TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada 11 Agustus 2025, sebuah drama moral yang langka terjadi di panggung publik Indonesia. Joao Angelo De Sousa Mota, Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, mengundurkan diri bukan karena skandal korupsi atau tekanan politik, melainkan karena pengakuan yang lahir dari relung kesadaran.
“Pengunduran ini bentuk tanggung jawab saya,” ujarnya. “Saya malu memimpin enam bulan, dan tak bisa berkontribusi.”
Di situlah kata kuncinya: malu. Sebuah emosi yang dalam budaya adiluhung Nusantara dianggap sebagai pagar martabat, kini diucapkan dengan lantang di hadapan publik.
Ini bukan sekadar pengunduran diri, ini adalah pengakuan profesional. Tanpa mencari kambing hitam atau berlindung di balik frasa birokratis, ia menunjuk dirinya sendiri, dan secara tak langsung, menelanjangi sistem yang membuatnya tak berdaya. Dalam lanskap di mana jabatan adalah trofi yang diperebutkan, tindakan Mota adalah sebuah anomali etis.
Pengunduran diri Mota, dalam neraca politik praktis, adalah sebuah kegagalan. Namun, dalam neraca etika publik, itu adalah sebuah kemenangan. Ia mungkin kalah dalam upaya mewujudkan swasembada pangan, tetapi telah memenangkan martabat dalam memegang amanah.
Kita harus jujur mengakui: budaya mundur karena merasa gagal bukanlah hal lazim di panggung kekuasaan kita. Seorang pejabat umumnya baru melepaskan jabatannya saat tersandung jerat hukum atau ketika badai politik tak lagi menyisakan pilihan. Inilah yang membuat tindakan Mota terasa begitu berharga, langka.
Kisah Mota pun menyingkapkan konflik fundamental antara filosofi Satriya dan realitas birokrasi negara. Filosofi Satriya berorientasi pada hasil dan digerakkan oleh semangat (greget). Sebaliknya, birokrasi modern seringkali memprioritaskan prosedur di atas substansi.
Keluhan Mota merupakan deskripsi akurat tentang mesin birokrasi yang telah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Tembok proseduralisme inilah yang memadamkan greget seorang pemimpin. Mota adalah seorang ksatria yang dilumpuhkan oleh labirin birokrasi.
Di Indonesia, sistem pemerintahan tampaknya lebih menghargai loyalitas performatif daripada loyalitas substantif. Loyalitas performatif berarti tetap berada di jabatan, tanpa menimbulkan gelombang, dan menjaga penampilan bahwa semuanya baik-baik saja, terlepas dari hasil nihil.
Sebaliknya, loyalitas substantif, seperti yang ditunjukkan Mota, adalah kesetiaan pada tujuan akhir dari mandat. Untuk setia pada tujuan ini, ia terpaksa harus tidak setia pada proses birokrasi yang melumpuhkannya.
Respons para pemangku kepentingan yang hanya "memproses sesuai ketentuan" menunjukkan betapa efektifnya mekanisme pertahanan sistem ini. Sistem dengan cepat menyembuhkan luka yang ditimbulkan oleh kejujuran Mota, lalu kembali pada inersianya.
Kita ingat seorang pendekar hukum legendaris: Baharuddin Lopa. Kisahnya adalah bukti bahwa idealisme ksatria bukan sekadar utopia. Sebagai Jaksa Agung, semboyannya, "Kendati kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan", ia hidupi hingga akhir hayat.
Dengan keberanian dan kejujuran radikal, Lopa membuktikan karakter individu yang luar biasa dapat menaklukkan sistem yang korup.
Seorang individu setegar Lopa dapat berhasil menjalankan kekuasaan prohibitif karena ia bisa menjadi benteng sendirian. Namun, bahkan individu dengan integritas yang sama tidak akan mampu menjalankan kekuasaan generatif jika ia ditempatkan di tengah padang birokrasi tanpa air dan tanpa bantuan.
Kisah Mota adalah pelajaran pahit bahwa menempatkan benih terbaik di tanah yang tandus hanya akan menghasilkan tunas yang layu. Integritas individu itu mutlak perlu, tetapi ia bukanlah senjata emas jika sistem itu sendiri dirancang untuk gagal.
Mota dan Lopa laksana tunas-tunas hijau yang nekat tumbuh berkembang di gersang birokrasi. Persoalannya kemudian, apakah bangsa ini memiliki kehendak kolektif untuk merawatnya? Apakah kita masih memiliki kebajikan mengenali nilai dari sebuah pengunduran diri terhormat, sama halnya kita merayakan pelantikan yang megah?
Jika kita terus abai terhadap sikap ksatria itu, mungkin kita akan selamanya terjebak dalam sebuah ironi: sebuah bangsa yang kaya akan falsafah kepemimpinan, namun miskin teladan. (*)
***
*) Oleh : Arief Rahzen, Pekerja Budaya yang Meminati Kajian Budaya dan Perubahan Masyarakat di Era Digital.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Banser Jatim Apresiasi Gerak Cepat Polresta Sidoarjo Tangkap Tiga Anggota Grup Medsos LGBT
Pasar Murah di Bantul Diserbu Warga, Harga Beras hingga Minyak Goreng Jauh Lebih Murah
Australia dan Kota Yogyakarta Perkuat Kerja Sama Penanggulangan Bencana, WNA Jadi Perhatian Khusus
Tekan Uang Keluar Daerah, Pemkot Yogyakarta Ajak Warga Nglarisi Produk Lokal
Pemerintah Kucurkan Rp47 Miliar APBN untuk Lahan Proyek JLS Banyuwangi
Pakar Politik UGM: Pilkada Lewat DPRD Berpotensi Kurangi Partisipasi Rakyat
Demi Atasi Stunting, Ibu Hamil Hingga Balita Masuk Penerima MBG
500 Warga Gotong Royong Bersihkan Malioboro, Wisatawan: Sekarang Lebih Nyaman dan Betah
Fraksi PKB Soroti Ketidakseriusan Pemkab Jombang Terjemahkan Visi-Misi Bupati dalam Rancangan Anggaran 2026
Wali Kota Mojokerto Dukung Kader Posyandu Berlomba Perebutkan Juara