TIMESINDONESIA, MALANG – Empat belas bulan. Sebuah rentang waktu yang bagi sebagian orang mungkin terasa terlalu cepat untuk menuntaskan studi magister. Namun bagi sosok Jndu Muhammad Mufakkirul Islami, Sekertaris Jendral Ikatan Mahasiswa Teknologi Pendidikan Seluruh Indonesia, Karyawan Magang di kementerian Pendidikan Dasar dan menengah, 14 bulan bukan sekadar angka, melainkan perjalanan penuh refleksi, perjuangan, dan pembelajaran tentang arti keseimbangan hidup.
Dalam wawancara khusus bersama TIMES Indonesia, ia berbagi kisah perjalanan akademiknya di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Malang (UM). Bukan hanya karena ia harus berpacu dengan waktu, tapi juga karena di saat yang bersamaan ia menjalankan banyak peran penting: mahasiswa, aktivis nasional, pengelola yayasan, hingga peserta magang di kementerian.
Berikut petikan lengkap wawancaranya.
Apa yang paling diingat oleh mas Jundu dari 14 bulan perjalanan menempuh studi magister di UM?
Empat belas bulan itu bukan sekadar waktu, tapi fase hidup yang begitu padat. Saya belajar banyak tentang bagaimana menata waktu, menjaga keseimbangan, dan berdamai dengan batas kemampuan diri. Bagi saya, menyelesaikan studi dalam waktu singkat bukan hanya soal efisiensi akademik, tetapi tentang bagaimana saya berproses sebagai manusia yang terus belajar menata langkah.
Selama studi, Mas juga aktif di berbagai kegiatan. Bagaimana bisa mengatur semua peran itu?
Ketika memulai studi S2, saya tidak hanya berstatus sebagai mahasiswa. Dalam waktu yang bersamaan, saya juga mengemban tanggung jawab di beberapa peran penting. Saya dipercaya menjabat di organisasi berskala nasional, yakni Ikatan Mahasiswa Teknologi Pendidikan Seluruh Indonesia, yang memberi ruang untuk berkontribusi dalam pengembangan generasi muda dan dunia teknologi pendidikan.
Selain itu, saya membantu kegiatan di Yayasan Lentarahati Islamic Boarding School—lembaga yang menanamkan nilai karakter dan spiritualitas dalam pendidikan. Di saat bersamaan, saya juga menjalani magang di Direktorat Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Dari sana, saya belajar langsung bagaimana kebijakan pendidikan diolah dan diimplementasikan dari dalam lembaga pemerintah.
Dengan banyaknya tanggung jawab, pasti ada masa sulit. Bagaimana Mas mengatasinya?
Menjalankan semua itu bersamaan memang tidak mudah. Ada hari-hari ketika saya merasa waktu terlalu sempit untuk menampung semua tanggung jawab. Jam tidur jadi barang mewah, dan akhir pekan tidak selalu berarti istirahat. Kadang saya menulis laporan di sela-sela rapat, atau mengerjakan tugas akademik di tengah jadwal kegiatan organisasi.
Di titik itu, saya sering bertanya pada diri sendiri: Apakah saya bisa terus bertahan? Tapi justru dari sanalah saya menemukan makna sejati dari proses belajar. Saya belajar bahwa disiplin bukan berarti kaku, melainkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan yang terus berubah. Dan bahwa kesuksesan sejati tidak hanya datang dari kerja keras, tapi juga dari kemampuan menjaga keseimbangan antara ambisi dan kewarasan.
Apa pelajaran paling berharga yang Mas dapatkan selama masa studi ini?
Saya belajar untuk realistis dengan waktu dan kapasitas diri. Tidak semua harus sempurna. Kadang, yang terbaik yang bisa kita berikan bukan kesempurnaan, tapi ketulusan dan konsistensi dalam menjalani proses.
Selama 14 bulan itu, saya dipaksa untuk cepat beradaptasi, berpikir jernih di tengah tekanan, dan mengatur prioritas dengan bijak. Saya juga belajar untuk tidak terjebak dalam perfeksionisme. Karena sering kali, perfeksionisme justru menghambat kita menikmati proses.
Apakah ada momen yang membuat Mas hampir menyerah?
Tentu ada. Ada masa ketika semangat menurun, beban terasa berat, bahkan saya sempat merasa tidak cukup baik. Tapi dari situ, saya justru belajar bahwa setiap kesulitan adalah ruang untuk bertumbuh.
Saya mulai belajar menikmati perjalanan, bukan sekadar menunggu hasil akhir. Saya belajar menghargai setiap kegagalan kecil sebagai bagian dari proses pembelajaran yang lebih besar. Dan setiap kali berhasil melewati masa sulit, saya merasa lebih kuat dan lebih matang.
Siapa sosok yang paling berperan dalam mendukung perjalanan Mas?
Keluarga, guru, sahabat, mentor, dan teman-teman adalah fondasi penting dalam perjalanan ini. Dukungan mereka bukan hanya dalam bentuk bantuan praktis, tapi juga doa dan kepercayaan. Dari mereka, saya belajar bahwa keberhasilan pribadi sering kali merupakan hasil kerja banyak orang yang diam-diam berperan di belakang layar.
Kesadaran itu membuat saya rendah hati. Saya menyadari, tidak ada pencapaian yang sepenuhnya milik kita sendiri.
Bagaimana Mas memaknai kelulusan cepat ini sekarang?
Setelah menuntaskan studi magister dalam 14 bulan, saya tidak melihatnya sebagai rekor pribadi. Saya lebih melihatnya sebagai cermin perubahan diri.
Saya bukan lagi seseorang yang hanya fokus pada hasil akhir. Sekarang, saya lebih menghargai proses dan memahami pentingnya keseimbangan antara ambisi dan empati, antara produktivitas dan kesehatan mental. Kesuksesan sejati, bagi saya, bukan seberapa tinggi kita naik, tapi seberapa banyak nilai yang bisa kita bagikan sepanjang perjalanan.
Apa yang paling berubah dalam diri Mas setelah pengalaman ini?
Empat belas bulan itu mengubah saya secara mendasar. Saya lebih percaya bahwa setiap tantangan membawa pesan tersembunyi, dan setiap keterbatasan justru bisa menjadi ruang untuk tumbuh. Yang paling penting bukan seberapa cepat kita mencapai garis akhir, tapi bagaimana kita menjadi manusia yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih berarti di setiap langkah.
Kini, saya melanjutkan peran di dunia pendidikan, organisasi, dan pengabdian sosial dengan semangat yang sama, namun dengan pandangan yang lebih matang. Saya percaya, keberhasilan bukan sekadar gelar atau posisi, tetapi kemampuan untuk terus belajar, beradaptasi, dan memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar.
“Empat belas bulan itu,” tutupnya sambil tersenyum, “telah mengubah cara saya melihat dunia, dan terutama, cara saya melihat diri sendiri. (*)
| Editor | : Hainorrahman |
Ommo.. Drakor Legendaris Princess Hours akan Dibikin Reboot
Pemkab Banjarnegara Gelar Resmi Pelepasan Sekda Indarto dan Istri
Bupati Trenggalek Perintakan Warga Rawan Bencana Segera Mengungsi
Hak Jawab Kementan: Ke TEMPO Bukan Pembredelan, tapi Upaya Uji Kebenaran
KGB Open II 2025 Dibuka, 600 Peserta dari Berbagai Daerah Siap Berlaga di Kota Banjar
Tanam Mangrove Bersama Kaka Slank, Gubernur Khofifah Ajak Lintas Elemen Wujudkan NZE 2060
Strategi Menkeu: Dana Rp200 T di Himbara Bikin Likuiditas Melejit
Prabowo Ngebut Bangun Kereta di Luar Jawa, AHY Beberkan Alasannya
Festival Kopi Jalanan Sukses Sulap Kota Lama Surabaya Jadi Hub Kolaborasi Pemuda
Proyek Banyak Minus, Pemkot Probolinggo Ancam Blacklist Kontraktor Bermasalah