Peristiwa Daerah

Nguri-nguri Budoyo Pawon Kampung Ketawanggede: Menghidupkan Api Tradisi dari Dapur Nusantara

Kamis, 06 November 2025 - 11:16 | 1.54k
Foto bersama pemateri acara diskusi Nguri-nguri Budoyo Pawon Ketawanggede. Acara ini mencoba menghidupkan kembali filosofi pawon sebagai ruang sosial lintas generasi. (Foto: Natasa Ayang Sauqina/TIMES Indonesia)
Foto bersama pemateri acara diskusi Nguri-nguri Budoyo Pawon Ketawanggede. Acara ini mencoba menghidupkan kembali filosofi pawon sebagai ruang sosial lintas generasi. (Foto: Natasa Ayang Sauqina/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah gempuran modernitas dan gaya hidup serba cepat, ruang dapur tradisional atau pawon ternyata menyimpan nilai budaya yang mulai terlupakan. Melalui kegiatan bertajuk “Nguri-nguri Budoyo Pawon Kampung Ketawanggede”, masyarakat dan akademisi di Kota Malang berupaya menghidupkan kembali filosofi pawon sebagai ruang sosial, tempat nilai-nilai kebersamaan diwariskan lintas generasi. 

Kegiatan ini digelar pada Rabu dan Kamis (5–6 November 2025) di Kampung Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Malang. Acara berlangsung atas kerja sama Direktorat Kerja Sama Kebudayaan, Ditjen DPKSK Kementerian Kebudayaan, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) sebagai inisiator dan pelaksana bersama Komunitas Kampung Ketawanggede. 

Advertisement

Pawon dalam tradisi masyarakat Nusantara tidak sekadar ruang memasak, tetapi juga jantung kehidupan keluarga. Di sana, nilai-nilai seperti gotong royong, solidaritas, dan penghormatan terhadap alam diajarkan secara turun-temurun. 

Acara ini menjadi contoh konkret sinergi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dan komunitas lokal.

Direktur Kerja Sama Kebudayaan, Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan (DPKSK) Kementerian Kebudayaan RI, Mardisontori, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program Forum Kemitraan Budaya Nasional. 

Kampung-Ketawanggede-2.jpgProses memasak dengan alat tradisional Pawon bersama ibu bapak Kampung Budoyo Ketawanggede (Foto: Natasa Ayang Sauqina/TIMES Indonesia)

“Forum ini menjadi wadah dialog dan kolaborasi antara komunitas dan lembaga kebudayaan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai lokal melalui filosofi pawon. Kami ingin membangun diplomasi budaya dari ruang paling dekat dengan masyarakat,” terang Mardisontori. 

Tujuan dari forum ini, lanjutnya, adalah menumbuhkan jejaring kerja sama berbasis nilai dan identitas lokal, sekaligus mendorong terciptanya sinergi antara pemerintah, komunitas, dan lembaga pendidikan dalam pemajuan kebudayaan. 

Sekretaris Universitas Brawijaya, Dr. Tri Wahyu Nugroho, S.P., M.Si dalam acara pembukaan mengatakan bahwa fungsi luhur pawon kini mulai tergerus oleh arus modernisasi. 

“Kerja sama untuk memperkenalkan kembali pawon tradisional menjadi penting. Pawon adalah ruang nilai yang sarat filosofi, tempat solidaritas dan interaksi sosial tumbuh. Dalam kehidupan urban modern, fungsi itu sering kali tereduksi menjadi sekadar area memasak,” ujarnya. 

Kampung Ketawanggede, yang dikenal sebagai bagian dari Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya, menjadi lokasi ideal untuk kegiatan ini.

Dr. Redy Eko Prastyo, Ketua Kompartemen Kebudayaan IKA UB, mengatakan kampung ini adalah laboratorium sosial yang hidup, tempat bertemunya kearifan lokal masyarakat dengan semangat akademik mahasiswa dan dosen UB. 

“Dapur-dapur di Ketawanggede bukan hanya tempat mengolah makanan, tapi juga benteng ketahanan budaya. Di sinilah masyarakat belajar bertahan di tengah arus modernisasi yang membawa budaya instan,” jelasnya. 

Dia menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya IKA UB dalam mengaktifkan peran alumni di bidang kebudayaan. “Kami ingin menerjemahkan gagasan akademik menjadi aksi nyata, agar nilai-nilai lokal tidak hanya dibicarakan di ruang seminar, tetapi juga dirasakan langsung oleh masyarakat,” tambahnya. 

Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur, Endah Budi Heryani, S.S., M.M., menegaskan bahwa Nguri-nguri Budoyo Pawon bukan sekadar acara simbolik, melainkan gerakan revitalisasi yang berkelanjutan. 

“Kami ingin menjadikan pawon sebagai simpul kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya di tengah kampung urban. Dengan menjadikan Kampung Lingkar Kampus UB sebagai model, kegiatan ini diharapkan membuka ruang dialog, kolaborasi, dan diplomasi budaya berbasis kearifan lokal,” katanya. 

Endah berharap kegiatan serupa bisa direplikasi di daerah lain, terutama di kota-kota yang mengalami perubahan cepat akibat urbanisasi. Menurutnya, menjaga budaya dari ruang terkecil seperti dapur adalah langkah strategis menciptakan resiliensi budaya di masa depan. 

Sementara itu, Lurah Ketawanggede, Raden Agung Rawijaya Buana, S.E., M.SE., menyebut kegiatan ini sebagai momentum bagi warganya untuk kembali menengok akar budaya yang nyaris hilang. 

“Banyak masyarakat, bahkan warga Malang sendiri, belum tahu makna pawon secara budaya. Padahal dari sinilah nilai kebersamaan dan gotong royong berawal,” katanya. 

Melalui kegiatan ini, semangat melestarikan pawon bukan sekadar nostalgia, tetapi upaya konkret menghidupkan kembali ruang interaksi yang membentuk karakter masyarakat.

Dari api pawon yang sederhana, diharapkan lahir kembali kehangatan sosial dan identitas budaya yang kuat di tengah derasnya modernitas Kota Malang. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES