TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa waktu lalu, sekitar jam 9 malam, sebagai jam yang rawan ketiduran atau bahkan tiba-tiba cek out saya mencari hiburan murah dengan scroll di media sosial sebelum tidur. Namun tidak lama kemudian, ada iklan parfum yang saya inginkan.
Tidak lama kemudian, fokus saya di medsos beralih menjadi scroll di menu belanja platform yang bekerja sama dengan “toko ijo”, tidak sampai setengah jam saya kaget, ternyata keranjang saya dipenuhi dengan parfum pilihan, alat perkakas, alat elektronik hingga beberapa buku yang sedang viral.
Semua hasil rekomendasi teratas, saya sebelumnya hanya berniat melihat parfum namun entah bagaimana mereka tahu saya sedang membutuhkan barang-barang tersebut yang bahkan saya belum mengutarakan ke siapapun.
Namun saya menduga, rekomendasi tersebut berdasarkan riwayat tontonan saya yang sempat berhenti sejenak di beberapa video yang memperlihatkan saya butuh barang-barang tersebut.
Momen di atas terasa seperti cermin, bukan saya yang menentukan apa yang saya lihat atau beli, tetapi data yang menentukan siapa saya dan apa keputusan yang saya ambil termasuk dalam urusan berbelanja.
Fenomena “rekomendasi” ini melampaui sekadar cek out biasa, saya melihat ini sebagai pergeseran kekuasaan yang sunyi, di mana algoritma telah berevolusi dari sekadar alat menjadi sebuah arsitek kognitif.
Secara tidak sadar, algoritma perlahan mengambil alih navigasi kehidupan modern mulai dari apa yang kita konsumsi, dengan siapa berinteraksi hingga pandangan dunia yang kita anut.
Algoritma rekomendasi di pasar digital modern bertanggung jawab atas sebagian besar transaksi. Saya mencoba melihat data McKinsey Global Institute yang pernah merilis bahwa lebih dari 35% pembelian di platform Amazon didorong oleh rekomendasinya.
Sedangkan platform film Netflix mengklaim 80% acara atau film yang ditonton pengguna berasal dari rekomendasi mereka. Angka ini menunjukkan bahwa bukan lagi iklan banner atau papan nama toko yang berpengaruh, melainkan prediksi matematis tentang hasrat kita.
Kurasi Realitas dan Filter Gelembung
Algoritma melalui koneksi data historis dan perilaku real time, telah menciptakan hiper-personalitas yang mereka tidak hanya melakukan antisipasi terhadap kehidupan kita namun juga secara aktif membentuknya.
Fenomena ini menciptakan suatu jebakan “keinginan yang terprediksi” yang saya bahkan sebagian besar manusia percaya bahwa kita sedang berburu suatu barang, padahal sejatinya kita adalah hewan buruan yang sedang dibidik oleh sensor termal.
Platform-platform mencoba menyajikan versi terbaik dari diri kita yang mudah dikomersialisasi, dan akhirnya menenggelamkan kita dalam lautan kenyamanan konsumsi.
Dampak algoritma menjadi lebih mengkhawatirkan ketika ia memasuki ruang sosialisasi dan informasi. Di platform media sosial, algoritma diranca untuk memaksimalkan “waktu menonton” pengguna atau biasa dikenal time spent yang sering kali dicapai dengan memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat baik kemarahan, kegembiraan, atau persetujuan yang penuh gema.
Secara struktural, algoritma bersosialisasi bekerja layaknya “gelembung filter”, sebuah konsep yang dipopulerkan Eli Pariser seorang aktivis asal Amerika. Ia menyebutkan kita hanya disajikan informasi dan opini yang cenderung mengonfirmasi keyakinan kita sendiri.
Jika saya menyukai sebuah konten A, maka rekomendasi konten semua A dan anti konten B. Konsekuensinya, algoritma tidak hanya melakukan kurasi feed kita namun juga realitas politik dan sosial.
Ia memfragmentasi publik menjadi kelompok ideologis yang terisolasi, untuk menerima nuansa atau bahkan sekadar mengakui eksistensi pandangan yang berbeda. Terkadang dunia sosial kita menjadi serangkaian echo chamber yang dirancang oleh sebuah kode.
Transfer Otoritas dan Kontrol Tak Terlihat
Saya mencoba melihat lebih dekat, algoritma saat ini menjadi penentu dalam keputusan hidup yang lebih krusial. Sistem algoritma digunakan dalam seleksi pinjaman bank, perekrutan karyawan, hingga penentuan risiko kriminalitas. Di sini, otoritas keputusan secara efektif ditransfer dari manusia ke mesin yang ironisnya sering kali tidak transparan dan akuntabel.
Mengapa terlihat sangat berpengaruh? Karena secara tidak sadar, saya dan pengguna media baru secara kolektif bergantung pada algoritma. Kita memasuki era panopticism digital. Dan ini sangat relevan dengan teori Panoptik yang dikembangkan oleh filsuf asal Prancis, Michel Foucault.
Foucault menggambarkan Panoptik sebagai model penjara yang melingkar dan memungkinkan satu penjaga dua menara tengah untuk mengamati semua narapidana di sel-sel sekitar tanpa narapidana harus tahu kapan mereka sedang diawasi. Konsep tersebut menciptakan efek paling penting yaitu narapidana harus mengatur perilaku mereka sendiri dan bertindak seolah-olah mereka selalu diawasi.
Dalam konteks algoritma, saya dan semua pengguna dianggap sebagai narapidana dan platform adalah menara pengawasnya. Meskipun kita tidak melihat “penjaga”, kita tahu bahwa setiap klik, setiap pandangan, setiap jeda kita dicatat dan dianalisis.
Kesadaran ini memicu koreksi otomatis perilaku, mulai kita memodifikasi diri, bahkan dalam beberapa keputusan penting agar sesuai dengan parameter yang kita yakini akan disukai algoritma (seperti mendapatkan pekerjaan yang cocok atau melihat konten yang kita butuhkan).
Seperti apa yang disampaikan oleh Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism, otoritas kini dialihkan ke entitas yang “mengetahui” kita lebih baik dibandingkan diri kita sendiri dengan tujuan mengekstrasi surplus perilaku untuk keuntungan.
Zuboff menyatakan “Jika data diekstraksi tanpa sepengetahuan Anda, itu adalah kebohongan. Jika itu diekstraksi tanpa campur tangan Anda, itu adalah penyalahgunaan. Dan jika itu dilakukan untuk memprediksi dan memengaruhi masa depan Anda, itu adalah pengawasan.” Inilah yang terjadi ketika keputusan penting kita serahkan kepada prediksi kode.
Selain diri sendiri, saya pun melihat fenomena di mana pemerintah mengambil sebuah keputusan berdasarkan Algoritma, jika suatu kebijakan dianggap oleh masyarakat tidak relevan dan algoritma mendukung penolakan, maka kebijakan bisa saja batal. Begitu juga pada keputusan hukum sehingga kita mengenal istilah No Viral, No Justice.
Kita harus mempertanyakan apakah takdir ditulis oleh kode? Algoritma, meski secara teknis adalah mesin prediksi dan perlahan berubah menjadi semacam robot di kepala kita yang menentukan selera, pandangan politik dan bahkan peluang ekonomi. Kekuatan ini tidak terletak pada kecerdasan buatan itu sendiri, akan tetapi pada ketidakseimbangan kekuasaan yang tercipta dari pengumpulan data masif yang tidak terlihat.
Jalan keluarnya bukan kita antipati atau bahkan membuang teknologi, tetapi harus mulai membangun kesadaran kritis dan menyadari bahwa kenyamanan personalisasi selalu datang dengan harga otonomi diri.
Kita harus sadar dan menuntut transparansi, akuntabilitas dan yang paling penting kendali atas cermin digital yang selama ini terlalu jujur atau bahkan manipulatif dalam menunjukkan siapa diri kita sendiri.
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Rambut Beruban Bentuk Pertahanan Alami Terhadap Risiko Kanker
The Adventures of Cliff Booth Tayang Lebih Awal dari Narnia
Film 'Pangku' Raih Tujuh Nominasi FFI 2025
Purbaya Tegaskan Pajak Baru Tunggu Ekonomi RI Tumbuh 6 Persen
Rute Baru Incheon–Manado Buka Gerbang Wisatawan Korea ke Sulut
Lewat CSR, Jepara Serius Jadikan Donorojo Sentra Bandeng Unggulan
Purbaya Akhiri Burden Sharing dengan BI
BEI Gandeng S&P Luncurkan 3 Indeks Baru, Bidik Investor Global
Lestari Moerdijat Ajak Masyarakat Tingkatkan Literasi Statistik demi Kemajuan Daerah
Eddy Soeparno: Semangat Sumpah Pemuda Harus Diwujudkan dengan Aksi Nyata Menjaga Bumi