TIMESINDONESIA, JAKARTA – Wacana wajib belajar 13 tahun dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) kembali mencuat dalam wacana kebijakan pendidikan nasional. Sebuah langkah yang tampak visioner, tetapi menuntut konsistensi dalam penerapannya. Sebab, terlalu sering PAUD hanya menjadi lampiran dalam kebijakan, bukan sebagai fondasi utama.
Padahal, secara normatif, PAUD telah diakui dalam sistem pendidikan nasional. Dalam Pasal 1 ayat (14) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), PAUD adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.”
Lebih jauh lagi, Pasal 28 ayat (1) menegaskan bahwa “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal, nonformal, dan informal”.
Namun, dalam praktiknya, PAUD sering kali tertinggal. Status kelembagaan PAUD banyak yang belum formal, mayoritas dikelola oleh masyarakat secara swadaya, dan belum mendapat dukungan infrastruktur dan pembiayaan memadai dari negara.
Bagaimana mungkin kita berbicara tentang wajib belajar 13 tahun, jika tahun-tahun awal kehidupan anak justru diposisikan sebagai ruang yang opsional, bahkan marjinal?
Sebagai lulusan Sarjana Pendidikan Islam Anak Usia Dini dari Universitas Cendekia Abditama, Tangerang, saya tidak sekadar belajar tepuk tangan dan menyanyi. Saya belajar teori pendidikan, psikologi perkembangan, dan filsafat pendidikan.
Semua itu membentuk pemahaman bahwa pendidikan anak usia dini bukan aktivitas seremonial, tetapi proses yang menentukan arah masa depan seorang manusia.
Golden age usia 0–6 tahun adalah masa paling menentukan dalam perkembangan otak, karakter, dan kemampuan sosial anak. Negara-negara dengan sistem pendidikan maju justru berinvestasi besar di jenjang ini.
Bahkan, laporan UNESCO dan UNICEF menyebut bahwa setiap 1 dolar yang diinvestasikan dalam PAUD akan menghasilkan 7–10 dolar dalam bentuk manfaat sosial dan ekonomi di masa depan. Maka PAUD bukan beban fiskal, tetapi investasi strategis pembangunan manusia.
Sayangnya, saat kita bicara wajib belajar, perhatian lebih banyak tertuju ke pendidikan dasar dan menengah. Padahal, dalam kerangka UU Sisdiknas, pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur hidup, dan PAUD adalah titik awal dari sistem pendidikan nasional kita.
Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Jika demikian, kenapa PAUD masih dibiayai oleh orang tua dan belum sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara?
Tantangan PAUD tidak hanya pada akses dan pembiayaan, tapi juga pada kualitas. Guru PAUD masih banyak yang belum tersertifikasi, pelatihan terbatas, dan kurikulumnya belum terstandardisasi secara nasional.
Negara seharusnya tidak hanya membuat regulasi, tetapi hadir secara konkret: memberi insentif, pelatihan berkelanjutan, hingga pengakuan formal atas eksistensi PAUD sebagai institusi pendidikan awal.
Wacana wajib belajar 13 tahun hanya akan menjadi jargon jika tidak dibarengi dengan kebijakan afirmatif terhadap PAUD. Kita tidak bisa berharap anak sukses di SD, SMP, atau SMA jika pada usia dini mereka tidak mendapat stimulasi yang memadai. Pendidikan bukan menara yang dibangun dari atas, tetapi pondasi yang ditanam sejak dini.
Jika pemerintah benar-benar ingin menyukseskan kebijakan ini, maka perlu ada revisi atau penguatan implementatif dari Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyebut “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”
Dalam konteks hari ini, usia wajib belajar perlu ditinjau ulang, agar inklusif terhadap realitas perkembangan anak dan paradigma baru pendidikan.
Dengan memperluas makna wajib belajar ke jenjang PAUD, negara menunjukkan keberpihakan yang sejati terhadap masa depan anak-anak Indonesia. Maka mari berhenti menganggap PAUD sebagai “pengantar tidur” dalam sistem pendidikan kita. Justru di sinilah kesadaran intelektual pertama anak ditanamkan.
Kalau kita ingin membangun generasi emas 2045, mulailah dari ruang kelas PAUD hari ini. Jangan sampai kita mendidik dari tengah, apalagi dari atas. Sebab bangsa yang besar bukan hanya dibentuk oleh teknologi dan ekonomi, tapi oleh bagaimana ia memperlakukan anak-anaknya sejak hari pertama mereka belajar mengenali dunia.
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Tiga Atlet Tarung Derajat Kota Tasikmalaya Raih Emas di Kejurda Pelajar Jabar 2025
Terbitkan Aturan, Pemkab Blitar Wacanakan Festival Sound Horeg
Modus Pakai Atribut Pondok Tremas Pacitan, Rombongan Sumbangan Liar Asal Garut Digaruk Polisi
27 Negara Desak Perang Gaza Segera Dihentikan, Kecam Taktik Israel
Kisah Abdul Rohman, Perajin Kerupuk di Pacitan yang Rumahnya Hangus Dilalap Api
Ketua Pordasi Pacitan Berharap Ketua KONI 2025-2029 Penuhi Empat Kriteria Penting
Angga Dwimas Sasongko Angkat Kisah Pangeran Diponegoro Lewat Perang Jawa
Perdana! Pemkab Probolinggo Inisiasi Lomba Video Pariwara Antikorupsi Berbasis AI
Pengurus Koperasi Merah Putih di Bondowoso Mengundurkan Diri karena Takut Tersandung Kasus Hukum
Pemkot Batu Kolaborasikan COOSAE dengan Koperasi Merah Putih