Kopi TIMES

Potret UMKM yang Tersisih di Era 5.0

Sabtu, 01 November 2025 - 14:19 | 476
Rosyid Nurrohman, M.AB., Akademisi Universitas Mulawarman.
Rosyid Nurrohman, M.AB., Akademisi Universitas Mulawarman.

TIMESINDONESIA, SAMARINDA – Di sebuah kota kecil di pinggiran Kalimantan, seorang ibu penjual kue basah di pasar tradisional mulai kehilangan pelanggan setianya. Bukan karena rasa kuenya menurun, melainkan karena para pembelinya kini lebih memilih memesan makanan melalui aplikasi daring. 

Ia belum mengenal cara menggunakan gawai untuk promosi, apalagi bergabung di platform digital. Dalam diam, usahanya yang dulu ramai perlahan tersisih oleh arus digitalisasi yang tak pernah ia pahami.

Advertisement

Kisah semacam ini bukanlah satu-dua. Di balik gegap gempita transformasi digital dan jargon “UMKM Go Digital”, ada potret nyata pelaku usaha kecil yang tertinggal. 

Pemerintah dan berbagai platform besar terus mengampanyekan ekonomi digital sebagai masa depan Indonesia. Visi Society 5.0 di mana teknologi menyatu dengan kehidupan sosial-ekonomi didorong sebagai simbol kemajuan. Namun, kemajuan itu tidak selalu berarti keadilan bagi semua.

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia memang tak bisa diremehkan. Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, lebih dari 64 juta UMKM berkontribusi sekitar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional. 

Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar terdigitalisasi. Sebagian besar masih mengandalkan metode konvensional transaksi tunai, promosi dari mulut ke mulut, dan pencatatan manual.

Kesenjangan ini mencerminkan paradoks transformasi digital. Di satu sisi, digitalisasi menawarkan peluang besar: perluasan pasar, efisiensi biaya, serta inovasi dalam pemasaran. Di sisi lain, ia menciptakan jarak baru antara mereka yang mampu beradaptasi dan mereka yang tertinggal. 

Literasi digital yang rendah, keterbatasan akses internet di daerah, biaya adopsi teknologi yang tinggi, dan minimnya pendampingan menjadi faktor penghambat utama.

Tanpa kebijakan yang inklusif, era 5.0 justru berpotensi memperlebar jurang sosial-ekonomi. UMKM di kota besar yang melek digital dapat tumbuh pesat, sementara pelaku di daerah terpencil semakin tertinggal. Mereka bukan tidak mau berubah, melainkan tidak tahu harus mulai dari mana. 

Banyak pelaku UMKM merasa digitalisasi hanya milik generasi muda atau perusahaan besar dengan sumber daya memadai. Akibatnya, transformasi digital yang seharusnya menjadi jembatan kemajuan justru berubah menjadi tembok pemisah.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, pendampingan digital harus berbasis komunitas. Program pelatihan tidak cukup hanya berupa webinar atau sosialisasi singkat. 

Diperlukan pendekatan yang personal dan kontekstual di mana pelaku UMKM belajar bersama, saling berbagi pengalaman, dan didampingi secara langsung.

Kedua, pemerintah daerah dan lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun ekosistem literasi digital yang merata. Kampus, sekolah vokasi, dan komunitas wirausaha bisa menjadi mitra pelatihan yang berkelanjutan. 

Kolaborasi ini penting agar pengetahuan digital tidak berhenti di tataran teori, tetapi benar-benar terimplementasi dalam aktivitas bisnis sehari-hari.

Ketiga, platform digital besar perlu menunjukkan tanggung jawab sosial yang nyata. Kolaborasi dengan UMKM lokal tidak hanya dalam bentuk promosi, tetapi juga pelatihan dan fasilitasi logistik, agar pelaku usaha kecil mampu bersaing di pasar daring tanpa kehilangan jati diri produk lokalnya.

Regulasi harus melindungi pelaku kecil dari ketimpangan persaingan. Pemerintah perlu memastikan ekosistem digital tidak hanya berpihak pada mereka yang kuat modal, tetapi juga memberi ruang tumbuh bagi pelaku kecil agar tidak sekadar menjadi konsumen dari sistem digital, melainkan juga pelaku utama di dalamnya.

Transformasi digital seharusnya bukan sekadar tentang aplikasi dan algoritma, melainkan tentang manusia di baliknya tentang bagaimana teknologi memampukan, bukan menyingkirkan.

Era 5.0 seharusnya bukan tentang siapa yang paling cepat beradaptasi, tetapi tentang bagaimana semua bisa ikut serta tanpa ada yang tertinggal. Karena di balik setiap kemajuan digital, ada wajah-wajah sederhana yang menunggu kesempatan untuk tetap bertahan dan berkembang di dunia baru yang serba daring.

 

***

*) Oleh : Rosyid Nurrohman, M.AB., Akademisi Universitas Mulawarman.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES