TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah denyut kota Malang yang kian modern, pada Minggu pagi (10/8/2025), derap langkah ratusan kaki terdengar menyusuri jalan, trotoar, pasar, dan gang kecil. Mereka adalah para pejalan dari Footish, komunitas yang lahir bukan sekadar untuk berolahraga, tetapi juga untuk menghidupkan kembali budaya berjalan kaki di kota ini.
Di balik semarak langkah-langkah para peserta, terselip kisah sederhana dua sahabat: Bondan Sekaringadi dan Ahmad Budi Fathoni. Tahun 2020, saat pandemi covid-19 melanda, keduanya sempat terinfeksi virus tersebut. Setelah pulih, Bondan berkeinginan kembali menekuni hobinya bersepeda. Namun, ia merasa tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Ia pun mencari alternatif olahraga yang lebih ringan, lalu mengajak Ahmad Budi Fathoni untuk berjalan kaki setiap Senin pagi pukul 09.00.
Jam yang dipilih memiliki alasan sederhana yaitu berolahraga sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menjadi salah satu anjuran kesehatan di masa pandemi. Awalnya, kegiatan ini hanya mereka lakukan berdua. Sesekali, keduanya membagikan cerita dan foto di media sosial. Tak disangka, unggahan sederhana itu memancing minat beberapa teman untuk ikut bergabung.
Ketiga orang hebat dibalik komunitas Footish, Bondan Sekaringadi, Ahmad Budi Fathoni, dan Eko Ari Purwoko. (FOTO: Tasya Luthfiany Widyadhana/TIMES Indonesia)
Dari sinilah lahir Footish Malang, sebuah akun Instagram yang awalnya digunakan untuk menyuarakan kondisi infrastruktur Malang yang cukup memprihatinkan, terutama trotoar dan jalan yang rusak. Nama Footish sendiri terinspirasi dari istilah Foodies (pecinta kuliner) yang kemudian dimodifikasi menjadi Footish (pecinta jalan kaki) lengkap dengan tagline “Melihat Malang Dari Dekat”.
Tagline ini berangkat dari pengalaman mereka selama berjalan, ketika pandangan mata menangkap sudut-sudut kota yang jarang terjamah banyak orang seperti gang-gang kecil yang membelah kampung, aliran sungai, hingga rumah-rumah berarsitektur klasik yang menyimpan cerita masa lalu. Sesuatu yang tak akan begitu terasa jika hanya melintas dengan kendaraan.
Kegiatan Footish mula-mula digelar pada Selasa dan Kamis, demi menghindari keramaian. Tapi justru kebijakan Work From Anywhere (WAF) pasca pandemi membuat jumlah peserta kian ramai. Akhir 2020, Bondan bertemu Eko Ari Purwoko yang memiliki ide program “Jalan Kaki Antar Negara Dalam Kota”, sebuah konsep menelusuri banyak sudut Malang melalui rute variatif. Dari kebiasaan berjalan 10 kilometer, mereka kemudian memadatkan rute menjadi 8 kilometer atau sekitar 10.000 langkah, menyesuaikan dengan minat peserta yang semakin membludak serta menajaga keamanan mereka.
Lambat laun, Footish menjadi fenomena di kalangan masyarakat Malang. April 2025, jumlah peserta kian bertambah di setiap minggunya. Salah satu titik balik terjadi ketika tautan grup WhatsApp mereka unggah di bio Instagram yang akhirnya tersebar luas di media sosial. Dalam hitungan hari, ratusan orang mengikuti grup tersebut untuk mendapatkan info terkait kegiatannya.
Pada Kamis, (1/5/2025) yang bertepatan dengan libur nasional, antusiasme peserta memuncak. Jumlah peserta membludak hingga tiga kali lipat dari biasanya, mencapai sekitar 600 peserta yang membanjiri titik kumpul di Alun-alun Malang. Demi menjaga kelancaran dan kenyamanan perjalanan, panitia membagi peserta menjadi tiga kloter dengan arah rute berbeda: selatan, utara, dan barat.
Perjalanan bersama peserta Footish di sekitar area Kayutangan Heritage pada Minggu pagi (10/8/2025). (FOTO: Tasya Luthfiany Widyadhana/TIMES Indonesia)
Tak hanya peserta yang antusias dengan kegiatan ini, warga setempat pun menyambut dengan senyum, sapaan, hingga pertanyaan hangat. Salah satu kebiasaan yang selalu mereka terapkan adalah setiap kali bertemu warga, mereka mengucapkan “nuwun sewu” sebagai ungkapan sopan santun khas Jawa yang kini perlahan memudar.
Bondan berharap, kebiasaan berjalan kaki tidak hanya dilakukan saat bersama komunitas Footish, tetapi juga menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Ia juga menekankan pentingnya perbaikan infrastruktur Kota Malang, khususnya fasilitas pejalan kaki. “Seandainya infrastruktur oke, transportasi publik oke, pastinya jalan kaki menjadi pilihan," ujarnya.
Eko menambahkan, persoalan utama bukan pada kemauan masyarakat untuk berjalan kaki, melainkan pada kondisi trotoar yang kerap tidak memadai. “Khawatirnya, bukannya jadi sehat malah berisiko cedera atau sakit,” jelasnya.
Sementara itu, Antoni berharap kegiatan ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk membiasakan berjalan kaki, khususnya bagi peserta Footish. “Kalau teman-teman Footish jarak rumahnya dekat, lebih baik langsung jalan kaki saja menuju titik kumpulnya untuk mengurangi kebutuhan lahan parkir,” pesannya.
Bagi Footish, jalan kaki bukan sekadar olahraga. Komunitas ini mengajak kita untuk bergerak, menyapa dan melihat Malang dari dekat. Seperti yang mereka katakan, mager bukan singkatan dari malas gerak, tapi mari gerak. (*)
Pewarta | : Tasya Luthfiany Widyadhana [MBKM] |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Sambutan Hangat Bupati Kediri Saat Bertemu Pengidolanya Anak MTs di Ruang Kerjanya
8 Tahun Berkiprah, Dafam Pacific Caesar Surabaya Komitmen Pelayanan Prima untuk Masyarakat
50 Tahun Diplomasi: Indonesia dan Peru Bersatu Melawan Perdagangan Narkotika
Mengaku Gagal Beri Kontribusi bagi Petani, Joao Mota Mundur dari Jabatan Direktur Utama Agrinas
Koptu Laminto Harumkan Nama Kodim 0818 Kabupaten Malang-Batu di Paralayang Danlanud Iswahyudi Cup 2025
Tugu Tirta Kota Malang Hadiahkan Bibit Pohon Tabebuya di 1 Dekade TIMES Indonesia
Dikeluhkan Pengendara, Warga Minta Jalan Pertigaan Gapura Ujungpangkah Diperbaiki
Satpol PP Kota Malang Bakal Tegur Pemilik ‘Starling’ Agar Tak Ganggu Jalan Saat Berjualan
Jabatan Dirut KBS Kosong, Eri Cahyadi Inginkan Sosok Inovatif dan Kapabilitas
Jejak Korupsi PJU, Kejari Cianjur Geledah Rumah Tersangka DG