TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Pada setiap goresan krayon anak-anak kita, tersimpan harapan tentang Indonesia. Di balik gambar matahari tersenyum, sawah hijau, dan bendera merah putih berkibar, ada imajinasi tentang negeri impian.
Anak-anak, meskipun suaranya kecil, sebenarnya memiliki gambaran tentang masa depan bangsanya. Gambaran yang mereka lukis, baik secara nyata di atas kertas maupun dalam benak mereka, adalah sketsa Indonesia versi mereka sendiri.
Sayangnya, suara mereka masih kerap dianggap angin lalu. Narasi pembangunan sering memposisikan anak hanya sebagai objek perlindungan. Mereka dilihat sebagai pihak yang harus dijaga, dirawat, dan diberi pendidikan.
Semua itu memang benar, namun belum cukup. Perlindungan memang hak dasar, tapi lebih dari itu, anak-anak harus diberi ruang untuk berpartisipasi aktif. Mereka bukan sekadar pewaris masa depan, melainkan penggagas masa depan itu sendiri.
Di berbagai forum Parlemen Anak di Indonesia, kita bisa melihat betapa serius dan jernihnya pemikiran anak-anak ketika diberi kesempatan bicara. Mereka menyampaikan harapan tentang sekolah tanpa kekerasan, kampung yang aman, dan udara bersih.
Bahkan, mereka mampu menawarkan solusi nyata atas persoalan di sekitarnya. Seperti ajakan sederhana menjaga kebersihan sekolah, hingga usulan penyediaan ruang baca di desa. Dalam forum itu, anak-anak tidak sekadar bertanya, mereka berpikir dan menawarkan jalan keluar.
Namun ruang-ruang partisipasi anak seperti itu masih sangat terbatas. Baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun pemerintahan daerah, pendapat anak belum sungguh dihargai. Mereka dianggap belum cukup paham untuk bicara soal pembangunan.
Di sinilah kita melakukan kesalahan besar: mengabaikan ide segar dan jujur yang justru bisa memperkaya arah pembangunan kita. Setiap gagasan yang mereka utarakan, sekecil apapun, adalah cermin dari kebutuhan dan impian mereka akan negeri ini.
Anak-anak Indonesia memimpikan negeri yang sederhana namun penuh makna. Dalam sketsa mereka, Indonesia adalah negara yang aman, bersih, ramah, dan damai.
Mereka ingin sekolah yang ramah, guru yang tidak galak, serta taman bermain di setiap kampung. Mereka berharap semua orang bisa hidup berdampingan, tanpa saling membenci meskipun berbeda suku, agama, atau bahasa.
Di sisi lain, mereka juga membayangkan Indonesia yang modern. Ada mobil terbang, rumah pintar, dan robot guru. Namun di antara semua kemajuan itu, mereka tetap ingin masyarakat yang ramah, suka membantu, dan tidak egois. Mereka ingin Indonesia tetap menjadi tempat di mana saling menyapa lebih penting daripada sibuk dengan gawai.
Sketsa masa depan ini seharusnya menjadi panduan bagi kita, orang dewasa. Impian anak-anak adalah cetak biru masa depan Indonesia yang lebih manusiawi.
Sayangnya, terlalu lama kita memosisikan anak sebagai objek pembangunan. Mereka dilindungi, diberi fasilitas, disiapkan menjadi generasi emas. Tetapi jarang kita berpikir untuk melibatkan mereka sejak dini.
Pelibatan anak bukan berarti menyerahkan keputusan besar pada mereka. Tetapi mereka dapat diikutsertakan dalam skala sesuai usia dan kapasitas. Melibatkan anak dalam musyawarah kelas, mengajak mereka merancang kegiatan sekolah, atau meminta usulan mereka saat membangun taman kota, adalah contoh nyata.
Bahkan keterlibatan anak dalam menentukan aturan sederhana di kelas dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap lingkungannya.
Anak-anak bukan sekadar simbol masa depan. Mereka adalah bagian dari masa kini yang sedang berlangsung. Dengan melibatkan anak dalam pembangunan hari ini, kita tidak hanya membangun generasi penerus. Kita sedang membentuk karakter warga negara yang akan menjadi penggerak perubahan di masa depan.
Pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu segera menggeser paradigma. Anak tidak cukup hanya dilindungi. Mereka harus diajak berpikir, didengarkan pendapatnya, dan diberi ruang untuk berpartisipasi.
Dari ruang keluarga, ruang kelas, hingga ruang-ruang kebijakan, suara anak harus dihargai. Perlindungan anak memang syarat dasar. Namun setelah terlindungi, mereka harus diberdayakan.
Sketsa anak tentang Indonesia, bukan sekadar gambar di atas kertas, tetapi sebagai gagasan yang pantas dijadikan referensi bersama. Biarkan mereka menggambar Indonesia versi mereka sendiri, dan tugas kita sebagai orang dewasa adalah membantu mewarnai dan mewujudkan sketsa itu bersama mereka.
Sudah saatnya kita bukan hanya mendengar suara anak-anak, tetapi menggandeng tangan mereka dalam perjalanan mewujudkan Indonesia Emas.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Ketahui Berbagai Efek Sinar Matahari bagi Kesehatan Tubuh
CEK FAKTA: Hoaks! Will Smith Meninggal Dunia
Cara Bijak Orang Tua dalam Memberikan Akses Gadget yang Aman untuk Anak
Rayakan Hari Berkebaya Nasional Lewat Film Pendek #KitaBerkebaya
Atasi Stres Kerja dengan Strategi Sederhana Tapi Efektif
Peran Musik dalam Tumbuh Kembang Anak Menurut Psikolog
Arsenal Kalahkan AC Milan 1-0 di Laga Persahabatan Pra-Musim
Kementan Terus Dorong Realisasi Datangkan 1 Juta Sapi Dalam 5 Tahun
Dinsos Jabar Tegaskan Siswa SLBN A Pajajaran Tetap Bisa Belajar di UPTD Griya Harapan Difabel Cimahi
Resmikan Desa Budaya, Sekda Bondowoso: Generasi Jangan Tercabut dari Akar Budaya