TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Integritas hukum dan penegakkanya sedang teruji, ketika hukum berhadapan dengan kekuasaan politik. Fenomena kasus hukum yang menjerat Tom Lembong, mantan pejabat dan tokoh ekonomi Indonesia, menjadi sorotan publik bukan semata karena sosoknya yang dikenal luas, tetapi juga karena dinamika proses hukum yang tampaknya tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan politik.
Hukuman yang dijatuhkan terhadap Tom Lembong membuka ruang diskusi mengenai seberapa besar pengaruh kekuasaan politik dalam membentuk arah dan putusan lembaga peradilan di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah ketegangan antara supremasi hukum dan dinamika politik dalam kasus tersebut, dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam membaca hubungan yang tidak selalu tampak secara eksplisit di permukaan.
Tom Lembong dikenal luas sebagai sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia dikenal sebagai teknokrat dengan reputasi internasional dan jejak karier profesional yang panjang di sektor keuangan global.
Setelah tidak lagi menjabat, namanya tetap menghiasi ruang publik, baik sebagai analis kebijakan maupun pengkritik kebijakan pemerintah, serta posisinya secara politik berada di kubu oposisi.
Namun, pada awal 2025, publik dikejutkan oleh proses hukum terhadap Tomi Lembong yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Tuduhan tersebut terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan impor gula pada masa ia menjabat.
Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dan kontroversial, pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama empat tahun lima bulan.
Problematika Hukum
Secara yuridis, proses hukum terhadap seorang warga negara yang diduga melakukan tindak pidana adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip rule of law. Tidak ada satu pun warga negara, termasuk pejabat tinggi, yang berada di atas hukum.
Namun, dalam kasus Tom Lembong, muncul pertanyaan besar dari kalangan akademisi, masyarakat sipil, dan pengamat hukum: apakah proses hukum tersebut murni berdasarkan pertimbangan hukum, ataukah ada kepentingan politik yang bermain di balik layar?
Beberapa hal yang menimbulkan kecurigaan adalah kecepatan proses penyelidikan, waktu pelimpahan perkara yang berdekatan dengan momen politik strategis (seperti Pilpres), serta indikasi penggunaan bukti yang tidak terlalu kuat namun diterima oleh majelis hakim sebagai dasar penghukuman.
Lebih jauh, beberapa tokoh yang sebelumnya mengkritik keras kebijakan pemerintah juga mengalami tekanan hukum yang beriringan, sehingga menimbulkan dugaan bahwa hukum sedang digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam oposisi.
Dalam perspektif politik hukum (legal politics), hukum tidak pernah sepenuhnya netral. Ia dibentuk, ditafsirkan, dan dijalankan dalam konteks kekuasaan. Sebagaimana dikemukakan Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia, hukum merupakan produk politik dan sering kali mencerminkan kepentingan penguasa (Mahfud MD, 2009, hlm. 4).
Dengan demikian, tidak mengherankan bila dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, masih sering dijumpai penggunaan instrumen hukum untuk tujuan politik.
Jika pendekatan ini digunakan dalam melihat kasus Tom Lembong, maka sangat mungkin terjadi bahwa proses hukum tersebut bukan semata soal keadilan legal-formal, tetapi juga bagian dari desain politik yang lebih luas.
Dalam hal ini, hukum berperan bukan sebagai pelindung hak warga negara, melainkan sebagai alat legitimasi untuk menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan.
Apa yang terjadi pada Tomi Lembong, jika benar merupakan bentuk kriminalisasi politik, menunjukkan masih rapuhnya supremasi hukum di Indonesia. Idealnya, hukum harus berjalan independen dari kekuasaan eksekutif, bebas dari intervensi politik, dan berpihak pada kebenaran serta keadilan.
Namun, realitasnya banyak lembaga penegak hukum termasuk kejaksaan dan pengadilan belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari tekanan dan kepentingan politik.
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa reformasi hukum yang telah berlangsung sejak era pasca-Orde Baru belum sepenuhnya berhasil membangun institusi hukum yang kuat dan dipercaya publik.
Ketika putusan pengadilan tidak lagi dilihat sebagai hasil pertimbangan yuridis yang objektif, tetapi sebagai bagian dari kalkulasi politik, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum pun akan tergerus secara perlahan.
Proses peradilan sampai pada putusan hukuman Tom Lembong dapat menjadi bahan refleksi penting bagi bangsa Indonesia secara sepesifik para akademisi dan praktisi di bidang hukum untuk mengevaluasi kembali relasi antara hukum dan politik.
Di satu sisi, sangat penting untuk menegakkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu. Namun di sisi lain, perlu dijaga agar hukum tidak berubah menjadi alat kekuasaan yang represif.
Transparansi proses hukum, independensi lembaga yudikatif, serta perlindungan terhadap kebebasan berpendapat harus terus diperkuat. Peran media, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil juga sangat krusial dalam mengawal jalannya proses hukum yang adil dan bebas dari campur tangan politik.
Jika benar Tom Lembong bersalah secara hukum, maka hukuman harus ditegakkan dengan adil dan berdasarkan bukti yang kuat. Namun jika terdapat indikasi kriminalisasi atau rekayasa hukum, maka perlu ada mekanisme koreksi institusional agar hukum tidak menjadi senjata kekuasaan.
Kasus hukuman Tom Lembong adalah potret buram hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Ia menjadi cermin dari rapuhnya institusi hukum yang seharusnya berdiri tegak di atas prinsip keadilan, namun kerap goyah di bawah tekanan kekuasaan.
Oleh karena itu, perjuangan membangun negara hukum tidak boleh berhenti pada tataran formal, tetapi harus terus dikawal secara substansial agar hukum benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan alat penguasa.
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Ketahui Berbagai Efek Sinar Matahari bagi Kesehatan Tubuh
CEK FAKTA: Hoaks! Will Smith Meninggal Dunia
Cara Bijak Orang Tua dalam Memberikan Akses Gadget yang Aman untuk Anak
Rayakan Hari Berkebaya Nasional Lewat Film Pendek #KitaBerkebaya
Atasi Stres Kerja dengan Strategi Sederhana Tapi Efektif
Peran Musik dalam Tumbuh Kembang Anak Menurut Psikolog
Arsenal Kalahkan AC Milan 1-0 di Laga Persahabatan Pra-Musim
Kementan Terus Dorong Realisasi Datangkan 1 Juta Sapi Dalam 5 Tahun
Dinsos Jabar Tegaskan Siswa SLBN A Pajajaran Tetap Bisa Belajar di UPTD Griya Harapan Difabel Cimahi
Resmikan Desa Budaya, Sekda Bondowoso: Generasi Jangan Tercabut dari Akar Budaya