TIMESINDONESIA, MALANG – Kemerising jejak kaki dari lamunan mimpi saat hendak menuju ruang yang akan menjadi saksi sumpah dalam jiwa kader. Sebuah momentum yang tidak hanya menandai kelulusan dari proses kaderisasi lanjut, melainkan penegasan identitas seorang Mujtahid Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Sumpah itu diucapkan dua hari setelah sumpah kemerdekaan untuk selamanya kembali mengegelora di usia 80 tahun. Hari yang ditunggu oleh 22 kader yang siap menjadi pelopor kepemimpinan bangsa masa depan.
Bendera PMII di pundak sumpah adalah penanda komitmen, bukan sekadar simbol kebanggaan. Ia memikul beban sejarah panjang organisasi yang lahir dari rahim intelektual muda NU.
Ditempa dalam dinamika bangsa, dan terus berhadapan dengan tantangan zaman. Di dalamnya terjalin ikrar ideologis, amanah kebangsaan, dan tanggung jawab moral yang tidak bisa direduksi menjadi seremoni.
Sumpah kader di hadapan bendera PMII adalah kontrak peradaban. Setiap kata yang terucap menjadi janji untuk menolak penindasan, memperjuangkan keadilan, serta menyalakan api intelektual di ruang-ruang pergerakan.
Bendera itu bukan kain kosong: ia menyimpan jejak pengorbanan, keberanian, dan air mata generasi sebelumnya yang tidak rela melihat bangsa ini dikuasai oligarki, kapitalisme, atau radikalisme ideologis. Maka, ketika bendera itu dipanggul dalam prosesi sumpah, sesungguhnya yang dipikul adalah warisan sejarah sekaligus harapan masa depan.
Makna sumpah kader Mujtahid tidak berhenti pada loyalitas organisasi. Ia adalah ikrar untuk menghidupkan kembali Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dalam praksis sehari-hari.
NDP itu menegaskan bahwa kader harus merdeka dari segala bentuk penindasan, baik politik, ekonomi, maupun budaya. Menyandang bendera PMII di pundak sumpah berarti berjanji menjadikan nilai-nilai itu sebagai pedoman dalam membaca realitas sosial, lalu menegaskan keberpihakan kepada kaum tertindas.
Lebih dari itu, bendera PMII juga melambangkan janji untuk menjaga Aswaja sebagai asas keislaman. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, Aswaja bukan hanya dogma teologis, melainkan metode berpikir yang menekankan keseimbangan, moderasi, dan kebijaksanaan.
Sumpah yang diikrarkan di bawah bendera PMII karenanya menuntut setiap kader untuk menghindari ekstremisme dan intoleransi, sembari merawat keberagaman bangsa dengan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin.
Namun, sumpah akan kehilangan makna bila berhenti pada seremonial. Bendera yang dipanggul di pundak hanya akan menjadi kain simbolik bila kader terjebak dalam romantisme sejarah tanpa keberanian menjawab tantangan kekinian.
Hari ini, wajah ketidakadilan justru banyak tersembunyi di balik politik anggaran, distribusi kekuasaan, dan pertarungan narasi digital. Menjadi kader Mujtahid berarti siap masuk ke ruang-ruang itu, mengurai kepentingan yang bersembunyi, sekaligus menawarkan solusi yang berpihak pada rakyat.
Di pundak sumpah itulah, bendera PMII mengikat setiap kader untuk menolak pasifitas. Dunia terus bergerak dalam pusaran kapitalisme global, hegemoni media, dan krisis demokrasi.
Jika pergerakan mahasiswa hanya berhenti pada teriakan di jalan tanpa analisis mendalam dan strategi konkret, maka sumpah kader hanya akan menjadi gema hampa. Sebaliknya, sumpah itu harus menjadi etos: keberanian melawan ketidakadilan, keteguhan menjaga kebenaran, serta kepekaan merawat yang lemah.
Bendera PMII di pundak sumpah adalah tanda bahwa setiap kader tidak lagi berjalan sendiri. Ia berjalan bersama sejarah, bersama cita-cita, dan bersama umat yang menunggu perubahan.
Setiap langkah pasca-pelantikan dituntut untuk berpijak pada kesadaran ideologis, didorong oleh keberanian moral, dan diarahkan pada kemaslahatan bangsa.
Bendera PMII di pundak sumpah bukanlah akhir dari prosesi kaderisasi, melainkan awal dari perjalanan panjang seorang pelopor. Ia adalah simbol kesetiaan, komitmen perjuangan, dan ikrar untuk menjaga amanah bangsa.
Dalam bendera itu tersemat janji: bahwa kader PMII akan terus berdiri tegak, menyalakan obor pergerakan, dan mengikat sumpahnya dengan pengorbanan nyata di jalan keadilan.
***
*) Oleh : Hainor Rahman, Kader PMII Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Princess Mononoke dari Studio Ghibli Kembali Tayang di IMAX
ITSEC Asia and Qrypt Join Forces to Bring Quantum-Safe Security to Indonesia
Biaya Isbat Nikah Massal di Surabaya Tanpa Bebankan APBD
Kejari Rote Ndao Tetapkan Dua Tersangka di Kasus Korupsi UPI
Kemenperin Jajal Lineup GAC Indonesia di GIIAS Surabaya 2025
BAHU NasDem Soroti Aksi Demo Gubernur Jatim, Pemakzulan Tak Bisa Lewat Jalanan
16 Pejabat Pemkab Mojokerto Dirotasi, Berikut Daftarnya
Kejuaraan Dunia Voli Putra U-21 2025, Timnas Indonesia Hajar Puerto Riko 3-0
Perang City Car Listrik Memanas, BYD Atto 1 Jadi Senjata di GIIAS Surabaya
Australia Hentikan Langkah Timnas Putri Indonesia U-16 di Semifinal ASEAN Championship 2025