TIMESINDONESIA, JAKARTA – Reformasi administrasi perpajakan memasuki babak baru dengan hadirnya Coretax Administration System atau disingkat Coretax. Sistem yang diatur melalui PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Administrasi Perpajakan ini akan menjadi tulang punggung pelaporan pajak nasional. Mulai Januari 2026, seluruh Wajib Pajak (WP) wajib menyampaikan SPT Tahunan 2025 melalui sistem Coretax.
Jika pada pelaporan tahun 2024 WP masih dapat menggunakan e-filing atau e-form, maka tahun depan menjadi masa transisi penting menuju ekosistem perpajakan digital yang sepenuhnya terintegrasi.
Meski batas akhir pelaporan belum berubah akhir Maret untuk WP Orang Pribadi dan akhir April untuk WP Badan perubahan sistem ini menuntut kesiapan dan adaptasi lebih awal dari semua pihak.
Langkah untuk memasuki era Coretax adalah melakukan aktivasi akun dan pembuatan kode otorisasi. Aktivasi ini ibarat membuat kunci digital untuk membuka pintu rumah baru bernama Coretax. Tanpa aktivasi akun, WP tidak akan dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya di sistem baru.
Hingga September 2025, data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan dari 14,3 juta WP yang wajib lapor SPT Tahunan, baru sekitar 2,37 juta atau 16,56% yang mengaktifkan akun Coretax.
Sedangkan WP yang sudah membuat kode otorisasi atau sertifikat elektronik baru mencapai 1,02 juta. Angka ini menunjukkan tingkat partisipasi yang masih rendah dan menjadi pekerjaan besar bagi DJP untuk mendorong percepatan aktivasi menjelang akhir 2025.
Kondisi ini memperlihatkan dua hal penting. Pertama, masih lemahnya kesadaran digital perpajakan masyarakat.
Kedua, perlunya strategi komunikasi publik yang lebih masif dan persuasif. Kampanye literasi pajak digital perlu diperluas, tidak hanya melalui media sosial dan media massa, tetapi juga lewat sinergi antarinstansi, baik pemerintah maupun swasta.
Pendekatan ke WP Badan dengan jumlah karyawan besar, misalnya, bisa menjadi langkah efektif untuk mempercepat aktivasi akun secara kolektif dan mengurangi potensi lonjakan antrean layanan di KPP.
Menurut data DJP per 15 September 2025, jumlah WP yang wajib melaporkan SPT Tahunan 2025 mencapai 19,7 juta. Dari jumlah itu, SPT Tahunan 2024 yang telah dilaporkan hingga tahun 2025 sebanyak 14,3 juta. Namun, angka ini justru turun 2,35% dibanding tahun sebelumnya.
Jika dirinci, SPT Badan tumbuh positif 1,80%, sedangkan SPT Orang Pribadi justru mengalami kontraksi dengan pertumbuhan negatif 2,35%. Angka tersebut memberi sinyal bahwa kepatuhan pajak masih fluktuatif, bahkan menurun di beberapa sektor.
Di sinilah Coretax diuji. Sistem baru ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, serta akurasi pelaporan. Namun di sisi lain, keandalan sistem dan kemudahan penggunaannya menjadi faktor krusial. Meski telah berjalan hampir setahun, sejumlah WP masih menemui kendala teknis, mulai dari kesulitan login hingga akses fitur yang belum sepenuhnya optimal.
DJP perlu memastikan sistem ini tidak hanya canggih di atas kertas, tetapi juga ramah pengguna. Membuka ruang masukan publik melalui kanal resmi, memperbanyak simulasi pelaporan, serta menyediakan layanan helpdesk yang cepat tanggap menjadi bentuk akuntabilitas digital yang harus terus diperkuat.
Transformasi digital perpajakan sejatinya bukan sekadar pembaruan sistem, tetapi pembaruan paradigma. Kepatuhan pajak tidak dapat tumbuh dari rasa takut akan sanksi, melainkan dari kepercayaan dan kemudahan yang dirasakan WP dalam menjalankan kewajibannya.
Coretax akan menjadi cermin keberhasilan reformasi pajak Indonesia apabila ia mampu menghadirkan pengalaman yang sederhana, aman, dan transparan bagi masyarakat. Sebab dalam dunia digital, pelayanan yang rumit justru bisa menjadi tembok baru yang menghalangi kepatuhan.
Reformasi pajak bukan hanya soal mengganti sistem, tetapi soal membangun budaya kepatuhan yang lahir dari rasa percaya antara negara dan warganya. Dengan sistem yang andal dan pendekatan yang inklusif, 2026 bisa menjadi tahun di mana kepatuhan pajak benar-benar tumbuh dari kesadaran, bukan keterpaksaan.
***
*) Penulis: Artinita Monowida, Penyuluh Pajak, Kanwil DJP Jakarta Utara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Tingkatkan Kepercayaan Tamu, Java Lotus Hotel Jember Raih Sertifikat Halal MUI
Polisi di Banyuwangi Kawal Program MBG, Pastikan Anak Dapat Gizi Seimbang
Pemerintah Siapkan Hotline untuk Pengaduan Ponpes yang Rawan Ambruk
LBH GP Ansor Kota Malang Jelaskan Alasan Dampingi Sahara dalam Kasus dengan Yai MIM
Keadilan Hukum di Mata Para Korban
Cegah Tragedi Terulang, Menko Muhaimin Akan Audit Ponpes Tua
Menag RI Ajak Para Santri Kirim Doa untuk Korban Ponpes Al Khoziny
Seven Lakes Festival 2025 Digelar di Probolinggo, Angkat Harmoni Lereng Argopuro
Pemkab Gresik Gandeng Industri untuk Wujudkan Daerah Bebas TBC, 945 Warga Berhasil Sembuh
Pemkot Malang Akan Verifikasi Izin dan Bangunan Seluruh Ponpes dan Masjid