TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Pengibaran dan pembentangan Bendera One Piece semakin merak di tengah momen Peringatan HUT ke-80 RI. Pengibaran bendera yang ada pada anime Jepang itu, dimaksudkan sebagai bentuk protes atas kondisi negara yang dinilai tidak baik-baik saja.
Menanggapi fenomena tersebut. Pengamat Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Ahmad Sirajuddi M.MT menjelaskan, jika diamati generasi muda sekarang atau gen Z lebih relate sama simbol-simbol budaya populer buat mennyalurkan aspirasi mereka.
Dalam tiga tahun terakhir kata dia, hampir semua kritik atau aspirasi ke pemerintah selalu dibalut dengan simbol tertentu. Contohnya, simbol Garuda biru saat gerakan Indonesia Darurat, Garuda hitam saat gerakan Indonesia Gelap, simbol “Wakanda Forever" yang dipopulerkan oleh film Black Panther saat Gerakan menyuarakan keadilan dalam proses pemilu, dan yang baru baru ini adalah bendera one piece menjelang peringatan HUT RI ke 80.
Dosen Manajemen Teknologi, Adopsi Inovasi itu memaparkan, sejumlah simbol budaya pop juga pernah digunakan sebagai aksi protes di berbagai negara. Seperti topeng Guy Fawkes dari Komik V for Vendetta di Inggris, yang diadopsi oleh gerakan Occupy Wall Street pada 2011 sebagai lambang antiotoritarian dan perlawanan terhadap kapitalisme.
Kemudian salam “Wakanda Forever” di Amerika digunakan sebagai simbol solidaritas dan kebanggaan identitas kulit hitam, termasuk saat selebrasi gol oleh pemain Arsenal, Aubemeyang, untuk menghormati mendiang Chadwick Boseman.
“Serta salam tiga jari (three-finger salute) dari The Hunger Games yang digunakan demonstran Thailand antara 2014–2020 untuk menuntut kebebasan, demokrasi, dan hak politik,” katanya, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, jika merujuk pada teori encoding–decoding dari Stuart Hall (1973), fenomena bendera One Piece ini bisa dikatakan seperti cara orang melakukan encoding alias memberi “kode” pesan politik memakai simbol yang relate dengan anak muda alias gen Z. Mereka memilih simbol pop culture karena punya daya tarik emosional, cerita yang kuat, dan bikin rasa satu kelompok semakin solid.
“Nah, bendera One Piece sendiri bukan hanya jadi ikon dunia anime, tapi juga sudah mengandung makna baru sebagai simbol kebebasan, keterbukaan, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan solidaritas sesama nakama (kelompok),” paparnya.
Melalui simbol-simbol tersebut kata dia, masyarakat sipil menyampaikan aspirasi mulai dari penolakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemberantasan korupsi hingga ke akar, penolakan nepotisme, penegakan prinsip demokrasi, penegakan hukum yang berkeadilan, hingga perlindungan HAM.
Berbagai tuntutan tersebut dinilai relevan hingga saat ini, Semua poin itu masih relevan sampai sekarang. Termasuk bendera One Piece, simbol bendera ini mirip dengan simbol-simbol gerakan sebelumnya, bedanya ini lebih menempel di hati para Gen Z. Secara hukum pun sah, sebab itu bagian dari hak warga negara buat menyampaikan aspirasi.
Dalam perspektif Islam lanjut dia, penyampaian kritik sosial dan aspirasi politik termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yakni menyerukan kebaikan dan mencegrah kemungkaran (QS Ali Imron 110).
Sedangkan penggunaan simbol fiksi sebagai media komunikasi politik, seperti bendera One Piece, dapat dipandang sebagai bentuk bahasa visual untuk menyampaikan pesan moral berbasis value atau “bil hikmah” (QS An Nahl: 125), serta menjadi bagian dari upaya kreatif untuk menyuarakan keadilan dan kebebasan dengan cara yang lembut dan tidak memvonis atau “qoulan layiina” (QS Thoha: 44).
“Asalkan tidak memicu tindakan provokasi, perpecahan, dan disparitas bangsa, serta dilaksanakan dengan niat, metode, dan tujuan yang sejalan dengan nilai Pancasila, kebinekaan, dan semangat nasionalisme,” tegas anggota Lingkar Kajian Strategis UIN KHAS Jember tersebut.
Salah satu contoh aksi yang dinilai tidak sejalan dengan nilai Pancasila, kebinekaan, dan semangat nasionalisme adalah ketika bendera One Piece dikibarkan sejajar dengan bendera Merah Putih, apalagi dikibarkan di satu tiang.
“Nah, ini salah satu sikap yang tidak mencerminkan etika bernegara dan dirasa kurang pantas,” imbuhnya.
Ia juga memaparkan, bahwa dalam konteks kenegaraan, Bendera Merah Putih merupakan simbol resmi negara yang dilindungi UU Nomor 24 Tahun 2009. Cara menaruh, mengibarkan, sampai posisi penempatannya sudah diatur sama protokol kenegaraan.
Jadi kata dia, masalahnya bukan pada bendera One Piece-nya, tetapi pada pelanggaran tata cara dan etika pengibaran bendera negara. Adapun komunikasi politik memakai simbol- simbol pop culture sah-sah aja, karena itu bagian dari kebebasan berekspresi, seperti yang dilakukan Ustad Felix Siauw bersama kreator Koiyocabe saat membawa bendera One Piece di Taman Ekspresi Sempur, Bogor (10/08/2025).
“Aksi tersebut dinilai masih etis karena tidak melibatkan pengibaran sejajar dengan bendera negara, Sebagai homo symboliticum, manusia memang akrab dengan penggunaan simbol, namun kita harus tahu batasannya. Jangan sampai simbol yang kita gunakan merendahkan atau menyinggung kehormatan simbol negara,” pungkasnya.(*)
Pewarta | : Moh Bahri |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Banser Jatim Apresiasi Gerak Cepat Polresta Sidoarjo Tangkap Tiga Anggota Grup Medsos LGBT
Pasar Murah di Bantul Diserbu Warga, Harga Beras hingga Minyak Goreng Jauh Lebih Murah
Australia dan Kota Yogyakarta Perkuat Kerja Sama Penanggulangan Bencana, WNA Jadi Perhatian Khusus
Tekan Uang Keluar Daerah, Pemkot Yogyakarta Ajak Warga Nglarisi Produk Lokal
Pemerintah Kucurkan Rp47 Miliar APBN untuk Lahan Proyek JLS Banyuwangi
Pakar Politik UGM: Pilkada Lewat DPRD Berpotensi Kurangi Partisipasi Rakyat
Demi Atasi Stunting, Ibu Hamil Hingga Balita Masuk Penerima MBG
500 Warga Gotong Royong Bersihkan Malioboro, Wisatawan: Sekarang Lebih Nyaman dan Betah
Fraksi PKB Soroti Ketidakseriusan Pemkab Jombang Terjemahkan Visi-Misi Bupati dalam Rancangan Anggaran 2026
Wali Kota Mojokerto Dukung Kader Posyandu Berlomba Perebutkan Juara