TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap bulan Oktober, media sosial ramai dengan ucapan “Selamat Hari Sumpah Pemuda.” Tapi setelah tanggal 28 lewat, apakah kita masih memikirkan makna sumpah itu?
Salah satu poin terpenting dari ikrar 1928 adalah bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Dulu, bahasa ini menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan. Namun kini, di tengah derasnya arus digital, ia sedang diuji di tanahnya sendiri.
Bagi generasi muda, terutama Gen Z, Bahasa Indonesia sering terasa seperti bahasa upacara: sopan, formal, tapi agak jauh dari keseharian. Di chat, TikTok, dan Instagram, bahasa campuran sudah jadi norma.
Kata “healing,” “vibes,” dan “self-love” mungkin lebih populer daripada “menyembuhkan diri” atau “mencintai diri sendiri.” Ini bukan sekadar soal selera gaya bicara, tapi soal arah berpikir kita. Sebab, bahasa bukan cuma alat bicara, tapi juga alat membentuk kesadaran.
Bahasa yang Terdesak di Negeri Sendiri
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2024) mencatat bahwa penutur Bahasa Indonesia kini mencapai lebih dari 300 juta orang di dunia.
Di sisi lain, survei literasi digital menunjukkan penggunaan bahasa campuran dan istilah asing meningkat signifikan di kalangan anak muda. Fenomena ini menandakan ada pergeseran: Bahasa Indonesia bukan kehilangan pemakainya, tapi kehilangan posisi terhormatnya di ruang publik digital.
Ketika konten viral lebih banyak berbahasa asing, secara tak sadar kita sedang menggeser nilai-nilai bahasa kita sendiri. Bahasa Indonesia yang dulu menjadi alat perjuangan kini terpinggirkan oleh algoritma.
Bahasa memiliki fungsi sosial yang besar: membangun kesetaraan, memperluas akses informasi, dan menjaga empati. Bahasa yang sederhana dan jernih bisa membuat kebijakan publik mudah dipahami rakyat, sedangkan bahasa yang rumit bisa menciptakan jarak antara pemerintah dan masyarakat.
Bahasa yang baik bukan berarti kaku. Bahasa yang adil tidak selalu baku. Bahasa yang memanusiakan adalah bahasa yang mampu mendengar dan menyapa.
Di media sosial, kita sering melihat betapa bahasa bisa menyakiti: komentar yang merendahkan, ujaran kebencian, atau candaan yang seksis. Padahal, dengan kata-kata yang sama, kita juga bisa menyembuhkan dan menumbuhkan harapan.
Sebagai aktivis gender, saya percaya bahasa adalah bagian penting dari perjuangan kesetaraan. Banyak ketimpangan berawal dari cara kita menamai sesuatu.
Ketika perempuan disebut “emosional” sementara laki-laki disebut “tegas,” di situ bahasa sedang bekerja dalam diam untuk menciptakan ketimpangan makna. Maka menjaga Bahasa Indonesia berarti juga menjaga keadilan sosial di tingkat makna.
Bahasa yang inklusif dan bebas bias adalah bagian dari pembangunan berkelanjutan, sejalan dengan SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dan SDG 5 (Kesetaraan Gender).
Dengan bahasa yang adil, perempuan, anak, dan kelompok marjinal dapat memahami hak-haknya dan menyuarakan pengalaman hidupnya. Bahasa bukan hanya urusan komunikasi, tapi juga urusan keadilan.
Menjaga Bahasa Indonesia bukan berarti menolak globalisasi. Kita tidak bisa menutup diri dari istilah asing yang melekat pada teknologi dan budaya digital. Tetapi yang penting adalah bagaimana kita menempatkan Bahasa Indonesia agar tetap relevan dan hidup di tengah perubahan.
Anak muda punya peran besar di sini. Kita bisa membuat Bahasa Indonesia terasa keren tanpa kehilangan maknanya. Misalnya, lewat konten kreatif di TikTok, podcast berbahasa Indonesia, atau tulisan pendek di media sosial yang reflektif. Bahasa Indonesia harus dibawa ke ruang-ruang digital yang paling ramai, karena di situlah masa depan percakapan bangsa berlangsung.
Sekolah, kampus, dan lembaga publik juga perlu memodernisasi cara mengajarkan bahasa. Bahasa Indonesia bukan hanya soal ejaan dan struktur, tetapi juga etika dan empati dalam berkomunikasi.
Bayangkan jika setiap murid tidak hanya tahu menulis dengan benar, tapi juga belajar menulis dengan hati, maka ruang digital kita akan jauh lebih sehat.
Menjaga Bahasa Indonesia bukan tugas pemerintah semata. Ini tanggung jawab kita bersama terutama generasi muda yang menjadi penentu arah budaya digital. Setiap kata yang kita tulis, setiap kalimat yang kita bagikan, adalah kontribusi kecil untuk menjaga warisan besar bangsa ini.
Bahasa Indonesia bukan sekadar alat bicara, tetapi cermin cara kita berpikir, berempati, dan bernegara. Bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan untuk menghidupkan pengetahuan, keadilan, dan kasih di antara manusia.
Maka, ketika kita memilih berbicara dan menulis dalam bahasa sendiri, kita sesungguhnya sedang memperpanjang usia bangsa.
Karena bahasa bukan hanya tentang kata, tetapi tentang cara kita mencintai. Dan menjaga bahasa adalah bentuk paling sederhana dari mencintai Indonesia.
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.idBaca juga: Krisis Empati Pejabat Publik
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
The Adventures of Cliff Booth Tayang Lebih Awal dari Narnia
Film 'Pangku' Raih Tujuh Nominasi FFI 2025
Purbaya Tegaskan Pajak Baru Tunggu Ekonomi RI Tumbuh 6 Persen
Rute Baru Incheon–Manado Buka Gerbang Wisatawan Korea ke Sulut
Lewat CSR, Jepara Serius Jadikan Donorojo Sentra Bandeng Unggulan
Purbaya Akhiri Burden Sharing dengan BI
BEI Gandeng S&P Luncurkan 3 Indeks Baru, Bidik Investor Global
Lestari Moerdijat Ajak Masyarakat Tingkatkan Literasi Statistik demi Kemajuan Daerah
Eddy Soeparno: Semangat Sumpah Pemuda Harus Diwujudkan dengan Aksi Nyata Menjaga Bumi
Lestari Moerdijat Dorong Ekonomi Sirkular sebagai Strategi Pembangunan Nasional