TIMESINDONESIA, MALANG – Satu per satu mahasiswa diwisuda. Jas toga berkibar, senyum merekah, dan foto bersama keluarga memenuhi media sosial. Namun setelah pesta itu usai, banyak di antara mereka harus menghadapi kenyataan getir: ijazah tak serta-merta membuka pintu pekerjaan.
Inilah drama lama yang terus berulang kesenjangan antara dunia pendidikan dan lapangan kerja di Indonesia yang seolah tak pernah selesai.
Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi dapur pencetak sumber daya manusia unggul, kerap gagal membaca kebutuhan nyata dunia kerja. Alih-alih menyiapkan mahasiswa agar siap menghadapi perubahan zaman, banyak kampus justru masih terjebak pada tradisi kurikulum usang, sibuk dengan seremoni, dan lupa bahwa tujuan akhirnya adalah mencetak manusia yang bisa hidup layak dan produktif.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka masih didominasi lulusan perguruan tinggi, terutama diploma dan sarjana. Ironis, bukan? Orang tua susah payah membiayai kuliah anaknya dengan harapan kelak mereka mendapat pekerjaan lebih baik, justru malah menghadapi kenyataan bahwa sarjana menganggur menjadi fenomena baru.
Apa yang salah? Pertama, ada persoalan klasik: kurikulum yang tak nyambung dengan kebutuhan pasar kerja. Dunia industri, teknologi, dan bisnis berubah begitu cepat, tetapi kampus bergerak lamban.
Jurusan-jurusan masih banyak yang sekadar mengulang teori, sementara keterampilan praktis yang dibutuhkan di lapangan diabaikan. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi sering gagap ketika masuk dunia kerja, karena apa yang dipelajari di bangku kuliah tidak bisa langsung diimplementasikan.
Kedua, perguruan tinggi sering salah kaprah memahami makna “link and match.” Mereka membayangkan cukup menggelar seminar bersama perusahaan atau meneken MoU dengan industri, lalu mengklaim sudah selaras dengan pasar kerja.
Padahal, link and match yang sejati adalah transformasi kurikulum, metode belajar, hingga sistem magang yang terstruktur sehingga mahasiswa benar-benar punya pengalaman nyata sebelum masuk dunia kerja.
Ketiga, budaya akademik yang masih menempatkan gelar lebih tinggi daripada keterampilan. Lulusan dipacu untuk mengejar IPK tinggi, skripsi tebal, dan gelar panjang, tetapi ketika menghadapi wawancara kerja, banyak yang terjegal pada pertanyaan sederhana: “Apa keterampilan praktis yang bisa Anda tawarkan?”
Sayangnya, kampus jarang memberi ruang bagi mahasiswa untuk mengasah soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, kreativitas, atau kemampuan beradaptasi.
Kita juga tak bisa menutup mata pada faktor struktural. Lapangan kerja di Indonesia memang belum tumbuh secepat jumlah lulusan perguruan tinggi. Namun, masalah ini menjadi semakin parah karena kampus tidak pernah melakukan proyeksi serius terhadap kebutuhan tenaga kerja nasional.
Misalnya, apakah benar Indonesia butuh lebih banyak sarjana hukum atau ekonomi dibanding tenaga vokasi yang terampil di bidang teknologi digital, energi terbarukan, atau agribisnis modern? Ketidakseimbangan inilah yang membuat banyak lulusan terjebak dalam situasi over-supply.
Ironinya, banyak perguruan tinggi lebih sibuk mengejar akreditasi dan citra kelembagaan ketimbang memikirkan nasib lulusannya. Indikator keberhasilan kampus masih sebatas jumlah mahasiswa baru yang diterima, bukan berapa banyak alumni yang terserap dalam dunia kerja dengan layak.
Seakan-akan setelah ijazah diberikan, tanggung jawab kampus pun selesai. Padahal, di era globalisasi ini, reputasi sebuah universitas justru diukur dari daya saing alumninya di pasar kerja, bukan sekadar jumlah publikasi dosen atau ranking di daftar internasional.
Lalu bagaimana solusinya? Pertama, perguruan tinggi harus berani melakukan reformasi kurikulum secara radikal. Setiap program studi wajib melakukan evaluasi berkala, menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, bahkan berani menutup jurusan yang tidak lagi relevan.
Tidak semua kampus harus punya semua jurusan. Lebih baik fokus pada bidang yang benar-benar bisa memberi dampak nyata dan membuka peluang kerja.
Kedua, praktik kerja nyata dan magang harus dijadikan bagian inti dari proses pendidikan, bukan sekadar formalitas. Mahasiswa perlu terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan dunia industri, dan belajar menghadapi tantangan nyata. Dengan begitu, mereka tidak hanya pandai di atas kertas, tetapi juga tangguh di lapangan.
Ketiga, kampus harus menanamkan budaya kewirausahaan. Dunia kerja tidak lagi bisa sepenuhnya disandarkan pada lowongan formal yang terbatas.
Mahasiswa harus dibekali kemampuan menciptakan peluang, bukan sekadar mencari pekerjaan. Skill digital, inovasi produk, hingga akses ke jaringan bisnis lokal maupun global harus menjadi menu utama di perguruan tinggi.
Keempat, perguruan tinggi perlu membangun sistem tracer study yang serius. Data tentang alumni harus dijadikan dasar untuk mengevaluasi kualitas pendidikan. Jika ternyata banyak lulusan menganggur atau bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan studinya, itu alarm keras bahwa ada yang keliru dalam sistem pendidikan.
Dan terakhir, pemerintah juga punya peran penting. Kebijakan pendidikan tinggi tidak boleh hanya soal subsidi atau akreditasi, tetapi juga soal integrasi dengan rencana pembangunan nasional.
Negara harus memastikan ada peta jalan jelas antara output perguruan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja, sehingga lulusan tidak lagi bingung mencari jalan hidupnya.
Pendidikan tinggi tidak boleh berhenti pada seremoni wisuda. Ia harus memastikan bahwa setiap lulusan benar-benar bisa berdiri tegak di atas kakinya sendiri. Jika perguruan tinggi masih abai membaca kebutuhan zaman, maka ijazah hanya akan menjadi selembar kertas mahal tanpa makna.
Dan di situlah, sekali lagi, rakyat kecil harus menanggung beban paling berat: sudah membayar mahal untuk pendidikan, tetapi tetap harus berjuang keras untuk sekadar mendapat pekerjaan yang layak.
Negara boleh berbangga dengan angka partisipasi kuliah yang tinggi. Kampus boleh sibuk berpromosi tentang fasilitas baru dan ranking internasional. Tetapi yang paling penting, apakah lulusan mereka benar-benar mampu menjawab tantangan kehidupan? Jika tidak, maka pendidikan tinggi hanya akan melahirkan generasi yang kecewa terjebak dalam janji, tetapi kehilangan harapan.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Prediksi CIES: Liverpool Kandidat Terkuat Juara Liga Inggris, Peluang Manchester United Hanya 2,6 Persen
Canon EOS C50, Kamera Sinematik untuk Sineas Pro Maupun Konten Kreator
Hati-Hati, Anak Loyo dan Sering Ngompol Bisa Jadi Tanda Diabetes!
Bukan Kaleng-kaleng, Harga Mulai Rp325 Juta: AION UT Punya Garansi Seumur Hidup!
Mimpi Menjadi Negara Paripurna
Bali Dinyatakan Berstatus Darurat selama Sepekan
Antara Ijazah dan Lapangan Kerja yang Tak Nyata
Skandal Dana Diklat PKN Tingkat II: Pejabat Pemkot Banjar Terlibat Dugaan Penilepan Rp125 Juta
Uji Kelayakan Calon Hakim Agung, Anggota DPR Tanya Diana Malemita Ginting soal Pajak Karbon
Banjir Bali, Tim SAR Gabungan Evakuasi 142 Korban Selamat