TIMESINDONESIA, SURABAYA – Hari Santri setiap 22 Oktober bukan sekadar momentum mengenang perjuangan masa lalu, tetapi juga ajakan untuk menafsirkan kembali makna kemerdekaan dalam konteks kekinian. Jika dahulu para kiai dan santri berjuang dengan senjata dan fatwa untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, maka kini mereka dihadapkan pada medan jihad baru, kemerdekaan ekonomi umat.
Dalam era globalisasi dan disrupsi teknologi, ketergantungan ekonomi dapat menjadi bentuk penjajahan baru yang tidak kasat mata. Kuasa kapital global, dominasi produk asing, dan budaya konsumtif telah menciptakan ketimpangan baru di tengah masyarakat Muslim. Karena itu, kemerdekaan sejati tidak cukup hanya di bidang politik. Ia menuntut kemandirian di bidang ekonomi.
Di sinilah pesantren memainkan peran strategis. Tradisi keilmuannya yang kokoh, moralitasnya yang tinggi, dan jejaring sosialnya yang luas menjadikannya kekuatan sosial yang unik dalam membangun fondasi ekonomi umat.
Pesantren tidak sekadar tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga laboratorium sosial tempat santri belajar tentang kemandirian, keikhlasan, dan kerja kolektif. Nilai-nilai inilah yang menjadi modal spiritual untuk membangun ekonomi umat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Pesantren masa kini tidak hanya menjadi pusat tafaqquh fiddin (pendalaman agama), tetapi juga berkembang menjadi pusat tafaqquh fitijarah atau tafaqquh fil iqtishodiyah (pemahaman ekonomi dan perniagaan yang berlandaskan nilai Islam).
Kiai bukan hanya guru spiritual, tetapi juga pembimbing ekonomi; sementara santri menjadi generasi baru pelaku usaha yang beretika dan berdaya saing. Dengan demikian, pesantren tidak lagi berada di pinggiran arus ekonomi nasional, melainkan menjadi aktor utama dalam pemberdayaan ekonomi berbasis nilai-nilai Islam.
Dari Jihad Kemerdekaan ke Jihad Kemandirian
Semangat jihad yang dahulu menegakkan kemerdekaan politik kini bertransformasi menjadi jihad kemandirian ekonomi. Di berbagai daerah, geliat pesantren entrepreneurship semakin nyata dan menjadi bukti bahwa ekonomi dapat tumbuh tanpa meninggalkan nilai-nilai spiritual.
Di Jawa Timur, misalnya, Pesantren Sidogiri dengan produk Air Santri dan jaringan ritel Toko Basmalah berhasil membangun model bisnis berbasis keumatan yang memberdayakan ribuan alumni dan masyarakat sekitar.
Pesantren Sunan Drajat di Lamongan pun tampil sebagai pionir pesantrenpreneur dengan beragam unit usaha: air minum Airdrat, produksi songkok, sarung, jus mengkudu, minyak goreng, beras, alas kaki, restoran, serta pusat ritel Tosebra yang menjadi destinasi belanja santri dan masyarakat sekitar.
Masih di Jawa Timur, Pesantren Mukmin Mandiri di Sidoarjo mengembangkan agrobisnis kopi yang telah menembus pasar ekspor ke Malaysia dan Australia, melibatkan banyak santri dan warga sekitar dalam rantai produksinya.
Di Jawa Barat, Pesantren Al-Ittifaq menjadi pelopor agribisnis hortikultura dan koperasi santri yang memasok sayur-mayur segar ke jaringan ritel nasional. Sementara di Jawa Tengah, Pesantren API Tegalrejo mengembangkan unit pengolahan sampah produktif yang menjadi model ekonomi sirkular berbasis pesantren.
Program-program tersebut bukan hanya berorientasi profit, tetapi juga pendidikan karakter dan tanggung jawab sosial bagi santri; menanamkan nilai bahwa kebersihan, kemandirian, dan keberlanjutan adalah bagian dari ibadah. Inilah bentuk nyata dari ekonomi spiritual, di mana kegiatan bisnis dijalankan dengan niat ibadah dan semangat maslahat.
Geliat serupa mulai muncul di berbagai daerah lain di Indonesia. Meski skalanya berbeda-beda, arah gerakannya sama: menjadikan pesantren sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat. Inilah bukti bahwa pesantren bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga lokomotif transformasi ekonomi berbasis spiritualitas yang menumbuhkan kemandirian dan martabat bangsa.
Pesantrenpren Entrepreneurship sebagai Jalan Kemerdekaan Ekonomi
Secara teoritik, transformasi ini sejalan dengan konsep entrepreneurial ecosystem; bahwa kewirausahaan tumbuh ketika ada nilai budaya, dukungan kelembagaan, akses pembiayaan, dan jaringan sosial yang saling menguatkan.
Pesantren memiliki seluruh unsur dasar itu: nilai, komunitas, dan kepemimpinan moral. Yang kini diperlukan adalah peningkatan kapasitas manajerial, akses permodalan yang inklusif, serta dukungan digitalisasi ekonomi pesantren agar jangkauan pasarnya semakin luas.
Tiga langkah strategis dapat memperkuat peran pesantren entrepreneurship dalam kemerdekaan ekonomi: Pertama, penguatan kurikulum kewirausahaan berbasis nilai Islam. Pembelajaran tentang manajemen, literasi keuangan, dan pemasaran digital perlu diintegrasikan dalam kurikulum pesantren tanpa mengurangi ruh keagamaannya.
Kedua, penciptaan akses pembiayaan dan kemitraan inklusif. Pemerintah dan lembaga keuangan syariah perlu memfasilitasi pembiayaan mikro, koperasi santri, serta kemitraan dengan dunia usaha dan perguruan tinggi.
Ketiga, digitalisasi ekosistem pesantren. Branding produk halal, sertifikasi mutu, dan pemasaran berbasis platform digital akan membuka akses pasar yang lebih luas, bahkan lintas negara.
Selain itu, penting pula membangun jejaring antar-pesantren melalui asosiasi dan konsorsium bisnis santri. Kolaborasi lintas wilayah dapat memperkuat daya tawar ekonomi dan menciptakan rantai pasok nasional berbasis pesantren. Dengan demikian, santri tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan bergerak dalam satu ekosistem ekonomi umat yang terintegrasi.
Kemandirian ekonomi pesantren sejatinya adalah bagian dari maqashid syariah (menjaga harta dan kemaslahatan umat). Ketika santri menjadi pelaku ekonomi produktif, mereka tidak sekadar berbisnis, melainkan sedang melanjutkan makna jihad dalam bentuk baru: jihad kemandirian yang menegakkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
KH Hasyim Asy’ari pernah menegaskan bahwa membela tanah air adalah bagian dari iman. Kini, membela tanah air juga berarti memerdekakan ekonomi umat dari ketergantungan.
Dalam semangat itu, peran kiai, santri, dan pesantren bukan hanya bagian dari sejarah kemerdekaan, tetapi juga fondasi bagi masa depan bangsa yang berdaulat secara ekonomi, berdaya secara spiritual, dan bermartabat di hadapan dunia.
***
*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar Kewirausahaan Universitas Negeri Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Banjir Bandang Terjang Ratusan Rumah di Desa Sukalaksana Garut
BRI Kucurkan Rp104,4 Miliar untuk Dukung Program Makan Bergizi Gratis
Dukung Wakaf dan Zakat, Ma’ruf Amin Apresiasi Langkah Wartawan
Batu AR Adventure: Serunya Menaklukkan Alam Coban Talun di Atas Roda
Rupiah Digital Siap Meluncur, Uang Masa Depan Buatan Bank Indonesia
Keadilan Berlabuh, Kisah Andri Wijanarko dan Pertarungan Melawan Tuduhan TPPO
Babak Baru Penataan Bomero Citywalk, PKL Diminta Segera Tempati Kios Pasar Induk Cianjur
Livoli Divisi I Tahun 2025 , Delapan Tim Putra dan Putri Maju ke Perempat Final
Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi di Ponpes Darurrahman Sumenep, Ingatkan Pentingnya Barokah dalam Ilmu
Motor Brebet Massal, DPRD Jatim Desak Transparansi Kualitas Pertalite