TIMESINDONESIA, TULUNGAGUNG – Sabtu (25/10/2025) pagi itu, halaman kampus UIN Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung dipenuhi warna hitam toga dan senyum bercampur haru.
Di antara ratusan wajah muda yang berseri, ada satu wajah renta yang paling mencuri perhatian: Bu Satini, 82 tahun, dari Purbalingga, Jawa Tengah.
Advertisement
Tubuhnya kecil, langkahnya pelan. Tapi tekadnya besar. Ia menempuh perjalanan delapan jam dari kampung hanya untuk satu hal, melihat anaknya, Imam Edi Siswanto, mengenakan toga magister di panggung wisuda ke-48 UIN SATU Tulungagung.
“Alhamdulillah,” katanya lirih tapi mantap, “perjuangan panjang ini akhirnya terbayar.”
Matanya basah. Bukan hanya karena bangga. Tapi juga karena Bu Satini tahu betapa tidak mudahnya sampai di titik itu.
Imam Edi bukan satu-satunya yang berjuang. Di balik toga setiap wisudawan, ada kisah panjang orang tua yang menabung dari sawah, menjual ternak, menahan lapar, atau sekadar menekan keinginan pribadi agar anaknya bisa sekolah tinggi.
Di gedung itu, Sabtu (25/10/2025), air mata banyak yang jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena doa yang lama tersimpan akhirnya menemukan jawabannya.
Bu Satini dalam prosesi wisuda itu memang diminta UIN SATU untuk testimoni di depan hadirin.
Bagi sebagian orang, wisuda adalah seremoni. Tapi bagi Satini dan para orang tua lainnya, wisuda adalah penanda akhir sebuah perjalanan penuh pengorbanan dan awal dari babak baru kehidupan anak mereka.
“Sebagai orang tua, saya hanya bisa berdoa agar ilmu yang diperoleh anak saya bermanfaat,” ucap Satini, suaranya pelan tapi tegas. “Berguna bagi masyarakat, bangsa, dan agama.”
Hari itu, suasana aula berubah menjadi lautan harapan. Para ibu dan ayah menatap anak-anak mereka yang kini berdiri tegak, dengan toga dan senyum bangga.
Beberapa bahkan menitikkan air mata diam-diam.
Ada yang menggenggam tangan anaknya, ada pula yang menunduk lama, mungkin mengingat masa lalu, masa ketika mereka harus berjuang di tengah sulitnya biaya pendidikan, di antara doa-doa panjang yang tak pernah berhenti mereka panjatkan.
Rektor UIN SATU, Prof. Dr. H. Abdul Aziz, M.Pd.I, yang berdiri di podium, seolah membaca getar perasaan para orang tua itu. Dalam sambutannya, ia berkata dengan nada lembut namun penuh makna.
“Keberhasilan kalian, para wisudawan, adalah keberhasilan orang tua kalian. Mereka adalah guru pertama kalian. Yang tidak pernah meminta balasan apa pun selain kebahagiaan kalian.”
Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang. Dan mungkin juga beberapa isak tertahan.
Namun wisuda bukan sekadar perpisahan. Di tangan para wisudawan, kini titipan baru diletakkan: tanggung jawab untuk menjadikan ilmu sebagai cahaya, bukan sekadar gelar di belakang nama.
Para orang tua, seperti Satini, telah menitipkan harapan besar agar anak-anak mereka membawa nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan ke tengah masyarakat. Agar mereka tak hanya pandai, tapi juga berakhlak. Tak hanya pintar bicara, tapi juga mampu berbuat.
Rektor Aziz memahami pesan itu. Ia menjawabnya bukan dengan kata-kata, melainkan dengan gagasan: Religreen Campus. Konsep pendidikan berkelanjutan yang menggabungkan nilai religius dan kepedulian lingkungan.
“Kami ingin membangun sistem pendidikan yang menumbuhkan karakter, spiritualitas, dan tanggung jawab terhadap bumi,” katanya.
“Religreen bukan sekadar gedung hijau, tapi cara berpikir baru,” sambungnya.
Ia menjelaskan, konsep itu akan menjadikan kampus sebagai ruang yang hidup: efisien, ramah lingkungan, tapi juga religius. Di sana, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang seimbang. Antara dunia dan akhirat, antara ilmu dan amal, antara doa dan tindakan.
Di luar gedung, setelah upacara usai, Satini masih duduk di kursi, menatap panggung yang kini mulai sepi. Imam Edi datang menghampirinya, membawa bunga dan medali. Ia mencium tangan sang ibu yang telah keriput itu.
“Bu, terima kasih sudah sabar mendidik saya,” katanya pelan.
Satini tersenyum. “Yang sabar bukan hanya ibu,” jawabnya. “Tuhan pun sabar menunggu kita menjadi orang baik.”
Kalimat itu sederhana. Tapi seperti menampar lembut setiap orang yang mendengarnya. Karena memang, pendidikan sejati bukan soal nilai dan ijazah, namun tentang bagaimana manusia belajar menjadi lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih bermanfaat.
Wisuda UIN SATU ke-48 pun berakhir. Tapi cerita tentang Satini dan para orang tua lainnya tidak akan lekang. Mereka adalah simbol doa yang tak pernah padam, bahkan di usia senja.
Dan di tangan para wisudawan, doa itu kini berwujud amanah: untuk menjaga ilmu, menjaga akhlak, dan menjaga bumi sebagaimana pesan kampusnya: Religreen (religius dan hijau).
Sebab setiap toga yang dikalungkan bukan sekadar kain. Ia adalah doa yang dijahit dengan air mata, disetrika oleh harapan, dan dikenakan oleh cinta yang tak pernah menua. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Deasy Mayasari |
| Publisher | : Rifky Rezfany |