Kopi TIMES

Serdadu Penjajahan

Kamis, 02 Oktober 2025 - 21:27 | 2.84k
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Di dalam perjalanan sejarah bangsa, istilah penjajah selalu dilekatkan pada bangsa asing yang menguasai tanah air, merampas sumber daya, dan menindas rakyat. Namun, ironinya, setelah merdeka lebih dari tujuh dekade, wajah penjajahan itu justru kerap hadir dalam bentuk baru: politisi. 

Bukan lagi tentara kolonial bersenjata yang datang dari jauh, melainkan mereka yang lahir dari rahim bangsa sendiri, dipilih melalui pemilu, tetapi kemudian menegasikan amanat rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Advertisement

Politisi kita sering kali tampil bak “penjajah dalam negeri.” Mereka hadir bukan untuk melayani, melainkan untuk menguasai. Masyarakat bukan ditempatkan sebagai pemilik kedaulatan, melainkan sekadar serdadu: alat legitimasi, mesin suara, sekaligus korban kebijakan. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang pembebasan justru disulap menjadi arena perbudakan modern.

Politisasi rakyat selalu dimulai dengan janji manis. Saat kampanye, politisi menjual imajinasi: kesejahteraan, lapangan kerja, pendidikan gratis, layanan kesehatan yang merata. Tetapi begitu kursi kekuasaan digenggam, janji itu raib seolah tak pernah terucap. Yang hadir justru kebijakan yang menguntungkan elite, sementara rakyat kembali menelan pil pahit kehidupan sehari-hari.

Penjajahan modern ini lebih licik daripada kolonialisme klasik. Jika dulu penjajah merampas dengan paksa, kini perampasan berlangsung dengan cara yang “sah secara hukum”: undang-undang yang diproduksi di parlemen, kebijakan yang lahir dari meja rapat, serta regulasi yang dikemas indah atas nama pembangunan. Semua itu tampak legal, tetapi substansinya tetap merugikan rakyat.

Masyarakat sebagai Serdadu

Dalam logika kekuasaan ini, masyarakat diperlakukan tak ubahnya serdadu. Mereka dimobilisasi ketika pemilu tiba, dikerahkan dalam barisan kampanye, dijanjikan uang, sembako, atau sekadar kaos. 

Tetapi setelah pesta demokrasi usai, mereka ditinggalkan. Kehadiran rakyat hanya berarti sejauh mendukung keberlangsungan kekuasaan politisi, bukan untuk dilayani sebagai pemilik sah republik ini.

Lebih jauh, rakyat sering pula dipaksa menanggung beban. Pajak yang dibayarkan rakyat menjadi bahan bakar utama bagi kebijakan yang tidak selalu berpihak pada kepentingan publik. 

Ketika krisis melanda, justru rakyat yang diminta berhemat, sementara para politisi sibuk melanggengkan fasilitas mewah bagi dirinya. Dalam posisi seperti ini, masyarakat memang serupa serdadu: patuh, taat, dan dipaksa tunduk pada perintah tanpa daya menolak.

Penjajahan oleh politisi juga mencerminkan bagaimana demokrasi dikooptasi. Demokrasi yang mestinya menjamin partisipasi rakyat justru dipreteli maknanya. 

Politik uang, oligarki partai, serta transaksi kepentingan menjadikan demokrasi kehilangan ruh. Suara rakyat direduksi menjadi angka statistik lima tahunan, tanpa kuasa nyata untuk mengontrol kebijakan.

Rakyat yang mencoba kritis pun sering distigmatisasi. Aktivis dianggap pengganggu stabilitas, intelektual kritis dilabeli oposan, sementara kelompok masyarakat yang bersuara keras seringkali dibungkam dengan hukum. 

Ruang publik yang semestinya terbuka bagi wacana kebangsaan malah dipersempit oleh narasi tunggal penguasa. Dengan cara ini, politisi mengokohkan penjajahan dengan wajah demokratis, sebuah ironi yang tragis.

Kondisi ini menegaskan bahwa kemerdekaan bangsa sebenarnya belum sepenuhnya tuntas. Kita memang bebas dari penjajah asing, tetapi belum benar-benar bebas dari penjajahan politik. 

Merdeka politik seharusnya berarti rakyat berdaulat atas dirinya sendiri, atas sumber daya bangsanya, dan atas masa depannya. Namun dalam praktik, kedaulatan itu justru dirampas oleh mereka yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat.

Kedaulatan yang direduksi menjadi ritual lima tahunan hanyalah fatamorgana. Di luar itu, rakyat tetap diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk. Padahal, dalam demokrasi yang sejati, rakyat bukan serdadu, melainkan tuan. Politisi hanyalah mandataris, pelayan yang diberi mandat untuk bekerja bagi kepentingan umum.

Untuk melawan penjajahan model baru ini, rakyat harus membangun kesadaran kritis. Jangan mudah diperdaya janji kampanye. Jangan cepat tunduk pada politik uang yang merendahkan martabat. Rakyat perlu memahami bahwa suara mereka adalah alat kedaulatan, bukan barang dagangan.

Kesadaran kritis ini juga harus ditopang dengan keberanian bersuara. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika rakyat berani menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Melawan politisi korup dan oligarkis bukan hanya tugas aktivis, tetapi juga tanggung jawab bersama sebagai warga negara.

Politisi sebagai Pelayan, Bukan Penjajah

Pada akhirnya, yang harus ditegaskan adalah reposisi peran politisi. Mereka tidak boleh lagi bertindak sebagai penguasa, apalagi penjajah. Mereka hanyalah pelayan, abdi rakyat yang diberi mandat terbatas. Jika mereka ingkar, rakyat berhak menarik kembali mandat itu.

Kedaulatan rakyat tidak boleh dipreteli oleh segelintir elite yang berkolaborasi demi kekuasaan. Bangsa ini membutuhkan politisi yang rendah hati, yang benar-benar menghayati posisinya sebagai pengemban amanah. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi topeng, dan rakyat terus menjadi serdadu yang dikuasai penjajah dari bangsanya sendiri.

Hari ini, bangsa Indonesia tidak lagi dijajah oleh bangsa asing. Namun jangan lengah: penjajah itu bisa lahir dari dalam, dari mereka yang kita pilih, dari politisi yang melupakan mandat. Rakyat bukan serdadu yang bisa diperalat, tetapi pemilik sejati republik ini.

Merdeka sejati adalah ketika rakyat benar-benar berdaulat atas politiknya, ekonominya, dan masa depannya. Dan itu hanya bisa terwujud jika kita berani melihat politisi bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan. 

Jika tidak, kita hanya akan berpindah dari satu penjajahan ke penjajahan lain, dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain, tanpa pernah benar-benar bebas. (*)

***

*) Oleh: Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES