang bisa dirasakan wisatawan.

Penyelenggaraan MotoGP di Sirkuit Pertamina Mandalika memang memberi NTB sorotan global. Investasi miliaran dolar digelontorkan, infrastruktur digenjot, dan ribuan lapangan kerja tercipta. Mandalika berhasil membranding NTB sebagai destinasi kelas dunia.

Namun, keberhasilan Mandalika membawa dampak paradoksal: wisata halal yang semula menjadi ikon Lombok justru tenggelam di balik gemerlap event internasional. Branding halal tourism tidak lagi menjadi prioritas utama, seakan digantikan oleh event-based tourism yang berorientasi pada keramaian sesaat.

Padahal, keduanya sebetulnya tidak harus dipertentangkan. Mandalika bisa menjadi pintu masuk wisatawan dunia, sementara konsep halal tourism memperluas layanan bagi wisatawan Muslim yang jumlahnya ratusan juta orang. 

Kombinasi keduanya justru dapat menjadikan NTB destinasi wisata berdaya saing tinggi dengan pasar yang beragam. Sayangnya, koordinasi kebijakan belum mengarah ke sana.

Lemahnya manajemen menjadi penyebab utama tenggelamnya wisata halal. Tourism Watch NTB sejak lama mengingatkan perlunya profesionalisme dalam pengelolaan pariwisata halal. Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, hingga kontrol, semua harus jelas dan terukur. 

Dinas pariwisata di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota semestinya membentuk tim percepatan pengembangan wisata halal (TP3H), tetapi inisiatif ini berjalan lambat.

Ketiadaan standar operasional baku (SOP) juga memperburuk situasi. Misalnya, destinasi halal seharusnya memiliki panduan yang jelas terkait kebersihan, aturan berpakaian, fasilitas ibadah, hingga sertifikasi halal bagi kuliner. 

Tanpa standar, label halal hanya menjadi jargon yang sulit dipertanggungjawabkan. Hal ini berisiko menurunkan kepercayaan pasar global yang sudah terlanjur menempatkan Lombok di posisi prestisius.

Agar wisata halal tidak sekadar romantisme masa lalu, NTB harus berbenah dengan beberapa langkah nyata: Pertama, Menetapkan kawasan percontohan wisata halal. Pemerintah daerah dapat menunjuk satu atau dua destinasi, misalnya Pantai Mawun atau Gili Meno, untuk dikembangkan dengan fasilitas halal yang komprehensif. 

Kedua, Menyusun regulasi dan standar layanan. Sertifikasi hotel, restoran, dan atraksi wisata halal harus dipercepat dengan sistem pengawasan yang ketat. 

Ketiga, Meningkatkan kualitas SDM. Pelatihan pemandu wisata, pelaku UMKM, dan pengelola destinasi perlu berorientasi pada layanan halal yang profesional. 

Keempat, Sinergi dengan Mandalika. Event internasional harus diintegrasikan dengan promosi wisata halal. Wisatawan MotoGP, misalnya, bisa diarahkan untuk menikmati kuliner halal, tur religi, atau menginap di hotel bersertifikasi syariah. 

Kelima, Digitalisasi promosi. Platform informasi terpadu mengenai wisata halal NTB harus tersedia, sehingga wisatawan mudah menemukan paket halal yang sesuai.

Mandalika dengan segala pesonanya memang membawa NTB ke peta pariwisata dunia. Namun, membiarkan wisata halal tenggelam berarti mengabaikan identitas lokal sekaligus kehilangan peluang ekonomi yang sangat besar. 

Wisata halal bukan sekadar label agama, tetapi strategi layanan yang lebih inklusif, ramah, dan sesuai dengan tren global pasca-pandemi: quality and sustainable tourism.

Bila NTB ingin tetap relevan dalam kompetisi destinasi global, maka pesona Mandalika harus berjalan beriringan dengan penguatan wisata halal. Keduanya bukan musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi. 

Mandalika memberi panggung internasional, wisata halal memberi pondasi jangka panjang berbasis identitas dan kebutuhan pasar Muslim dunia. Jika tidak, NTB hanya akan dikenang karena gegap gempita MotoGP, sementara status “Pulau Seribu Masjid” yang dulu mendunia akan tinggal cerita. (*)

***

*) Oleh : Lukman Santoso Az, Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES