TIMESINDONESIA, PADANG – Sebuah unggahan di media sosial beberapa waktu lalu menyita perhatian. Seorang tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil membagikan pengalaman pilu: terpaksa menggunakan air galon untuk mandi.
Unggahan itu bukan sekadar keluh kesah, melainkan potret buram ketimpangan akses air bersih di negeri yang dikelilingi lautan dan dialiri ribuan sungai.
Ini bukan tentang kemewahan, tapi tentang kebutuhan paling dasar yang harus diperjuangkan dengan susah payah. Bahkan jutaan, warga Indonesia di pelosok yang setiap hari berjibaku untuk sekadar mendapat setetes air bersih.
Belakangan, isu sulitnya mendapatkan air bersih kembali jadi pembicaraan publik setelah media ramai memberitakan pengalaman seorang pejabat tinggi yang ketika melakukan kunjungan ke daerah terpencil, sempat mengalami langsung keterbatasan air hingga harus mandi dengan air galon.
Terlepas dari pro dan kontra yang muncul di media sosial, peristiwa itu menyoroti fakta bahwa kesenjangan akses air bersih bukan sekadar masalah warga pelosok. Tetapi sudah menjadi persoalan nasional yang bisa dirasakan siapa pun, bahkan tamu negara dengan segala fasilitas protokoler.
Bagi warga kota, air galon adalah sumber air minum. Namun di sejumlah wilayah terpencil, air dalam kemasan 19 liter itu menjadi komoditas serbaguna yang sangat berharga: untuk minum, memasak, mencuci, bahkan mandi. Sumber air terdekat kerap berjarak beberapa kilometer dengan medan terjal, dan kualitasnya sering keruh serta tidak layak konsumsi.
Menampung air hujan hanya menjadi pilihan saat musim penghujan; di musim kemarau, harapan itu lenyap. Akibatnya, banyak keluarga sepenuhnya bergantung pada pasokan air galon yang mungkin baru datang seminggu sekali.
Biaya yang harus dikeluarkan tidak kecil. Di berbagai pelosok, harga air galon bisa melonjak hingga dua kali lipat dibandingkan di kota besar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar satu keluarga, minimal dibutuhkan beberapa galon per minggu. Artinya, pengeluaran bulanan untuk air dapat menyedot porsi pendapatan yang signifikan angka yang berat bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Kisah semacam ini adalah cermin kegagalan sistemik dalam penyediaan air bersih. Data Bappenas pada 2022 mencatat bahwa sekitar 90 persen rumah tangga Indonesia telah memiliki akses terhadap sumber air minum layak.
Namun, angka yang tampak tinggi itu menyesatkan bila disamakan dengan akses air minum aman. Standar “aman” menuntut kualitas air bebas kontaminasi dan tersedia secara berkelanjutan di rumah; capaian kategori ini masih jauh lebih rendah dan kesenjangannya mencolok antara perkotaan dan pedesaan.
Program pemerintah yang membangun jaringan perpipaan atau sumur bor kerap terkendala pemeliharaan, pendanaan operasional, dan minimnya pemberdayaan masyarakat. Tak sedikit inisiatif penyediaan air bersih akhirnya mangkrak karena masalah teknis dan kelembagaan.
Keterbatasan air bersih bukan sekadar soal sulitnya mandi. Dampaknya berlapis dan menghantam sendi kehidupan yang paling mendasar. Dari sisi kesehatan, praktik higienitas yang buruk membuka pintu bagi wabah penyakit; diare masih menjadi salah satu penyebab kematian balita di wilayah dengan akses air dan sanitasi yang buruk.
Secara sosial, beban untuk mengambil air sering jatuh kepada anak perempuan, yang terpaksa menempuh perjalanan jauh dan kehilangan waktu belajar atau beristirahat.
Sementara itu, beban ekonomi meningkat karena keluarga harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan hanya untuk membeli air dana yang seharusnya bisa digunakan untuk pendidikan, nutrisi, atau modal usaha. Waktu yang habis untuk mengantre dan mengambil air juga menggerus produktivitas.
Di tengah kemarau panjang, para pakar menekankan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, bukan sekadar proyek fisik jangka pendek. Pembangunan infrastruktur seperti pipanisasi atau sistem penyaringan air harus disertai transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat.
Keterlibatan warga sejak tahap perencanaan hingga pemeliharaan menjadi kunci keberlanjutan. Teknologi yang diterapkan pun harus sesuai dengan kondisi lokal, mudah dirawat, dan ramah lingkungan.
Teknologi sederhana seperti penampung air hujan dengan sistem filtrasi dasar bisa menjadi solusi jangka pendek di daerah bercurah hujan tinggi. Untuk wilayah kering, teknologi pengolahan air payau bertenaga surya dapat menjadi alternatif, meski biaya awalnya relatif besar.
Yang terpenting, pemerintah perlu memiliki peta jalan yang jelas dengan target terukur, anggaran memadai, dan mekanisme pemantauan yang transparan agar wilayah rawan air bisa diprioritaskan.
Kisah tenaga kesehatan yang mandi dengan air galon dan pengalaman serupa yang belakangan juga dirasakan oleh pejabat tinggi negara adalah sebuah peringatan keras. Di balik gegap gempita pembangunan infrastruktur megah, masih ada Indonesia lain yang berjuang demi hak paling mendasar: air bersih.
Sebuah kebutuhan pokok yang seharusnya tidak menjadi kemewahan, dan sudah semestinya dijamin bagi setiap warga negara. Sudah saatnya janji “air bersih untuk semua” tidak lagi tenggelam dalam kemarau panjang birokrasi dan ketidakpedulian.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Livoli Divisi Utama 2025, Petrokimia Pastikan Satu Tempat di Final Four
Kurikulum yang Tak Pernah Tenang
Sarasehan Bersama Media, Pemkab Malang Ajak Peran Pers Angkat Potensi Daerah
Sapa Penyintas Banjir di Bali, Menag Nasaruddin Berikan Bantuan Rp300 Juta
LMI Rayakan 30 Tahun Perjalanan Filantropi Lewat Humanitarian Concert for Freedom
Telan Anggaran Puluhan Miliar, DLHK Awasi Ketat Pembangunan Alun-alun Sidoarjo
Hampir Jadi Korban TPPO, Tiga Calon PMI Nonprosedural Asal Kota Banjar dan Ciamis Dipulangkan
Rehabilitasi Mangrove Banyuwangi, Jaga Ekosistem Sekaligus Bangkitkan Ekonomi Pesisir
Kisah Gus Nasrul di Kalteng Ingatkan Banyak Umat Salah Kaprah Mencintai Nabi di Era Modern
Raib Selama Dua Tahun, Polsek Rogojampi Berhasil Kembalikan Motor Korban Penggelapan di Banyuwangi