TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam politik, kekuasaan sering kali tampak seperti permainan catur: ada strategi, ada langkah licik, dan ada korban yang dikorbankan demi kemenangan. Namun, yang lebih berbahaya dari itu semua adalah ketika kekuasaan berjalan tanpa kendali moral, tanpa koreksi nurani, dan tanpa keberanian rakyat untuk bersuara. Saat itu terjadi, rezim berubah menjadi entitas yang hidup atas kehendaknya sendiri bukan atas mandat rakyat.
Rezim berbuat sesuai kehendak adalah tanda kemerosotan demokrasi. Ia muncul ketika kekuasaan tidak lagi tunduk pada hukum, melainkan hukumlah yang tunduk pada kekuasaan. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan publik seringkali ditetapkan bukan karena kepentingan rakyat banyak, tetapi karena kepentingan segelintir elite yang sedang berkuasa. Aparat negara menjadi instrumen, bukan penjaga nilai. Hukum menjadi alat legitimasi, bukan ruang keadilan.
Fenomena ini bukan sekadar cerita lama yang berulang, melainkan wajah baru dari kekuasaan yang bersembunyi di balik retorika modern. Demokrasi hari ini tidak lagi dirobohkan lewat senjata, melainkan dijinakkan lewat narasi dan pencitraan. Rezim tidak lagi menakuti rakyat dengan kekerasan, tapi menidurkannya dengan kenyamanan semu—disuguhkan lewat media, subsidi, dan jargon kesejahteraan yang mengaburkan akal sehat.
Kekuasaan yang berbuat sesuai kehendaknya selalu memulai langkahnya dengan menguasai tafsir. Tafsir atas hukum, atas kebenaran, bahkan atas sejarah. Segala kritik diredam dengan dalih stabilitas, sementara keberanian berbicara dianggap ancaman.
Padahal, esensi demokrasi adalah ruang perbedaan yang hidup. Ketika perbedaan dianggap dosa, maka sesungguhnya negara sedang menuju otoritarianisme yang halus dihiasi senyum, tapi mengandung racun pembungkaman.
Kita hidup di zaman ketika rakyat seolah punya suara, tapi tidak punya daya. Pemilu digelar, tetapi hasilnya sudah diarahkan oleh jaringan kekuasaan yang tertata rapi. Kebijakan disusun, tapi tidak menyoal kepentingan publik, melainkan bagaimana menjaga sumbu kekuasaan tetap menyala. Dalam konteks seperti ini, rakyat hanya dijadikan angka, bukan subjek.
Rezim yang berbuat sesuai kehendaknya biasanya gemar membungkus kebijakannya dengan alasan moral. Demi pembangunan, demi stabilitas, demi kepentingan nasional. Padahal, di balik slogan itu tersembunyi upaya mempertahankan privilese dan jaringan kepentingan ekonomi-politik. Pembangunan dijadikan tameng, sementara keadilan sosial dikesampingkan.
Ironinya, masyarakat kerap ikut terseret dalam permainan wacana. Ada yang membela tanpa tahu substansi, ada yang diam karena takut, dan ada yang lelah karena berpikir takkan ada perubahan. Padahal, sejarah menunjukkan: tidak ada kekuasaan yang abadi, dan tidak ada tirani yang tak bisa runtuh. Yang membuat tirani bertahan hanyalah diamnya rakyat dan lemahnya ingatan.
Ketika rezim berbuat sesuai kehendak, yang pertama dikorbankan adalah akal sehat publik. Rakyat dipaksa untuk percaya bahwa yang salah bisa dibenarkan, bahwa penyimpangan bisa disebut kebijakan, dan bahwa pengkhianatan bisa dibungkus loyalitas. Inilah titik paling berbahaya dari demokrasi yang kehilangan jiwanya saat rakyat mulai terbiasa pada kebohongan yang sistematis.
Kita bisa belajar dari banyak bangsa. Di mana kekuasaan tidak lagi diimbangi moralitas, negara hanya akan menghasilkan elitisme dan kesenjangan. Demokrasi tanpa nilai hanyalah dekorasi. Pemilu tanpa pilihan sejati hanyalah ritual. Pembangunan tanpa nurani hanyalah statistik yang menipu. Maka, tugas terbesar intelektual, mahasiswa, dan masyarakat sipil hari ini adalah menjaga agar akal sehat tidak mati.
Kita tidak butuh rezim yang serba benar. Kita butuh pemimpin yang berani dikoreksi. Sebab koreksi bukan bentuk permusuhan, melainkan tanda bahwa rakyat masih peduli. Pemerintahan yang sehat justru tumbuh dari kritik, bukan dari tepuk tangan yang dibuat-buat. Rezim yang berbuat sesuai kehendaknya mungkin bisa mengatur hukum, media, bahkan opini publik, tapi tidak akan pernah bisa mengatur kesadaran sejarah.
Kekuasaan adalah amanah, bukan alat mengatur kehendak pribadi atau kelompok. Ia seharusnya berjalan dengan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan empati terhadap rakyat kecil. Ketika rezim mulai menjauh dari prinsip itu, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan yang hidup dari ketakutan rakyatnya.
Dalam kondisi demikian, setiap warga negara perlu sadar bahwa demokrasi bukan barang yang dijaga oleh lembaga, tapi oleh keberanian individu untuk berkata benar. Sebab sekali kebenaran dikorbankan atas nama stabilitas, maka yang lahir bukan kedamaian, melainkan ketakutan kolektif.
Rezim yang berbuat sesuai kehendak mungkin bisa menulis sejarah, tapi tidak bisa menghapus kenyataan. Ia bisa mengatur narasi, tapi tidak bisa menundukkan nurani.
Sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani bersuara di saat banyak orang memilih diam. Dan di titik itulah, suara rakyat kembali menemukan maknanya sebagai sumber tertinggi dari kebenaran politik yang sejati.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Editor | : Hainorrahman |
Series Reply Direncanakan Garap Musim Baru dengan Latar Tahun 2000-an
Bukan Sekadar Model, Jejak Salma Risya Menginspirasi Generasi Muda
Lima Oknum Santri Jadi Tersangka Kasus Pengeroyokan Warga di Cianjur
UI, Komoenitas Makara, dan Urban Spiritual Indonesia Kenang dan Beri Penghormatan pada Pahlawan Rakyat
Siapa Pahlawan Kita Hari Ini?
Komisi XIII Perkuat Perlindungan Saksi dan Korban, Targetkan Jadi Hak Inisiatif DPR Akhir Tahun Ini
Menkeu Purbaya Bicara Penguatan dan Ketahanan Ekonomi
PAD Surabaya Direncanakan Rp8,198 Triliun, Ini Strategi Jitu Wali Kota Eri Cahyadi Genjot Pendapatan
Polri Temukan Bahan Peledak di Rumah Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta
Polri Bongkar Diduga Jaringan Besar Penyelundupan Bawang Impor di Malang