TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia berada di persimpangan sejarah penting. Bonus demografi yang akan memuncak pada 2045 disebut sebagai peluang emas, sekaligus ancaman nyata jika kualitas sumber daya manusia tak dipersiapkan dengan serius.
Di sisi lain, revolusi teknologi, terutama kecerdasan buatan (AI), bergerak begitu cepat sehingga dunia berubah tak seperti yang pernah dibayangkan satu dekade lalu.
Nezar Patria, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital RI, menegaskan bahwa saat ini Indonesia memasuki fase kritikal dalam perjalanan membangun peradaban bangsa. Cita-cita Indonesia Emas 2045 menuntut kemandirian teknologi, inovasi, dan SDM unggul.
Dalam Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) di kutip dari TV9 Nusantara, ia menegaskan bahwa terjadinya ketimpangan kualitas SDM ini diperparah oleh dinamika geopolitik global yang kian tajam, memaksa negara-negara berkembang seperti Indonesia harus memiliki strategi cerdas mempertahankan ruang tumbuh.
Bonus demografi 2045 di depan mata, apakah Anda menilai bangsa ini sudah punya strategi memanfaatkan momentum tersebut?
Saya ingin mengatakan bahwa kita berada di titik yang sangat kritikal dari perjalanan bangsa. Indonesia 2045 haruslah menuju kepada Indonesia yang mandiri, berdaulat secara ekonomi, teknologi, dan kebudayaan. Ini adalah cita-cita yang sudah ditetapkan secara nasional. Kita sudah melalui kemerdekaan, apakah tujuan kemerdekaan itu sudah sampai atau belum? Masyarakat adil dan makmur.
Jika melihat sejarah, bagaimana kemerdekaan ini dimaknai dari waktu ke waktu?
Kita mengalami fase rezim yang berbeda-beda. Pada setiap zaman, cara melihat kemerdekaan pasti juga akan berbeda. Ini bagian dinamika kita dalam berbangsa. Tahun 2045 kita akan masuk pada apa yang disebut bonus demografi. Sampai detik ini, salah satunya di bidang pendidikan kita masih mengalami permasalahan yang besar.
Apa persoalan paling mendasar pada kondisi SDM Indonesia saat ini?
Porsi terbesar dari angkatan kerja kita lulusan SMA. Sedangkan lulusan perguruan tinggi kurang dari lima persen dari total populasi. Lebih dari 35 persen saya kira adalah lulusan SD menurut data BPS.
Selain tantangan internal, seperti apa tekanan dari dinamika global?
Di tengah-tengah kita menghadapi geopolitik yang berubah, dunia tidak sama seperti 10–15 tahun yang lalu. Kita tahu ada dua poros yang sedang berkompetisi sangat ketat: Amerika dan China, lalu Rusia. Kemudian negara-negara yang berada di selatan termasuk Indonesia yang semuanya mencoba untuk bisa tumbuh.
Apa modal terbesar Indonesia untuk bersaing di panggung global ini?
Indonesia punya modal yang sangat baik dari keberagaman ini. 287 juta populasi punya modal yang sangat luar biasa, yaitu kekayaan alam dan juga talenta manusianya. Kita harus mencari orang-orang yang cerdas yang mungkin jumlahnya 1 persen dari total populasi kita, separuhnya dengan IQ cukup mumpuni untuk bisa membawa satu proses inovatif dan kreatif di masa krisis ini. Saya ingin bicara bagaimana tantangan dunia hari ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
Teknologi, terutama AI, tampaknya menjadi faktor dominan abad ini?
Teknologi baru seperti AI menjadi penentu gerak abad 21 ini, sebab kita sudah 25 tahun menjalani abad ini. Bagaimana gambaran tahun mendatang atau sepanjang abad 21 ini? Saya kira fondasinya sudah diletakkan seperempat abad ini sebagai abad teknologi baru, di mana kecepatan perkembangannya dahsyat sekali.
Apa contoh nyata perkembangan teknologi yang begitu cepat itu?
Contohnya, satu tahun yang lalu kita dikejutkan oleh ChatGPT yang mungkin kemampuannya masih belum sehebat sekarang, tetapi itu sudah sangat memukau. Ditambah lagi sekarang luar biasa kemampuan buatan ini. Dan tingkat konsumsi masyarakat untuk masuk ke dalam teknologi ini juga luar biasa karena diperkenalkan platform digital.
Orang di desa bisa pakai Meta AI, di mana Indonesia pengguna WhatsApp kedua terbesar di dunia. Jadi, kita semua saya kira sudah terpapar oleh AI. Namun sedikit sekali yang memahami bagaimana AI ini bekerja dan apa yang dihasilkan AI ini harus dicermati.
Dengan semua perubahan itu, apa yang harus dipersiapkan bangsa ini?
Dalam rangka itu harus mempersiapkan generasi ke depan dengan pengetahuan yang cukup soal teknologi ini. Adopsi teknologi ini harus betul-betul terukur. Karena AI tidak hanya dapat membantu kita, tetapi dapat menggantikan kita dari sejumlah pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Efeknya ke depan kita harus mencari model ekonomi baru di tengah disrupsi teknologi.
Perdebatan mengenai etika dan keadilan AI juga makin kencang, apa pendapat Anda?
Di Amerika, debat ini sudah terbuka. Kritik terhadap algoritma AI yang juga mengandung disinformasi, bias algoritma, sangat gencar dilakukan. Sampai ada yang namanya afirmatif algoritma untuk membantu orang-orang termarjinalkan gara-gara model LLM yang dibuat oleh perusahaan besar yang melatih mesinnya.
Di situ masuk misalnya bias gender, rasisme. Jadi mesin pun bisa menjadi rasis dan bias gender. Kalau kita sering memakai produk-produk dari luar, bukankah kita menyalin nilai-nilai yang ada di sana yang mungkin kontra dengan keadilan kita. Untuk ke sana, saya katakan tidak mudah.
Dengan proyeksi perubahan struktur penduduk, bagaimana masa depan produktivitas Indonesia?
Dari 2030–2045 angkatan kerja produktif kita diprediksi umur 16 sampai dengan 65 tahun itu ada sekitar 70 persen dari lapisan demografi kita. Tentu saja ini ruang produktif yang sangat luar biasa. Dan kita hanya bisa menikmati itu sampai 2035 di puncak 70 persen; setelah itu menyusut 66, 60, dan seterusnya sampai 2045. Setelah itu warga kita yang lansia akan meningkat. Kita akan menuju aging society. Kekuatan produktif nasional akan menurun, sehingga membuat kita harus mencari strategi ekonomi kembali.
Apa yang menjadi pekerjaan rumah terbesar agar Indonesia tidak kehilangan momentum 2045?
Bagaimana kita membangun sumber daya manusia yang cukup cakap dan siap menghadapi tantangan baru. Ini PR kita semua. Mau yang bilang Indonesia gelap atau Indonesia terang, kita semua harus memahami peta besar ini dan menentukan arah yang tepat.
Kalau kita gagal mempersiapkan, maka kita akan mengalami kesulitan yang cukup besar dan akan banyak problem bermunculan yang akan mempertanyakan kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Inilah fase kritis yang kita lalui. Saya dengan cara pandang yang sama, kita mampu menavigasi dengan baik.
Apa tantangan utama Indonesia terkait teknologi saat ini?
Masalah terbesar kita ada tiga dalam persoalan teknologi: Pertama, dalam adopsi teknologi kita masih punya gap infrastruktur. Kedua, sumber daya manusia. Ketiga, riset dan inovasi. Tiga masalah ini menjadi agenda yang diperhatikan pemerintah, namun harus dilakukan bersama.
Kita harus tetap kritis, sebab ini penting sekali baik ketika kita berhadapan dengan teknologi maupun lingkungan sosial. Saya kira jangan sampai mati, bisa stop semua kita. Menghidupkan nalar kritis membuat kita punya kesadaran sebagai manusia di hadapan teknologi.
Untuk memelihara nalar kritis ini harus ada kantong-kantong epistemik untuk mendapatkan pengetahuan sehingga kita punya energi. Selain itu, kita harus punya jejaring kolaborasi yang sangat luas untuk mengadopsi agenda-agenda besar kepentingan publik.
| Pewarta | : Hainor Rohman |
| Editor | : Hainorrahman |
Sering Mandi Biar Segar? Ternyata Bisa Bikin Kulit Kering dan Rusak!
Menilik Tradisi Lempung Agung, Ritual Sawah yang Hidupkan Festival Gerabah Pacitan
KAI Daop 8 Surabaya Hadirkan KA Mutiara Timur Tambahan
Krisis Moral di Era Digital
Crime 101, Chris Hemsworth Harus Berurusan dengan Mark Ruffalo
Bangkutaman 'Mencari', Nada Nostalgia ke Jati Diri Baru
Waspada Kanker Payudara, Deteksi Dini Selamatkan Jiwa
Wadahi 288 Pesilat Muda, MAALMA Cup V di Blitar Jadi Ajang Perekrutan Atlet Berbakat
Hadapi Potensi Karhutla, Kapolri Siap Bersinergi dengan Kementerian Kehutanan
DPRD Jatim Dukung Langkah Menkeu Hapus Tunggakan BPJS Rp20 Triliun