TIMESINDONESIA, BANDUNG – Di triwulan III tahun 2025 ini telah banyak pencapaian yang diperoleh oleh OJK Jabar yang dinakhodai oleh Darwisman sebagai Kepala OJK Jawa Barat. Walau ekonomi nasional sedang terus bertumbuh, sikap dan pernyataan optimisme tergambar dalam paparan dan keterangan yang diberikan oleh Kepala OJK Jabar.
“Kalau sisi market share, kredit kita dari Rp8.320 triliun yang diangkat di 2025 itu Rp50,55 persen ada di DKI Jakarta. Atau sekitar Rp4.206 triliun. Ini masih dominasi banget DKI,” ujar Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Barat, Darwisman, ketika memaparkan data terbaru perkembangan kredit nasional, Senin (29/09/2025).
Dari kacamata nasional, posisi Jawa Barat memang menempati urutan kedua setelah DKI Jakarta dengan nilai kredit Rp655 triliun atau setara 7,87 persen. Namun, jarak dengan DKI begitu lebar. Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Banten, hingga Sulawesi Selatan pun berada di bawah Jawa Barat. Meski demikian, ketika bicara pertumbuhan, Jawa Barat justru tertinggal.
“Sulawesi Selatan saja masih tumbuh 4,16 persen. Jawa Timur tumbuh 5,53 persen. Bahkan DKI Jakarta tumbuh 9,24 persen. Sumatera Utara tumbuh 8,08 persen. Sementara Jawa Barat terakhir hanya 2,79 persen. Jadi memang ada PR besar buat kami,” kata Darwisman.
Menurutnya, stagnasi kredit di Jawa Barat tak lepas dari berakhirnya kebijakan relaksasi pasca-pandemi. Saat restrukturisasi COVID-19 dilepaskan pada Maret 2024, banyak pelaku usaha mikro kembali menghadapi kesulitan membayar.
“Kalau dulu mereka bisa tertolong dengan relaksasi, sekarang begitu dilepas, langsung kena imbas. Kredit macet meningkat. Di Jawa Barat, Non Performing Loan (NPL) kita sudah 3,58 persen,” jelasnya.
Tingkat kredit bermasalah itu membuat bank lebih berhati-hati menyalurkan pinjaman. “Biasanya kalau NPL naik, strategi perbankan itu langsung ‘cuci piring dulu’. Mereka tahan ekspansi kredit, sembari membereskan portofolio yang bermasalah. Kalau sampai NPL lewat 5 persen, malah berbahaya. Bisa masuk kategori pengawasan intensif,” tegas Darwisman.
Kondisi ini membuat daya dorong perbankan ke sektor riil melambat, khususnya di Jawa Barat yang memiliki basis UMKM besar.
Tak hanya soal kredit, masyarakat juga sempat resah dengan informasi mengenai Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikira sebagai daftar hitam. OJK pun menegaskan bahwa SLIK hanyalah catatan netral yang dipakai bank untuk analisis.
“SLIK itu bukan blacklist. Nilai kecil tidak otomatis ditolak. Itu hanya informasi yang membantu bank melakukan analisis lebih dalam,” ujar Darwisman.
Ia menambahkan, pada 14 Januari 2025, pimpinan OJK melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan bahkan sudah menyampaikan surat resmi ke seluruh bank agar hal ini dipahami dan tidak menimbulkan salah tafsir di masyarakat.
OJK Jawa Barat juga berupaya mendorong sektor perumahan dengan memberi kelonggaran aturan permodalan. “Kami sudah keluarkan kebijakan agar aset tertimbang risiko untuk kredit pemilikan rumah (KPR) lebih ringan. Jadi bank bisa lebih bersemangat menyalurkan kredit perumahan tanpa terbebani permodalan. Bahkan kami beri buku TNK khusus untuk itu,” jelasnya.
Namun, ia mengakui kebijakan tersebut belum cukup menggerakkan ekonomi daerah. Banyak masalah struktural masih menghambat penyerapan kredit.
Darwisman menekankan pentingnya komunikasi intensif dengan perbankan, pemerintah daerah, dan pelaku usaha agar kualitas kredit membaik. “Kami akan terus dorong agar perbankan tidak apriori, tidak menganggap semua debitur mikro itu berisiko. Penting untuk membangun kepercayaan. Kalau semua ditutup, justru sektor usaha kecil yang jadi korban,” katanya.
Kondisi ini, menurutnya, menjadi refleksi bahwa Jawa Barat butuh strategi berbeda dari daerah lain. “Kalau hanya mengandalkan pola lama, Jawa Barat akan tertinggal. Kita punya potensi besar, tapi harus ada keberanian dari bank dan pendampingan dari regulator. Kredit itu bukan sekadar angka, tapi nyawa dari pergerakan ekonomi,” ucapnya dengan nada menekankan.
Ia juga mengingatkan bahwa perbankan perlu lebih adaptif membaca dinamika pasca-relaksasi. “Masyarakat sudah lepas dari proteksi, sementara daya tahan mereka belum sepenuhnya pulih. Jadi kalau bank langsung mengerem, ini kontraproduktif. Perlu ada keseimbangan antara kehati-hatian dengan keberanian mendorong pertumbuhan,” tuturnya.
Meski tantangan besar menghadang, Darwisman optimistis Jawa Barat mampu mengejar ketertinggalan. OJK, katanya, akan terus melakukan pengawasan, memberikan insentif kebijakan, sekaligus memastikan bank tetap menjaga kualitas portofolio.
“Jangan sampai masyarakat yang sebetulnya punya prospek usaha justru tersisih gara-gara kekakuan prosedur. Kita ingin ekonomi Jawa Barat bergerak, tapi dengan fondasi sehat,” pungkasnya.
Dengan kondisi pertumbuhan kredit yang melambat, pesan OJK ini menjadi sinyal bagi perbankan agar lebih progresif. Bukan hanya soal menjaga kesehatan neraca, tetapi juga menghidupkan kembali denyut ekonomi Jawa Barat. Karena pada akhirnya, keberanian memberi ruang bagi pelaku usaha akan menjadi penentu arah pembangunan daerah ini. (*)
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Muludan Bumi Blambangan, Pemkab Banyuwangi Bagikan Ribuan Telur
Masih Berserak, Situs Kemuning dan Batu Kuno di Kranggan Ngajum Malang Harus Lebih Terjaga
Sri Wahyuni Wakil DPRD Jatim Desak Evaluasi Kualitas MBG, Wanti-wanti Pelaksanaan Program Agar Sesuai Standar
Wali Kota Banjar Bakal Mutasi Kapus Banjar II, Buntut Penolakan Ambulans
11 Perusahaan Antre IPO, BEI Targetkan 1.000 Emiten Tercapai Akhir 2025
Gunung Karangetang Pulau Siau Waspada, Petani di Lereng Diminta Siaga Lava dan Lahar
Puluhan Siswa di Ciamis Alami Keracunan Diduga dari MBG
Kids Cooking Class Premier Place Hotel, Ajak Anak Berkreasi Bikin Bento dan Pancake
Bupati Yani Minta Rekrutmen Tenaga Kerja di JIIPE Prioritaskan Warga Gresik
Pengasuh Ponpes Al Khoziny Angkat Bicara Usai Mushola Tiga Lantai Ambruk Timpa Ratusan Santri