TIMESINDONESIA, NGANJUK – Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia, adalah sosok yang selalu menimbulkan perdebatan dalam sejarah bangsa. Di satu sisi, ia dikenang sebagai tokoh militer yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembebasan Irian Barat.
Namun di sisi lain, kekuasaannya selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru meninggalkan jejak kelam: pelanggaran HAM, korupsi, dan represi politik yang masih membekas hingga kini.
Advertisement
Karena itu, setiap kali muncul wacana pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional, perdebatan pun tak terelakkan antara penghargaan atas jasanya dan pengakuan atas luka sejarah yang ditinggalkannya.
Para sejarawan, budayawan, hingga aktivis 1998 menilai, pemerintahan Soeharto dijalankan melalui kekuasaan yang represif dan sentralistik. Orde Baru membangun stabilitas dengan cara membungkam perbedaan.
Demokrasi direduksi menjadi formalitas, sementara kritik dianggap ancaman terhadap negara. Dalam sistem politik yang dikonsolidasikan secara ketat, rakyat hanya punya satu pilihan: patuh atau disingkirkan.
Format kekuasaan sentralistik inilah yang kemudian melahirkan pola politik otoritarian selama tiga dekade. Militer memegang peran dominan dalam pemerintahan, bukan hanya di bidang pertahanan, tapi juga politik dan ekonomi.
Konsep dwifungsi ABRI menjadi legitimasi untuk campur tangan militer dalam urusan sipil, sementara partai politik dipaksa melebur dalam wadah tunggal. Hasilnya adalah stabilitas yang dikontrol dari atas, tapi kehilangan partisipasi dari bawah.
Dalam konteks ini, pelanggaran hak asasi manusia menjadi wajah lain dari kekuasaan yang absolut. Sejarah mencatat serangkaian tragedi kemanusiaan yang terjadi sepanjang era Soeharto: pembantaian massal pasca peristiwa G30S/PKI yang menelan hingga lebih dari satu juta korban, penembakan misterius (Petrus) pada 1982–1985 dengan lebih dari seribu jiwa melayang, serta berbagai kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Belum berhenti di situ. Tragedi Tanjung Priok (1984), kasus Marsinah (1993), dan serangkaian pembunuhan serta penculikan aktivis pada 1997–1998 menandai bahwa kekerasan menjadi alat kontrol kekuasaan.
Bahkan menjelang kejatuhan rezim, penembakan mahasiswa Trisakti serta tragedi Semanggi I dan II memperlihatkan bagaimana negara tega menggunakan peluru terhadap anak bangsanya sendiri.
Konsolidasi kekuasaan yang dibangun Soeharto juga berlangsung dengan mengubah struktur politik secara total. Militer menancapkan pengaruh dalam birokrasi, ekonomi, hingga partai politik.
Budayawan Hairus Salim mencatat bahwa represi Orde Baru tidak hanya menimpa simpatisan PKI, tetapi juga ormas besar seperti NU, PNI, dan Masyumi. Pemilu 1971, misalnya, tidak berlangsung bebas. Di 19 kabupaten, sebelas bupatinya dijabat perwira TNI. Dominasi militer bukan sekadar strategi, tapi sistem.
Meski begitu, menilai Soeharto tidak bisa dengan kacamata tunggal. Ia juga meninggalkan warisan pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan stabilitas politik yang dalam periode tertentu memberi kemajuan bagi bangsa.
Di bawah kendalinya, Indonesia berhasil menekan inflasi, meningkatkan swasembada pangan, dan memperluas jaringan pendidikan dasar. Namun kemajuan ekonomi itu ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh penuh utang, korupsi, dan ketimpangan sosial yang membengkak di akhir masa kekuasaannya.
Karena itu, dilema kepahlawanan Soeharto bukan sekadar soal jasa atau dosa, melainkan soal bagaimana bangsa ini memaknai sejarah dengan jujur. Gelar Pahlawan Nasional bukan penghargaan administratif, melainkan simbol moral.
Memberikannya kepada figur yang di satu sisi berjasa, namun di sisi lain menanggung catatan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan, berisiko menimbulkan luka baru dalam ingatan kolektif bangsa.
Bangsa yang sehat bukan bangsa yang melupakan sejarah, tetapi bangsa yang berani menghadapinya. Kita tidak perlu menghapus nama Soeharto dari catatan sejarah, tetapi juga tidak perlu menutup mata terhadap fakta bahwa kekuasaannya menimbulkan penderitaan bagi banyak warga. Mengakui kebenaran sejarah bukan bentuk dendam, melainkan jalan menuju kedewasaan nasional.
Soeharto tetap bagian penting dari perjalanan republik ini dengan segala jasanya, juga dengan segala bebannya. Tapi menjadikannya Pahlawan Nasional berarti menempatkannya pada posisi moral yang terlalu tinggi bagi seorang pemimpin yang meninggalkan begitu banyak luka sejarah.
Maka, cara terbaik untuk menghormati sejarah bukan dengan memutihkannya, melainkan dengan mempelajarinya. Beban sejarah kepahlawanan Soeharto adalah pengingat bagi generasi hari ini bahwa kekuasaan tanpa moral akan selalu meninggalkan jejak luka. Dan tugas kita bukan mengulanginya, melainkan memastikan bahwa keadilan dan kemanusiaan tidak lagi dikorbankan atas nama stabilitas.
***
*) Oleh : Muhammad Alwi Hasan, S.hum., Pengurus lakpesdam PCNU Nganjuk.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Rizal Dani |