TIMESINDONESIA, BLITAR – Bukit Pegat, atau yang lebih akrab disebut Gunung Pegat oleh warga, menyimpan perpaduan pesona alam, kisah legenda, dan mitos yang masih hidup di tengah masyarakat.
Meski hanya setinggi 343 meter di atas permukaan laut (mdpl), gunung ini tetap menarik sebagai jalur pendakian santai, terutama bagi pemula.
Berjarak sekitar 14 kilometer dari pusat Kota Blitar atau lebih tepat nya terletak di Dusun Prambutan, Desa Kawedusan, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jaw Timur, Gunung Pegat menawarkan waktu tempuh singkat sekitar 30 menit menuju puncak.
Namun, daya tariknya bukan sekadar panorama, melainkan juga cerita rakyat yang diwariskan dari mulut ke mulut.
Nama Pegat berarti "berpisah". Menurut penuturan Imam Yasuri, juru pelihara Gunung Pegat, legenda ini berawal dari kisah Punokawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—yang mendapat tugas memikul batu ke puncak gunung sebelum fajar.
"Namun saat kokok ayam jantan terdengar, pikulan batu mereka terjatuh. Gunung ini pun terbelah menjadi dua bagian," ujar Imam. Masyarakat percaya, sejak saat itu ada larangan bagi pasangan pengantin baru untuk melintas di antara dua bagian gunung ini, karena diyakini hubungan mereka akan berakhir.
Jalur pendakian Gunung Pegat yang berpadu antara tanjakan sedikit curam dan jalur landai menjadikannya favorit para pendaki, termasuk pecinta trail run. (FOTO: Abimanyu Satrio Widodo/TIMES Indonesia)
Gunung Pegat memang tak setinggi gunung lain di Blitar, sehingga pendakiannya relatif ringan. Jalur setapak yang landai dan sedikit curam, dengan tiupan udara segar, serta hamparan pepohonan membuat perjalanan menuju puncak terasa menyenangkan.
Dari puncak gunung, mata akan dimanjakan panorama sawah hijau, permukiman pendudukan, hingga pegunungan di kejauhan.
Menurut Imam Yasuri, banyak pengunjung yang datang sekadar menikmati senja atau melakukan trail run. “Walau relatif rendah dibanding dengan gunung lainnya, gunung ini sering dijadikan tempat latihan komunitas Patria Run karena jalur (tracknya) yang lumayan," tutur Imam kepada TIMES Indonesia, Kamis (14/8/2025).
Selain itu, jalur pendakian Gunung Pegat dikelilingi rimbun bambu yang membentang panjang layaknya pegangan tangga alami untuk memudahkan pendaki dalam melakukan eksplorasi.
Setibanya di puncak, terdapat pos yang menawarkan aneka makanan maupun minuman dengan harga yang terjangkau untuk para pendaki yang istirahat sebentar lalu melanjutkan pendakian.
Pos pertama pendakian Gunung Pegat, di mana pengunjung cukup membayar Rp3.000 untuk biaya parkir sebelum memulai perjalanan menuju puncak. (FOTO: Abimanyu Satrio Widodo/TIMES Indonesia)
Salah satu pendaki asal Kota Blitar, Reza Rizaldi, mengaku datang bersama rekannya setelah mendengar cerita mitos Gunung Pegat. “Saya penasaran dengan kisahnya, ternyata pemandangannya jauh lebih indah dari yang dibayangkan,” ungkapnya.
Pengunjung yang ingin mendaki gunung ini hanya perlu mengeluarkan kocek sebesar tiga ribu rupiah untuk biaya retribusi parkir.
Imam Yasuri berharap para pengunjung menjaga kebersihan dan kelestarian Gunung Pegat. “Legenda dan panorama ini harus dijaga. Jangan buang sampah sembarangan, supaya keindahan Gunung Pegat tetap bisa dinikmati generasi berikutnya,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Abimanyu Satrio Widodo (MKBM) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
PKKMB PSDKU UB Kediri, Ratusan Maba Dibekali Materi Pengembangan Diri
Akses Air Bersih untuk Anak Sekolah, Guardian Indonesia Luncurkan Guardiancares 2025 di Malang
Harga Singkong Terus Merosot, Wakil Ketua DPRD Banjarnegara Sarankan Ganti Tanaman
Konflik Kepengurusan Bandung Zoo: Satwa Terancam Kelaparan, Karyawan Minta Perlindungan Negara
Kedai Nasi Sinar Berkah: Kuliner Khas Sunda yang Menyatu dengan Kehangatan Keluarga
Pimpin IKAMA, Eric Hermawan Teguhkan Komitmen Majukan Madura
Dari Wayang hingga Motor Pustaka: Kisah Cak Amir, Pahlawan Literasi yang Menyinari Probolinggo
KH Zainal Abidin: PMII Sidoarjo Harus Jadi Kebanggaan Ulama
Pidato Kenegaraan Presiden, Ini Catatan DPRD Kabupaten Malang Soal Fiskal Daerah dan PAD
Limbah Tambak Diduga Jadi Biang Kerok Turunnya Produksi Rumput Laut di Banyuwangi