Kopi TIMES

Kepemimpinan dan Krisis Regenerasi Organisasi Kampus

Kamis, 18 September 2025 - 22:56 | 4.64k
Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Organisasi kampus sejak lama menjadi ruang penting bagi mahasiswa untuk menempa diri, mengasah kemampuan kepemimpinan, dan memperluas cakrawala berpikir. Di balik hiruk pikuk kuliah dan rutinitas akademik, organisasi mahasiswa hadir sebagai laboratorium sosial tempat teori dipraktikkan dan nilai-nilai diperjuangkan. 

Dari ruang-ruang kecil itu lahirlah kader pemimpin bangsa, aktivis perubahan, dan intelektual kritis yang menggerakkan sejarah. Namun, di tengah arus pragmatisme dan disrupsi digital hari ini, eksistensi organisasi kampus menghadapi ujian yang tidak ringan.

Advertisement

Organisasi mahasiswa bukan sekadar kumpulan orang yang berkegiatan rutin. Ia adalah arena dialektika, tempat mahasiswa belajar mengelola konflik, merumuskan ide, dan memperjuangkan aspirasi. Dalam sejarah Indonesia, organisasi kampus memainkan peran vital dalam berbagai momentum. 

Pergerakan kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari peran mahasiswa yang berhimpun. Reformasi 1998 pun lahir dari konsolidasi gerakan kampus yang menolak otoritarianisme. Artinya, organisasi mahasiswa memiliki akar historis sebagai garda depan perubahan sosial-politik bangsa.

Namun, realitas saat ini menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Banyak organisasi kampus kehilangan daya tarik karena terjebak dalam rutinitas seremonial. Diskusi intelektual tergantikan oleh agenda lomba tanpa ruh perjuangan. 

Konsolidasi mahasiswa melemah karena perhatian lebih banyak tersedot pada dunia digital yang serba instan. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan kritis: masihkah organisasi kampus berfungsi sebagai sekolah kepemimpinan, ataukah ia mulai kehilangan relevansinya?

Di sisi lain, tidak sedikit organisasi kampus yang masih menunjukkan daya hidupnya. Mereka mampu menjawab tantangan zaman dengan adaptasi kreatif. Diskusi tidak hanya berlangsung di ruang kelas atau sekretariat, tetapi juga menjelma menjadi forum daring yang menjangkau publik lebih luas. 

Gerakan advokasi pun memanfaatkan media sosial untuk menekan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Eksistensi organisasi kampus hari ini ditentukan oleh kemampuan bertransformasi, tanpa kehilangan akar ideologis dan semangat perjuangan.

Persoalan lain yang menggerogoti eksistensi organisasi mahasiswa adalah krisis regenerasi. Jumlah mahasiswa yang berminat aktif berorganisasi semakin menurun. Orientasi pragmatis yang menekankan cepat lulus dan segera bekerja membuat organisasi dianggap sebagai beban. 

Padahal, organisasi justru memberi bekal keterampilan soft skill yang sangat relevan di dunia kerja: komunikasi, manajemen konflik, kepemimpinan, hingga networking. Jika tren apatisme ini dibiarkan, organisasi kampus akan kehilangan darah segarnya, dan fungsi kaderisasi pun melemah.

Tidak dapat dipungkiri, organisasi kampus juga menghadapi tantangan dari internalnya sendiri. Konflik internal yang berlarut, perebutan posisi, hingga praktik eksklusivitas membuat sebagian mahasiswa enggan terlibat. Organisasi kerap lebih sibuk mengurus urusan internal ketimbang menjawab isu-isu strategis bangsa. 

Padahal, tantangan eksternal mahasiswa hari ini jauh lebih kompleks: krisis iklim, ketimpangan ekonomi, korupsi, hingga penetrasi budaya global. Jika organisasi mahasiswa hanya sibuk berdebat di ruang sempit, ia akan ditinggalkan publik.

Dalam konteks inilah, organisasi kampus perlu melakukan reorientasi peran. Mereka harus kembali pada jati diri sebagai wadah pembelajaran dan perjuangan. Pembelajaran yang dimaksud bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan proses panjang pembentukan karakter, ideologi, dan kepemimpinan. 

Sedangkan perjuangan berarti keberanian bersuara untuk kepentingan rakyat, sekaligus keterampilan mengartikulasikan gagasan secara konstruktif. Eksistensi organisasi kampus hanya akan diakui jika ia relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Organisasi kampus juga tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu. Reformasi 1998 adalah tonggak penting, tetapi tantangan hari ini berbeda. Era digital menuntut organisasi mahasiswa hadir dengan format baru. 

Mereka harus mampu memanfaatkan teknologi untuk konsolidasi, kampanye gagasan, hingga advokasi kebijakan. Kreativitas dalam menggunakan media digital akan menentukan sejauh mana organisasi kampus bisa menjaga eksistensinya di tengah generasi muda yang serba visual dan cepat.

Keberadaan organisasi kampus juga menjadi penyeimbang di tengah pendidikan tinggi yang semakin terseret logika industri. Kampus hari ini cenderung berorientasi pada output tenaga kerja, bukan pembentukan intelektual kritis. 

Organisasi mahasiswa hadir untuk menjaga keseimbangan itu. Ia menjadi ruang alternatif yang menumbuhkan daya kritis, etika sosial, dan keberpihakan pada rakyat. Tanpa organisasi mahasiswa, perguruan tinggi hanya akan melahirkan lulusan teknokrat yang pandai hitung-hitungan, tetapi gagap dalam membaca realitas sosial.

Pada akhirnya, eksistensi organisasi kampus adalah cermin keberanian mahasiswa dalam mempertahankan tradisi intelektual dan perjuangan. Meski tantangan besar menghadang, organisasi kampus tetap memiliki peran vital sebagai sekolah kepemimpinan, laboratorium demokrasi, dan agen perubahan sosial. 

Yang dibutuhkan saat ini adalah pembaruan visi, revitalisasi kaderisasi, dan kesadaran kolektif bahwa organisasi kampus bukan sekadar pelengkap aktivitas kuliah, melainkan bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa.

Jika mahasiswa berani menjawab tantangan itu, maka eksistensi organisasi kampus tidak akan pernah redup. Ia akan tetap hidup, relevan, dan dihormati sebagai garda intelektual yang menjaga nurani bangsa di tengah gempuran pragmatisme dan disrupsi zaman.

***

*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES