TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pada 80 tahun silam, Hotel Yamato Surabaya menjadi panggung sejarah yang tak terlupakan. Dari atap bangunan megah itu, keberanian arek-arek Suroboyo meledak dalam aksi heroik.
Para pemuda dengan gagah berani merobek bendera Belanda yang berkibar, mencabik warna biru, lalu melemparkannya ke tanah. Yang tersisa hanyalah Merah Putih, lambang kemerdekaan yang mereka pertahankan dengan jiwa dan raga.
Arek-arek Suroboyo tentu tidak ingin melupakan peristiwa bersejarah itu begitu saja. Untuk mengenang tindakan kepahlawanan tersebut, setiap tahun digelar teatrikal perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato, yang kini bernama Hotel Majapahit.
Pertunjukan ini menghadirkan rangkaian adegan, mulai dari kedatangan tentara Belanda, pidato Residen Soedirman, dialog antara Residen Soedirman dan pihak Belanda, hingga puncak perlawanan arek-arek Suroboyo yang berujung pada perobekan bendera merah-putih-biru.
Tahun ini, pada 21 September 2025, insiden tersebut direkonstruksikan kembali. Sebuah pertunjukan sarat nilai historis itu digelar megah, menampilkan banyak seniman, mulai dari pertunjukan musik keroncong, penampilan teatrikal perobekan bendera, pembacaan puisi, hingga aksi dari paskibraka yang dipadukan dengan koreografi tari.
Tak kalah meriahnya, kala orang nomor satu di Pemkot Surabaya, Eri Cahyadi selaku wali kota turut serta dalam pertunjukan tersebut dengan memerankan tokoh Residen Soedirman.
Masyarakat Surabaya tentu tak ingin terlewat pegalaran ini. Sejak pukul 6 pagi mereka yang datang berbondong-bondong dengan teman, sanak saudara bahkan pasangan, sudah memadati kawasan sekitar hotel.
Seperti tak ingin terlewat momentum dan turut memeriahkan teatrikal ini, sejumlah penonton kompak kenakan baju adat. Dengan balutan kebaya yang anggun, dan gagahnya sujan lurik, mereka tidak gentar walau dihujam teriknya matahari pagi tadi.
Salah satu penonton, Diva dan kawan-kawannya dari SMAN 22 Surabaya mengungkapkan bahwa, mereka sengaja memakai kebaya dikarenakan, ingin turut memeriahkan walau tak terlibat langsung dalam pertunjukan tersebut dan momentumnya pun dirasa pas untuk mengenakan kebaya.
"Kebaya ini tu nyaman untuk digunain, jadi aku merasa bahwa, masih cocok-cocok aja untuk dibuat OOTD di acara yang kaya gini. Terlebih lagi ini salah satu gerakan mencintai budaya kan," ungkapnya dengan penuh semangat.
Keisya penonton lainnya, berujar bahwa dia memang suka mengenakan kebaya dalam berbagai acara. "Kebaya for life, everyday is kebaya," ujarnya.
Dengan balutan busana adat, para penonton merasa seakan ikut menjadi bagian dari sejarah. Mereka seolah ditarik kembali ke masa silam, ketika kebaya dan surjan lurik masih menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. (*)
Pewarta : Luluk Listiani
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Ronny Wicaksono |
Beasiswa KIP Kuliah yang Menjadi Dagangan Politik
Livoli Divisi Utama 2025, Jenggolo Terdegradasi Sementara Kota Impian Wahana Selamat
Tiga Pesan Penting Bupati Amalia Desiana Bagi Pengurus PKS Banjarnegara 2025-2030
Pasar Kangen TBY 2025: Meriahkan Yogyakarta dengan Nostalgia, Kuliner dan Filosofi Jawa
Pajak dalam Islam
Cegah TPPO, Lurah Hegarsari Kot Banjar Soroti Pentingnya Jalur Resmi Kerja Luar Negeri
Serap Aspirasi Warga, PKB Lamongan Dorong Program Pemerintah Menyentuh Rakyat
Yayasan Sahabat Multi Bintang dan Seven Clean Seas Bersihkan Pantai Tanjung Benoa Bali
Kebebasan Pers di Ujung Tanduk
SMPN 1 Singosari Malang Jalin Kerja Sama dengan Malaysia, Cetak Siswa Berwawasan Global