TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia sering disebut negeri zamrud khatulistiwa. Tanahnya subur, air melimpah, lautnya luas, dan sinar matahari hadir sepanjang tahun. Sebuah anugerah geografis yang seharusnya menempatkan kita sebagai lumbung pangan dunia.
Ironisnya, di balik puja-puji itu, rak-rak pasar masih banyak diisi beras impor, bawang impor, bahkan kedelai untuk tempe pun sebagian besar datang dari negeri seberang. Pertanyaan besar pun muncul: di mana letak ketahanan pangan kita? Apakah jargon “kedaulatan pangan” hanya manis di bibir, sementara perut bangsa ini tetap ditopang impor?
Ketahanan pangan yang kerap dijadikan alat kampanye politik sejatinya bukan sekadar soal produksi. Ia adalah soal rantai pasok: bagaimana pangan diproduksi, disimpan, didistribusikan, hingga akhirnya bisa diakses masyarakat dengan harga terjangkau.
Pemerintah sering bangga dengan angka surplus beras, tapi pada saat bersamaan Bulog membuka keran impor jutaan ton. Bukankah itu kontradiktif? Jika kita benar surplus, mengapa harus bergantung pada beras dari Thailand atau Vietnam?
Di sinilah letak rapuhnya manajemen pangan kita. Rantai pasoknya compang-camping, dari hulu hingga hilir. Petani seringkali dipaksa menjual gabah dengan harga rendah karena tidak ada jaminan penyerapan yang layak.
Sementara itu, ketika harga di tingkat konsumen melonjak, justru kebijakan impor dijadikan jalan pintas. Akhirnya, yang tertindas tetaplah petani kecil yang ironisnya justru menjadi tulang punggung ketahanan pangan bangsa.
Kita juga harus jujur mengakui bahwa diversifikasi pangan tak pernah benar-benar berjalan. Program substitusi beras dengan singkong, sagu, atau jagung hanya berhenti di seminar dan brosur pemerintah. Padahal, jika ketahanan pangan dimaknai lebih luas, ia tidak melulu beras.
Sumber karbohidrat di bumi Nusantara melimpah, hanya saja tak diberi ruang serius dalam kebijakan. Lagi-lagi, ketahanan pangan disempitkan pada komoditas tunggal: beras. Maka tak heran, setiap kali stok beras goyah, negara panik dan buru-buru mengimpor.
Ketergantungan pada impor juga memperlihatkan bahwa kita belum mampu membangun kedaulatan pangan sejati. Bayangkan, tempe makanan rakyat yang begitu merakyat bahan bakunya mayoritas kedelai impor dari Amerika Serikat.
Gula pun sering harus ditambal dari India atau Brasil. Garam, yang seharusnya mudah diproduksi di negeri maritim, justru diimpor dalam jumlah besar. Ironi semacam ini menunjukkan betapa kita belum serius menggarap sektor pangan sebagai bagian dari strategi besar pembangunan nasional.
Apakah semua ini bisa disebut keberhasilan pemerintah? Tentu saja tidak. Program ketahanan pangan hanya akan menjadi jargon kosong jika kita masih bergantung pada kapal-kapal impor untuk mengisi kebutuhan dapur.
Pemerintah memang bisa berdalih bahwa impor adalah solusi darurat demi menjaga stabilitas harga. Namun, solusi darurat yang diulang-ulang tanpa ada strategi jangka panjang, pada akhirnya hanya memperlihatkan kegagalan perencanaan.
Lebih jauh, masalah pangan ini tak bisa dipisahkan dari politik anggaran. Anggaran besar kerap digelontorkan untuk program pangan, tapi efektivitasnya dipertanyakan. Proyek food estate, misalnya, digadang-gadang sebagai jawaban jangka panjang.
Tapi faktanya, banyak lahan food estate yang terbengkalai, bahkan gagal panen. Petani lokal tak dilibatkan secara utuh, dan kebijakan lebih didikte oleh kepentingan jangka pendek. Alhasil, proyek ini lebih mirip etalase politik daripada solusi nyata.
Di sisi lain, kita juga perlu melihat bahwa pangan bukan sekadar soal produksi dan distribusi, tapi juga soal kedaulatan. Negara yang tidak mampu mengendalikan pangannya akan mudah didikte oleh kepentingan global.
Bayangkan, jika pasokan beras dunia terganggu atau negara pengekspor menghentikan ekspornya, apa yang bisa kita lakukan? Tanpa cadangan kuat dan rantai pasok yang mandiri, bangsa ini akan kelabakan.
Di titik ini, masa depan ketahanan pangan kita sangat ditentukan oleh keberanian politik. Berani memberi insentif pada petani kecil, berani memperbaiki tata kelola distribusi, berani mengurangi ketergantungan pada impor, dan berani mendiversifikasi pangan lokal. Ketahanan pangan tidak bisa dibangun dengan seremonial panen raya di depan kamera. Ia butuh kerja panjang, konsisten, dan berpihak pada petani serta rakyat kecil.
Pangan adalah soal hidup dan mati sebuah bangsa. Bung Karno pernah berkata, “Berdikari dalam pangan adalah syarat mutlak sebuah negara merdeka.” Sayangnya, kita seperti semakin jauh dari cita-cita itu. Jika pemerintah masih sibuk memoles citra melalui proyek-proyek instan, sementara petani terus merana dan impor terus mengalir, maka ketahanan pangan hanya tinggal slogan.
Kini waktunya kita bertanya: apakah Indonesia akan terus bangga sebagai negeri kaya sumber daya alam tapi tetap mengimpor pangan pokok? Atau berani melakukan lompatan besar menuju kedaulatan pangan sejati?
Masa depan pangan kita bukan ditentukan oleh pasar dunia, tapi oleh pilihan politik bangsa ini. Dan selama pilihan itu lebih berpihak pada kepentingan sesaat ketimbang rakyat, kita hanya akan terus kenyang dengan janji, lapar dalam kenyataan.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif 2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Bali Dinyatakan Berstatus Darurat selama Sepekan
Antara Ijazah dan Lapangan Kerja yang Tak Nyata
Skandal Dana Diklat PKN Tingkat II: Pejabat Pemkot Banjar Terlibat Dugaan Penilepan Rp125 Juta
Uji Kelayakan Calon Hakim Agung, Anggota DPR Tanya Diana Malemita Ginting soal Pajak Karbon
Banjir Bali, Tim SAR Gabungan Evakuasi 142 Korban Selamat
Livoli Divisi Utama 2025, LavAni Kembali Menangkan Laga Kedua
PORDA XVII DIY Resmi Dibuka di Gunungkidul, Bupati Sleman Targetkan Juara Umum Empat Kali Beruntun
Dishub Jatim: Koridor VII Trans Jatim Siap Beroperasi Oktober 2025
Kritik Ketua HMI Kota Banjar terhadap Rencana Pengadaan Mobil Dinas Pemkot Banjar
Uang Negara Nganggur di BI Rp425 T, Menkeu Purbaya: Itu Biang Sulitnya Cari Kerja!